Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sedang di atas angin dibandingkan dengan Pertamina. Paling tidak, hal itu terbaca dalam dua risalah rapat di kantor Menteri BUMN pada 30 Desember 2013 dan di kantor pusat Pertamina pada 7 Januari 2014 yang bocor ke media pada pertengahan Januari ini. Kedua perusahaan negara itu kini sedang terlibat perang dingin dalam urusan penjualan gas (hilir).
Pada November lalu, hubungan keduanya memanas ketika Pertagas keberatan terhadap langkah PGN membangun pipa yang bersinggungan dengan pipa Pertagas pada 11 titik di area Jawa Barat dan Jawa Timur. Bukan hanya soal pemanfaatan fasilitas pipa gas bersama (open access) itu yang membuat keduanya tak akur. Soal lain yang tak kunjung selesai adalah pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dan pasokan gas.
Atas alasan itulah Menteri BUMN Dahlan Iskan mengajukan dua skema penyelesaian. Opsi pertama, Pertamina mengakuisisi PGN. Opsi kedua, menggabungkan Pertagas dengan PGN. Dahlan cenderung pada opsi kedua. "Keputusan yang paling logis adalah PGN membeli Pertagas, dan untuk sementara Pertamina tidak perlu aktif di hilir gas. Bisa dibayar dengan saham Pertamina di PGN atau cash," ujar Dahlan. Nantinya, kata Dahlan, Pertamina bisa mengakuisisi PGN.
Dalam rapat itu juga terungkap ide Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso. Ia menggagas konsolidasi Pertagas ke PGN. Menurut Hendi, seperti dikatakan Muhammad Riza Pahlevi, Direktur Keuangan PGN, yang hadir dalam pertemuan tertutup tersebut, penyatuan itu akan membuat pengembangan jaringan gas lebih optimal. "Interaksi antara produsen gas dan distributor gas tidak harus dalam satu kelompok usaha," ucap Riza. Selama ini pasokan gas PGN berasal dari beberapa produsen, seperti Pertamina, Santos, dan Conoco-Phillips.
Namun Pertamina enggan pada pilihan pertama. Dalam pertemuan di kantor Menteri BUMN itu, opsi pertama langsung ditolak Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya. Dalam rekaman yang diperoleh Tempo, Hanung menyebutkan ide sang Menteri rumit. Ia menyinggung soal perizinan dan skala bisnis. Menurut Hanung, Pertamina toh sudah memiliki bisnis di hilir gas. "Mungkin justru mesti sebaliknya, karena Pertamina itu besar, sejak awal kami yang akuisisi PGN," ujarnya.
Hingga kini belum ada keputusan soal itu. Ditemui seusai rapat pimpinan di kantor Perum Damri, Kamis pekan lalu, Dahlan menolak berbicara soal pilihan atas dua opsi itu. Dia mengatakan sudah ada pertemuan lanjutan dengan PGN. "Tapi saya tak mau bicara substansi," katanya. Deputi Bidang Usaha Industri Strategis dan Manufaktur Kementerian BUMN Dwijanti Tjahjaningsih menambahkan, "Persoalan itu masih dalam pengkajian."
Berlarut-larutnya penyelesaian ketegangan di antara keduanya akan menimbulkan banyak soal. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, sudah lama menanti ada penambahan SPBG agar program konversi solar ke BBG lebih cepat. Pemerintah DKI saat ini menargetkan ada penambahan 3.000 bus berbahan bakar gas plus 1.000 bus Transjakarta. Sayangnya, perang dingin ini tak kunjung bisa dicairkan sehingga pembangunan SPBG ikut tersendat.
Rumor ini juga mengakibatkan harga saham PGN bergejolak. Budi Budar, Investment Strategist Samuel Aset Manajemen, mengatakan ia tak heran soal gejolak saham PGN ini. Meski secara bisnis PGN stabil, sahamnya mudah bergolak jika ada perubahan regulasi atau wacana seputar aksi korporasi seperti itu. "Belum tentu investor menilai negatif soal akuisisi itu. Mungkin mereka hanya ingin kepastian," ujarnya.
Karena itu, pemerintah harus bergegas membereskan urusan ini. Jika tak kunjung beres, ekornya bisa liar ke mana-mana dan pada akhirnya Pertamina dan PGN bisa rugi besar.
Martha Thertina, MTQ
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo