Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Armada yang terbang dikurangi sesuai dengan keperluan rute.
Garuda Indonesia belum ada rencana menutup rute asing secara permanen.
Pengurangan pesawat seharusnya bisa memangkas beban biaya sewa, bila berhasil dinegosiasikan dengan perusahaan lessor.
JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akan menyeleksi armada dan rute yang dioperasikan untuk menekan pertambahan kerugian perusahaan. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, membenarkan entitasnya mengoperasikan jenis pesawat yang terlalu beragam, sehingga berpengaruh terhadap beban biaya perawatan dan kebutuhan awak per pesawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebuah diskusi publik yang isinya sudah dikonfirmasi ulang oleh Tempo, kemarin, dia menyebutkan jumlah pesawat yang terbang dikurangi sesuai dengan keperluan rute.“Terus-menerus review, harus memilih rute yang menguntungkan,” ujar Irfan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emiten penerbangan berkode saham GIAA itu sudah menahan pengadaan pesawat baru sejak tahun lalu. Garuda Indonesia kini mengelola 142 unit pesawat yang terdiri atas Boeing 777-300ER, Boeing 737-800NG, Airbus A330-200, Airbus A330-300, Airbus A330-900neo, CRJ1000 NextGen, serta ATR 72-600. Pada bulan lalu, manajemen diketahui sudah mengandangkan 50 persen armada, dan hanya memakai sekitar 70 unit di masa pandemi Covid-19. Namun, merujuk ke keterbukaan informasi perusahaan kepada Bursa Efek Indonesia pada 3 Juni lalu, hanya tersisa 53 pesawat yang diterbangkan.
Irfan sempat menyatakan Garuda bisa mengelola lebih dari 500 penerbangan (flight) per hari di masa normal. Frekuensi itu terjun bebas ke 140-160 penerbangan per hari. Terbatasnya penerbangan asing membuat perseroan berfokus mengelola rute domestik yang masih menyumbang profit. Meski beberapa penerbangan internasional Garuda dari Indonesia sempat dibekukan, seperti ke Nagoya (Jepang) dan London (Inggris), belum ada rencana penutupan rute asing secara permanen.
“Dikurangi frekuensinya saja,” tutur dia. Irfan pun mengakui efisiensi itu juga berpengaruh terhadap rute perintis, meski Garuda banyak mendapat permintaan rute baru dari pemerintah daerah.
Kursi kelas bisnis pesawat Airbus A330-300 di hanggar Garuda Maintenance Facility AeroAsia, Cengkareng, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Manajemen belum mempublikasikan rute-rute yang masuk daftar pengurangan jadwal. Saat ditanyai Tempo, kemarin, anggota Dewan Komisaris Garuda Indonesia, Peter F. Gontha, hanya mengatakan langkah efisiensi sedang dibahas secara internal.
Hingga Mei lalu, napas bisnis Garuda tampak semakin tersengal lantaran utangnya tercatat sudah menembus US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 70 triliun. Dalam rapat kerja di Komisi Badan Usaha Milik Negara Dewan Perwakilan Rakyat, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyatakan perseroan merugi US$ 100 juta atau Rp 1,4 triliun per bulan. Pendapatan bulanan yang hanya sebesar US$ 50 juta tak cukup menambal tanggungan operasional yang menyentuh US$ 150 juta.
Menurut dia, perusahaan mencoba berbagai cara untuk meringankan beban, salah satunya restrukturisasi utang kepada seluruh pemberi pinjaman. Pemerintah pun menunjuk konsultan hukum dan keuangan untuk memulai proses itu.
Presiden Direktur Aviatory Indonesia, Ziva Narendra Arivin, mengatakan perampingan operasi Garuda sudah otomatis, mengingat daya operasinya sudah jauh menurun dibanding masa normal. Dia menyarankan agar manajemen mengoptimalkan tipe pesawat yang pangsa penggunanya besar, misalnya Boeing 737-800, dan meminimalkan beban armada lain.
“Paling tidak, liabilitas perusahaan bisa diamputasi,” katanya. “Khususnya untuk aset seperti pesawat, peralatan, dan suku cadang yang produktivitasnya sudah di bawah 50 persen.”
Peneliti badan usaha milik negara (BUMN) dari Research Group Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menyebut pengurangan pesawat seharusnya bisa memangkas beban biaya sewa, bila berhasil dinegosiasikan dengan perusahaan lessor. Terlebih, hanya enam unit pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia, sisanya sewaan. “Per kuartal III 2020, total utang leasing mereka sudah sekitar US$ 5 miliar. Dipakai atau tidak, biaya tetap jalan.”
FRANSISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo