MOSES W. Timu, pejabat departemen luar negeri dan valuta asing
European Asian Bank di Jalan Imam Bonjol, Jakarta siang itu
cukup sibuk melayani para tamunya. "Hanya satu-dua orang saja
yang menanyakan harga valuta asing. Lebih banyak yang menanyakan
soal 20% pajak atas bunga, dividen dan royalty (PBDR)," katanya
pekan lalu. Sekitar 400 nasabahnya kaget mendengar keputusan
itu. "Beberapa pedagang uang telah mengalihkan deposito yang
jatuh tempo ke Singapura," kata Timu.
Peraturan tentang pungutan PBDR sebesar 20% atas bunga deposito
berjangka itu bermula dari surat Menteri Keuangan Ali Wardhana
26 November 1979 kepada Gubernur BI. Dan Bank Indonesia baru
meneruskannya kepada bank-bank asing dan swasta nasional dengan
telex 4 Februari lalu.
Kemudian disusul dengan surat edaran BI bertanggal sama tapi
baru diterima kalangan perbankan sekitar pertengahan Februari.
Di situ pemerintah mengharuskan bank-bank yang menerima deposito
berjangka kurang 1 bulan dan dinyatakan dalam valuta asing
dipungut 20% PBDR. Ini berlaku bagi bukan penduduk Indonesia.
Atau bagi pemilik deposito berjangka dalam valuta asing maupun
rupiah yang melakukan kunjungan singkat dan bukan penduduk
Indonesia.
"Yang membingungkan kami," kata Timu, "peraturan itu berlaku
surut mulai 1 Desember 1979." Ketua I Perbanas, I Nyoman Moena
mengaku banyak dihubungi bankir mengenai masalah pajak ini.
"Menurut hemat saya, ada hal-hal yang bertentangan dengan maksud
pemerintah selama ini," ujarnya.
Tak Bisa Dimanfaatkan
Moena, bekas direktur BI itu, mengatakan "sampai kini pemerintah
masih menggalakkan tabungan masyarakat melalui perbankan." Kini,
bunga atas depsito berjangka kurang dari 1 bulan dalam valuta
asing atau rupiah -- dan tanpa memperhatikan domisili pemiliknya
-- juga dipungut PBDR 20%. "Ini kurang logis," katanya. Dia lalu
menelepon salah seorang direktur BI.
Setelah berbicara sebentar dia menerangkan: "Ada koreksi dari
BI." Apa itu? Bagi penduduk Indonesia yang dapat memperlihatkan
KTP, dan memiliki deposito berjangka dalam valuta asing atau
rupiah dengan jangka di atas 1 bulan dibebaskan dari PBDR. Untuk
promes, pinjaman antar bank (call money) disamakan dengan giro.
Ini juga bebas PBDR. Tapi bagi bukan penduduk Indonesia dan
orang asing yang melakukan kunjungan singkat, tanpa
memperhatikan valuta asing atau rupiah dan jangka waktu, tetap
dipungut PBDR 20%.
Kalangan Perbanas beranggapan pemerintah bermaksud mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap rupiah. "Jangan lupa dalam
pembayaran bunga deposito berjangka, apalagi dalam valuta asing
terdapat subsidi pemerintah. Bagi orang asing, dan pedagang uang
dari Iyar negeri yang tak membayar pajak di sini adalah lucu
kalau tak dipungut pajak PBDR," kata Nyoman Moena. Menurut
dia, "praktis deposito berjangka pendek tak bisa dimanfaatkan
untuk pembangunan." Maka logis kalau bukan penduduk Indonesia
dipungut pajak," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini