Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Polemik Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan, Dosen Non-PNS Ini Gugat UU MInerba ke MK

Seorang advokat dan dosen non-PNS, Rega Felix, menggugat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara atau UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.

10 Juni 2024 | 11.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas kepolisian bersenjata melakukan pengamanan disekitar Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa 26 Maret 2024. Satu hari jelang sidang perdana sengketa perselisihan hasil Pemilu 2024 pada hari Rabu 27 Maret 2024, pengamanan gedung MK diperketat. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang advokat dan dosen non-PNS, Rega Felix, menggugat Undang-Undang Mineral dan Batu Bara atau UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini buntut kebijakan pemerintah memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) ke organisasi kemasyarakatan atau ormas keagamaan.

Rega Felix menggugat atas nama perseorongan. Surat permohonan tersebut ia layangkan ke MK pada hari ini, Senin, 10 Juni 2024.

Rega Felix mengajukan Permohonan pengujian Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba terhadap UUD 1945. Adapun pasal 6 ayat (1) huruf j UU Minerba yang berbunyi: "Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, berwenang: j. melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas". 

“Kata ‘prioritas; dalam pasal tersebut bersifat multitafsir dan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba memberikan diskresi terlalu luas kepada pemerintah. Sehingga kemudian, kata ‘prioritas’ dimaknai diberikan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” kata Rega Felix dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 10 Juni 2024.

Rega Felix mengatakan pemberian jatah tambang kepada ormas keagamaan secara prioritas sangat berbahaya. Sebab, pemerintah sudah diberi kewenangan luas untuk membubarkan prmas. Ketika pemerintah juga diberi diskresi untuk membagi jaha tambang secara prioritas kepada ormas keagamaan, kata Rega Felix, terkesan penguasa terlalu berkuasa atas ormas keagamaan.

“Ini sangat berbahaya karena dapat menciptakan kecemburuan sosial yang pada ujungnya dapat menjadi sektarianisme (kebencian atau diskriminasi akibat perbedaan di suatu kelompok)” kata dia.

Menurut Rega Felix, affirmative action (tindakan afirmatif) sebaiknya tidak dilakukan berbasis SARA. Namun, sebaiknya diberikan kepada pihak yang secara nyata terdiskriminasi, tidak menyebabkan bentuk diskriminasi lainnya, dan bersifat sementara. 

“Dalam konteks pembagian jatah tambang, kita harus kaji apakah ormas keagamaan selama ini terdiskriminasi sehingga memerlukan affirmative action,” kata Rega Felix.  “Lalu apakah kebijakan pemberian izin tambang justru menciptakan diskriminasi baru karena hanya seperti menukar tuan tanah saja?”

Selain itu, lanjut Rega Fellix, affirmative action juga hanya bersifat sementara karena hanya untuk mencapai keadilan, bukan justru memperlebar jarak ketidaksetaraan. Dengan kondisi beragamnya kemampuan ormas keagamaan saat ini, pembagian izin usaha tambang justru memperlebar jarak ketidaksetaraan. 

Oleh karena itu,  Rega Felix memohonkan petitum agar Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Menurutnya p emberian secara prioritas dapat dilakukan kepada badan usaha milik negara/daerah (BUMN/D), sehingga, sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 

Rega Felix mengatakan, hal tersebut bertujuan untuk menghindari kecemburuan sosial yang didasari sentimen keagamaan. Jika diberikan kepada BUMN/D, hal terpenting adalah masyarakat dapat melakukan pengawasan secara ketat.

“Ormas keagamaan sebagai komponen masyarakat juga perlu melakukan pengawasan agar hasil tambang yang dikelola BUMN/D digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, termasuk ormas keagamaan,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan itu mengizinkan ormas keagamaan untuk mengelola izin usaha tambang di dalam negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan itu yang kemudian menimbulkan kontroversi karena adanya kekhawatiran soal kemampuan ormas untuk mengelola bisnis pertambangan secara efektif. Akibatnya, pengelolaan tambang tersebut dikhawatirkan malah akan menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang kian besar.

Sejumlah pihak bahkan menilai pemberian hak pengelolaan tambang ini hanya upaya pemerintah membagi-bagikan “kue” bisnis kepada ormas keagamaan.

Pilihan Editor: Muhammadiyah Sebut Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan Langgar UU Administrasi Pemerintahan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus