Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Konflik di Antara Teman Seiring

Pengadilan Niaga Jakarta memutus pailit Televisi Pendidikan Indonesia. Karyawan resah. Masih soal perseteruan pemilik lama dan baru.

26 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEHADIRAN kurator ke kantor PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat sore dua pekan lalu, membikin karyawan cemas. Ita, sebut saja begitu, reporter di stasiun televisi itu, tiba-tiba kesulitan merampungkan pekerjaan. Konsentrasinya buyar. Rekan-rekannya pun begitu.

Ita, 27 tahun, mencolek teman sebelah meja. ”Gimana nasib kita?” Tapi yang ditanya cuma menggeleng. Di sudut ruangan yang lain, beberapa awak redaksi terlihat berbisik-bisik. Kasak-kusuk juga terjadi di kalangan sopir. Topik pembicaraan sama: bagaimana nasib karyawan setelah Pengadilan Niaga Jakarta memutus pailit perusahaan tempat mereka bekerja.

Kedatangan kurator ke kantor TPI memang dalam rangka memproses kepailitan. Dua kurator, Safitri H. Saptogino dan William Edward Daniel, ditunjuk untuk mengurus harta perusahaan. Majelis juga menunjuk Nani Indrawati sebagai hakim yang mengawasi pelaksanaan keputusan. ”Mereka sudah datang tapi belum mulai kerja,” kata Ruby Panjaitan, direktur keuangan dan teknologi, di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Adalah Crown Capital Global Limited, perusahaan yang berkedudukan di British Virgin Islands, yang menggugat TPI. Mereka menuding TPI gagal membayar surat utang yang jatuh tempo pada 24 Desember 2006. Nilainya US$ 53 juta.

Ini merupakan gugatan kedua. Sebelumnya, 19 Juni 2009, Crown memperkarakan TPI dengan kasus yang sama. Eh, dalam sidang perdana sebulan kemudian, gugatan dicabut. Alasannya, TPI bersedia berunding. Nyatanya, upaya damai nihil.

Crown kembali mendaftarkan gugatan kedua. Dalam sidang kedua, majelis hakim yang dipimpin Eli Marliani sempat menghentikan proses persidangan karena ada upaya perdamaian. Tapiini kandas, hingga akhirnya keluar keputusan pailit, 14 Oktober lalu.

l l l

KASUS ini bermula dari penerbitan obligasi subordinasi seri TPI-SB nomor 0001 sampai 0053 oleh TPI pada 24 Desember 1996. Kala itu manajemen TPI dikendalikan Siti Hardijanti Rukmana. Surat utang bertenor 10 tahun, sebanyak 53 lembar—masing-masing bernilai US$ 1 juta—ini berbentuk obligasi atas unjuk. Artinya, siapa pun yang membawa dan menunjukkan lembar aslinya dapat mengajukan tagihan.

Pemegang obligasi pertama adalah Peregrine Fixed Income Ltd. Dulu perusahaan ini sempat punya saham PT Steady Safe Tbk. dan PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. Lantas, surat berharga berpindah tangan ke Ben Mall Ltd., perusahaan di British Virgin Islands.

Belakangan, Filago Ltd., juga dari British Virgin Islands, membelinya dari Ben Mall. Di Jakarta, Filago memiliki kantor perwakilan di Wijaya Graha Puri Blok A Nomor 3-4, Jalan Wijaya 2, Jakarta Selatan. Seorang sumber berbisik, gedung ini milik PT AB Capital Indonesia kepunyaan Shadik Wahono, orang kepercayaan Siti Hardijanti. Shadik saat ini Direktur Utama Citra Marga.

Pada 27 Desember 2004, Filago melego sub-bonds kepada Crown Capital lewat perjanjian jual-beli utang (debt sale and purchase). Nah, Crown Capital-lah yang kemudian menagih piutang ke TPI. Persoalannya, manajemen televisi Grup Media Nusantara Citra ini tak mengakui keabsahan obligasi. Mereka bilang obligasi itu telah dilunasi.

Menurut Ruby, uang hasil penerbitan obligasi dari Peregrine memang masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Tapi, keesokan harinya dana tersebut ditransfer balik ke account Peregrine. ”Berarti sudah lunas.” Ruby menduga, penerbitan obligasi untuk mengelabui masyarakat atas pinjaman dari Brunei Investment Agency senilai US$ 50 juta. Dana ditransfer ke rekening pribadi atas instruksi pemilik lama.

Manajemen TPI juga mengatakan Crown Capital sebagai perusahaan antah berantah. Pemiliknya tak jelas, semua pengurus perusahaan adalah nominee. Perusahaan yang cuma bermodal dasar US$ 50 ribu, kata Ruby, tak masuk akal memiliki piutang US$ 53 juta. Rupanya, kata dia, jual-beli dilakukan menggunakan promissory note, tanpa proses pembayaran.

Kuasa hukum Crown, Ibrahim Senen, mengatakan hal-hal yang dipersoalkan TPI tak menyentuh substansi. Substansinya, kata dia, manajemen mengakui pernah menerbitkan. Kalau dibilang sudah dibayar, kapan, tidak jelas. ”Substansinya hendak dikaburkan.”

Pemilik TPI, kata Ibrahim, tak bisa berkelit ini urusan pemilik lama. Sebab, dalam proses pengambilalihan pasti telah dilakukan uji tuntas. Artinya, pembelian perusahaan pasti berikut hak dan kewajibannya. Ibrahim menambahkan, pemilik baru masuk pada 2005. Dan laporan keuangan pada 2006 masih memuat obligasi subordinasi.

Soal laporan keuangan ini, Ruby membantah. Menurut dia, dalam laporan keuangan 2003 saja, surat utang itu telah lenyap dari neraca. Anehnya, masalah obligasi malah nongol di catatan penjelasan, bahwa pada 3 November 2003 obligasi itu dialihkan. Ruby mengartikan tak ada piutang bonds lagi karena akan dilunasi dengan jaminan. Selain itu, katanya, utang itu tidak muncul di neraca keuangan TPI.

Belakangan TPI menuduh, obligasi asli yang telah dilunasi dicuri oleh Shadik. Obligasi yang mestinya tersimpan di bank kustodian (BNI) raib. B Funds dan AB Capital—dua perusahaan yang menurut Ruby kepunyaan Shadik—menyurati TPI. Isinya, lembar obligasi asli tak ditemukan di bank kustodian. Kertas sakti ini hanya bisa keluar dari brankas bank bila ada instruksi dari Siti Hardijanti. ”Hanya satu orang yang bisa mengeluarkan.” Yang jelas, kata dia, bukan Shadik, ”Dia enggak cukup tenaga untuk itu.”

Shadik kepada Tempo mengatakan, lembar obligasi yang sudah dilunasi biasanya dimusnahkan atau dicap tidak berlaku lagi agar tak disalahgunakan pihak lain. Dia tak mau berkomentar lebih jauh karena khawatir malah berpolemik. ”Buktikan saja di pengadilan,” ujarnya.

l l l

PERSOALAN TPI ini tidak bisa lepas dari persoalan antara pemilik lama, Siti Hardijanti, dan pemilik baru (Hary Tanoesoedibjo). Pecah kongsi terjadi ketika Mbak Tutut merasa Hary mengingkari perjanjian investasi.

Puncaknya, Siti Hardijanti mencabut surat kuasa PT Berkah Karya Bersama—perusahaan di bawah payung Grup Bhakti Investama—karena dinilai tidak punya iktikad baik. Disusul dengan serentetan rapat umum pemegang saham luar biasa yang berujung pada perubahan struktur permodalan.

Siti Hardijanti sempat meminta perlindungan hukum kepada Departemen Hukum agar tak memberikan persetujuan akta apa pun atas nama TPI. Nyatanya, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum, menerima perubahan susunan pengurus TPI hasil rapat umum pemegang saham luar biasa versi Hary Tanoe.

Ruby menolak kepailitan TPI dikaitkan dengan konflik antara pemegang saham lama dan baru. Menurut dia, ini ibarat anak kandung yang akan dibunuh oleh ibunya sendiri. ”Kami tahu di balik Crown Capital ini siapa.”

Siti Hardijanti belum bisa dimintai konfirmasi. Permohonan wawancara Tempo belum dibalas. Tapi kuasa hukumnya, Harry Ponto, membantah keterlibatan Tutut. ”Kami bingung, kok jadi digeret-geret. Kalau memang diduga terlibat, mengapa enggak sejak dulu dituntut pidana maupun perdata?” kata Harry, Kamis pekan lalu.

Menurut Harry, Siti Hardijanti hanya mengelus dada. Kendati, kata Harry, dalam perspektifnya, proses pengambilalihan TPI dilakukan secara paksa. Tapi itu tidak bisa dikaitkan dengan persoalan pailitnya TPI. Menurut Harry, ini persoalan simpel, soal utang. ”Siapa pun pemiliknya, ya harus membayar.”

Toh, TPI tidak pasrah menerima putusan pailit. Selasa pekan lalu, tim kuasa hukum TPI mengajukan kasasi. Dengan sederet bukti baru mereka coba menyelamatkan TPI dan nasib para karyawannya.

Retno Sulistyowati, R.R. Ariyani

Sengkarut Kepemilikan TPI

1996

  • TPI mengeluarkan obligasi subordinasi US$ 53 juta.

    1997

  • Indosat membeli 15 obligasi konversi TPI Rp 150 miliar.

    2002

    • 23 Agustus: Siti Hardijanti Rukmana dan PT Berkah Karya Bersama—perusahaan di bawah payung Grup Bhakti Investama— membuat perjanjian investasi. Berkah bertindak sebagai investor.
    • 15 Oktober: TPI gagal membayar pokok dan bunga obligasi. Indosat mengirimkan pemberitahuan pencairan obligasi (redemption notice).
    • 18 Oktober: TPI menawarkan obligasi milik Indosat dibayar tunai US$ 5.000 sebelum 31 Maret 2003 dan US$ 10 ribu dalam bentuk registered transferable term loan dari Garuda Indonesia.

    2003

  • 3 Juni: Tutut memberikan surat kuasa kepada Berkah untuk mengendalikan TPI.
  • 6 Juni: Indosat setuju menjual obligasi TPI kepada Berkah.

    2004

  • 20 Desember: Tutut ingin membeli kembali tagihan Berkah kepada TPI karena menilai ada penyimpangan perjanjian investasi.

    2005

    • 7 Januari: Berkah menetapkan pembelian kembali TPI Rp 685 miliar.
    • 16 Maret: Tutut mencabut surat kuasa kepada Berkah karena dinilai tak punya iktikad baik.
    • 17 Maret: Tutut menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa di rumahnya. Keputusan rapat: menolak keinginan Berkah mengkonversi utang jadi saham TPI, memberhentikan pengurus lama, dan mengangkat Dandy Rukmana sebagai Direktur Utama TPI.
    • 18 Maret: Berkah menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa TPI. Rapat menyetujui perubahan komposisi pemegang saham TPI: Berkah 75 persen dan Tutut 25 persen. Dandy Rukmana diangkat sebagai komisaris utama dan Sang Nyoman Suwisma sebagai Direktur Utama TPI.
    • Tutut minta perlindungan hukum kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia agar tidak memberikan persetujuan akta apa pun atas nama TPI.
    • 22 Maret: Dirjen Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum, menerima perubahan susunan pengurus TPI hasil RUPS luar biasa pada 18 Maret.
    • 18 Oktober: Kuasa hukum Tutut, Harry Ponto, memperingatkan Nyoman Suwisma bahwa rapat umum pemegang saham luar biasa TPI pada 18 Maret tidak sah.
    • 16 Desember: Kuasa hukum Tutut mengirimkan somasi kepada Berkah dan Direktur Utama TPI. Pengelolaan TPI diminta diserahkan kepada Dandy Rukmana paling lambat 23 Desember 2005.
    • 27 Desember: Obligasi TPI dijual dari Filago Ltd. kepada Crown Capital Global Ltd.

    2006

  • 21 Juli: Rapat umum pemegang saham TPI menghasilkan MNC sebagai pemegang 75 persen.

    2009

  • 14 Oktober: TPI digugat pailit.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus