ADA pernyataan menarik dari Menteri Muda Ginandjar Karasasmita: dalam tiga tahun terakhir, 83% dari Rp 815 milyar dana konsultasi di Indonesia diserap konsultan asing. Angka itu, menurut Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri ketika mengarahkan Musyawarah Nasional Khusus I organisasi konsultan (Inkindo) di Jakarta, 30 Januari lalu, hanya menyangkut proyek pemerintah yang bernilai di atas Rp 500 juta - tidak termasuk proyek raksasa seperti LNG. Bahkan, tahun lalu konsultan lokal - yang menyumbang 42% kegiatankonsultasi - hanya menerima 24% dari dana sebesar Rp 203,5 milyar. "Kenyataan ini tak perlu ditutupi," ujar Ginandjar. Yang menghambat tumbuhnya konsultan lokal, katanya, lantaran pihak asing penyedia dana telah menunjuk konsultan sendiri. Sementara itu, konsultan lokal umumnya tidak berkonsentrasi merebut proyek besar. Mereka lebih suka menyebarkan tenaga ahli pada berbagai proyek kecil sehingga kemampuannya tidak berkembang. Sikap yang bertumpu pada proyek pemerintah, selalu meng-"ya"kan konsultan asing yang menjadi partner kerja, dan kekurangmampuan menulis laporan dalam bahasa Inggris juga dianggap pembatas. Sebenarnya, tak kurang dari 1.500 perusahaan konsultan di Indonesia, tapi yang tergabung di Inkindo hanya 637 - itu pun kebanyakan dalam bidang teknik: yakni mereka yang melakukan studi pendahuluan, survel, dan merencanakan proyek, yang hasll laporannya dipakai sebagai pegangan kontraktor yang menanganmya. Sedang yang bergerak dalam bidang konsultasi manajemen dan yang mendidik tenaga ahli masih sedikit. Yang dirasakan ketua umum Inkindo, Wiratman Wangsadinata, tak lain kurangnya tenaga ahli. Tahun ini, katanya, diperlukan 5.000 tenaga profesional. Tanpa menyebutkan berapa tenaga ahli lokal, Wiratman berpendapat bahwa kekurangan tak dianggapnya masalah bila konsultan lokal boleh mempekerjakan tenaga asing Sebenarnya, bil jumlah cukup, katanya lagi, kemampuan konsultan lokal dan asing berimbang, "hanya dalam industri berat mereka unggul." Tapi Wiratman menganggap billing rate, atau nilai baku imbalan setiap konsultan lokal, terlalu rendah. "Tak ada penyesuaian harga ketika ditetapkan tahun lalu," katanya, padahal ketetapan itu hasil perumusan lama. Hal yang sama juga dirasakan A.M. Luthfi dari PT Ingenium Consultants. Seorang sarjana teknik asing, menurut Luthfi, dinilai US$ 7.000 per bulan. Sedang tenaga lokal, yang berkemampuan dan berpengalaman seimbang, hanya menerima sekitar Rp 2 juta. Sementara itu, untuk bersaing langsung dalam tender internasional juga sulit. Untuk mengikuti tender, katanya, konsultan harus berpengalaman. Sedang pengalaman ditentukan atas banyaknya tender yang dimenangkan. Urusannya jadi ibarat teka teki "soal ayam dan telur," kata Luthfi, menirukan ucapan Menteri Ginandjar. Umur profesi konsultan Indonesia mcmang masih muda. Baru mulai tahun 1960an - ketika ada proyek Asian Games. Yaitu, seperti tutur Luthfi, saat konsultan asing, termasuk Malaysia dan Filipina, memasuki pasaran Indonesia. Luthfi juga menilai, banyak pimpman proyek yang merugikan konsultan lokal, dengan memilih konsultan asing. Alasannya, biasanya, tentu karena dana proyek merupakan pinjaman asing. Padahal, katanya, Bank Dunia malah menanyakan kenapa tidak konsultan lokal yang dipakai. Beberapa proyek Bank Dunia di Departemen Pertanian memang telah dipercayakan pada konsultan dalam negeri. Namun, keterikatan pada penyedia dana memang tak dapat diabaikan. Dalam proyek jalan tol Serang, misalnya, sekitar 60%, dari Rp 10 milyar biaya pembangunan merupakan pinjaman dari OECI Jepang. Konsul tannya, bisa ditebak, juga dipercayakan ke pada Jepang: Pacific Consultants International (PCI). Apa boleh buat, "kami terikat pada perjanjian utang," tutur Joewono Kolopaking, direktur utama PT Jasa Marga. Karenanya, tiga konsultan lokal harus puas hanya sebagai pendamping. Sampai kapan? "Kami harus memenangkan konsultan Indonesia," Ginandjar menjanjikan. Tanpa mengabaikan kualifikasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini