Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Ekonomi Indonesia 2024: Ketergantungan pada Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi rumah tangga masih menjadi tumpuan ekonomi Indonesia. Rentan jatuh jika daya beli melemah.

6 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Warga membeli kebutuhan pokok di pusat perbelanjaan, Kota Kasablanka, Jakarta, 17 April 2024.  TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Warga membeli kebutuhan pokok di pusat perbelanjaan, Kota Kasablanka, Jakarta, 17 April 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB dalam 10 tahun terakhir di atas 50 persen.

  • Kinerja investasi dan ekspor tak optimal mendorong ekonomi.

  • Biaya investasi di Indonesia tinggi.

KONSUMSI rumah tangga masih menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga paruh pertama tahun ini. Badan Pusat Statistik mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2024. Jenis pengeluaran ini mendominasi faktor pendukung ekonomi lain, seperti belanja pemerintah, investasi, serta ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Peran signifikan konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian Indonesia sudah berlangsung bertahun-tahun. Setidaknya dalam 10 tahun terakhir, selama pemerintahan dua periode Presiden Joko Widodo, porsinya konsisten berada di kisaran 55 persen terhadap PDB. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Peneliti dari Center for Strategic International Studies (CSIS) Deni Friawan mengatakan kondisi tersebut tidak terlepas dari besarnya pasar di dalam negeri. "Ada 275 juta orang di sini," katanya kepada Tempo, kemarin. 

Besarnya pasar dalam negeri yang ditopang oleh banyaknya jumlah penduduk Indonesia memang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Syaratnya, kesejahteraan masyarakat mesti tumbuh supaya daya beli tetap terjaga.

Masalahnya, ekonomi yang terlalu bergantung pada konsumsi rumah tangga cenderung berisiko. Ekonomi akan sulit tumbuh, bahkan berpotensi turun, jika daya beli masyarakat melemah. Tahun ini sinyal pelemahan daya beli mulai muncul. 

Pada kuartal I 2024, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91 persen. Pertumbuhan itu pun lebih banyak dipengaruhi pemilihan umum yang mendongkrak nilai belanja dalam negeri. Begitu pula pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2024 yang naik tipis menjadi 4,93 persen lebih banyak dipengaruhi oleh Idul Fitri yang mendorong naiknya konsumsi masyarakat.

Indikator pelemahan konsumsi lain terlihat dari terjadinya deflasi. Badan Pusat Statistik mencatat deflasi terjadi tiga bulan berturut-turut sejak Mei sebesar 0,03 persen; Juni 0,08 persen; dan Juli 0,18 persen. 

Bergantung pada Konsumsi Rumah Tangga

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebutkan kondisi tersebut mesti diwaspadai. Pemerintah perlu mengantisipasi risiko penurunan ekonomi akibat pelemahan daya beli ini dengan mengatur kebijakan mereka. "Jangan sampai justru ada kebijakan yang kontraproduktif terhadap penguatan daya beli. Misalnya pemungutan pajak baru atau peningkatan harga barang yang diatur pemerintah pada saat yang tidak tepat," ujarnya. 

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada konsumsi rumah tangga disebabkan oleh buruknya kinerja investasi. Kinerja investasi terbukti tidak optimal menopang pertumbuhan ekonomi. Meski tren realisasi investasi terus naik, penanaman modalnya hanya terfokus pada industri padat modal, bukan industri padat karya. Akibatnya, besarnya nilai investasi tidak sebanding dengan serapan tenaga kerja. 

Ketika masyarakat tidak bisa bekerja, mereka tidak memiliki uang untuk belanja. Akibatnya, konsumsi belanja rumah tangga akan menurun. Pertumbuhan ekonomi pun bakal terpengaruh.

Bergantung pada Konsumsi Rumah Tangga

Indonesia juga kesulitan menaikkan nilai investasi lantaran jumlah pengusaha besar yang minim. Para pelaku usaha masih terkonsentrasi pada usaha kecil dan menengah. Salah satu penyebabnya, ongkos investasi yang mahal sehingga para pelaku usaha kesulitan berekspansi. "Kondisi makin parah karena banyak biaya siluman. Korupsi juga masih tinggi," kata Piter.

Hal tersebut bisa terlihat dari tingkat incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia yang tinggi. Selama 10 tahun Presiden Joko Widodo memimpin, tingkat ICOR Indonesia berkisar di angka 6,8. Makin tinggi ICOR, makin besar kapital yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 persen pertumbuhan ekonomi. Sebagai perbandingan, ICOR di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekitar 5. Sedangkan sebelum krisis 1997, ICOR Indonesia berada di kisaran 4.

Bergantung pada Konsumsi Rumah Tangga

Piter juga menyoroti kontribusi ekspor yang belum bisa mendominasi. "Sebagian besar barang yang diekspor adalah produk yang belum diolah," katanya. Padahal pertumbuhan ekonomi dihitung dari besarnya nilai tambah dari kegiatan produksi. Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah melakukan penghiliran industri. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah lebih banyak berfokus pada komoditas tambang. “Itu pun belum ada ekosistem yang terbentuk lantaran pengolahannya belum sampai produk hilir,” ujarnya. 

Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan ekonomi Indonesia yang konsisten tumbuh di kisaran 5 persen telah mampu memberi dampak signifikan bagi masyarakat. Berbagai upaya akan terus dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, antara lain lewat transformasi ekonomi, penguatan ketahanan pangan, penghiliran, serta perbaikan iklim investasi dan bisnis. 

"Tentunya ke depan pemerintah akan terus menyiapkan berbagai kebijakan dan strategi untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan," ujarnya. 

Bergantung pada Konsumsi Rumah Tangga

Soal investasi, Staf Khusus Menteri Investasi Rizal Calvary mengklaim pihaknya terus berupaya menghadirkan penanaman modal yang berkualitas buat ekonomi. Dia menegaskan pemerintah juga mendorong investasi di sektor padat karya yang punya efek berganda buat ekonomi. 

Salah satu langkah yang diambil adalah mewajibkan investor bekerja sama dengan pengusaha lokal. Pemerintah juga menawarkan sejumlah insentif jika investasi yang ditanamkan bisa menyerap banyak tenaga kerja domestik. Contohnya, pemerintah memberi pengurangan pajak 200 persen untuk perusahaan yang memberi pelatihan buat tenaga kerja domestik. 

"Ada juga insentif pengurangan pajak hingga 300 persen jika investor melaksanakan penelitian dan pengembangan produk di dalam negeri," katanya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus