Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memutuskan untuk menghentikan pengoperasian pabrik peleburan tanur tiup atau blast furnace sejak 5 Desember lalu. Pabrik tersebut tak mampu menghasilkan baja dengan harga bersaing. "Biaya operasinya terlalu tinggi," kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silmy menuturkan blast furnace dirancang dengan estimasi harga gas senilai US$ 4,5 per MMBTU. Namun kini harga gas industri melonjak di kisaran US$ 8,5-9 per MMBTU. Dia menyatakan produk pabrik ini tetap tak bisa kompetitif meski Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi yang mematok harga gas untuk industri US$ 6 per MMBTU berjalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Silmy, pabrik yang digadang-gadang mampu menghasilkan 1,2 juta ton metal panas per tahun ini baru bisa efisien jika tak lagi menggunakan gas. Artinya, perusahaan perlu membangun fasilitas baru. Dia mengaku sedang mencari investor untuk menyuntikkan dana pembangunan. "Kami upayakan tahun ini," kata dia.
Keuangan Krakatau Steel masih belum memungkinkan untuk mengucurkan investasi. Pada 12 Januari lalu, emiten berkode KRAS ini baru saja menandatangani kesepakatan restrukturisasi utang senilai US$ 2 miliar dengan 10 bank pemberi pinjaman. Kesepakatan tersebut mengurangi beban bunga dan kewajiban pembayaran pokok utang perusahaan yang menumpuk sejak sekitar delapan tahun lalu.
Dari restrukturisasi itu, perusahaan dapat memperpanjang pembayaran utang hingga 2027. Dampaknya, total beban bunga berkurang dari US$ 847 juta menjadi US$ 466 juta. Perseroan juga menghemat beban keuangan sebesar US$ 522 juta dan pengoptimalan operasional perseroan hingga US$ 163 juta.
Silmy menyatakan utang besar perusahaan salah satunya berasal dari pembangunan pabrik blast furnace. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu atas Pengelolaan Beban Pokok Pendapatan dan Investasi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Tahun Buku 2015 dan 2016 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai investasi pabrik peleburan baja ini membengkak akibat keterlambatan penyelesaian proyek.
Nilai investasi awal pembangunan pabrik tersebut hanya US$ 674 juta, tapi meningkat menjadi US$ 682 juta. Akibat keterlambatan selama 11 bulan, KRAS kehilangan potensi penghematan biaya produksi sebesar US$ 96,7 juta. Perusahaan juga terbebani pinjaman Rp 683 miliar.
Atas dugaan pemborosan tersebut, BPK merekomendasikan agar pembangunan pabrik dihentikan. Saran yang sama disuarakan komisaris independen Krakatau Steel, Roy Maningkas. Dia menjelaskan bahwa proyek blast furnace sudah terlambat 72 bulan dan merugikan perusahaan. Dia mencatat harga pokok produksi yang dihasilkan lebih mahal US$ 82 per ton jika dibandingkan dengan harga pasar.
Roy beberapa kali menyampaikan surat kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara perihal potensi kerugian negara tersebut. Namun, menurut dia, tak ada respons positif dari pemerintah. Dia pun mengajukan dissenting opinion berkaitan dengan proyek blast furnace, sekaligus mengajukan pengunduran diri sebagai komisaris independen pada
23 Juli 2019.
Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Toto Pranoto, mengatakan proyek tersebut sudah bermasalah sejak awal. Dia menilai perlu ada audit operasional dan finansial untuk menemukan akar masalah utama, sekaligus merumuskan rekomendasi yang berkaitan dengan injeksi modal pembangunan pabrik agar ke depannya lebih efisien.
"Lebih baik KRAS mulai mencari investor strategis untuk menghidupkan kembali proyek tersebut," ujarnya. DIAZ PRASONGKO | VINDRY FLORENTIN
Krakatau Steel Hentikan Pengoperasian Pabrik Tanur Tiup
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo