Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kredit Seret Jangan Gelondongan

Kredit macet BUMN di RDI mencapai Rp 8,219 triliun. Beberapa pinjaman sengaja diselewengkan.

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah Prof. B.J. Habibie, Industri Pesawat Terbang Nusantara?sekarang PT Dirgantara Indonesia?terkesan menggebrak. Proyek pesawat jet penumpang N-2130 diluncurkan dengan anggaran US$ 2 miliar. Dari Rekening Dana Investasi (RDI) yang berasal dari penerusan pinjaman luar negeri, kocek pemerintah dirogoh Rp 1,07 triliun.

Belakangan, proyek hiruk-pikuk itu macet. Pengembalian dana RDI yang tercatat sebagai utang pun ikut-ikutan mandek. Dunia perbankan ogah mengucurkan duitnya, padahal Dirgantara harus jalan terus. "Prospek kami bagus, pesanan pun terus mengalir," kata Direktur Keuangan Dirgantara, Hidayat Hasan.

Kredit macet di RDI akhirnya menjadi momok, tidak hanya untuk Dirgantara, tapi juga badan usaha milik negara (BUMN) yang lain. Mereka berteriak agar utangnya direstrukturisasi, bahkan kalau perlu dihapuskan. Teriakan itu menggema sampai ke kantor Kementerian BUMN, Departemen Keuangan, dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Jeritan itu tentu sampai pula ke telinga Menteri Negara BUMN, Sugiharto. Dia sadar perusahaan-perusahaan itu harus tetap tumbuh. "Hanya sekarang tangannya terikat," katanya. Laporan keuangan yang mencantumkan utang macet itu menjadi beban berat bagi perusahaan milik pemerintah. "Diperlukan reform sehingga BUMN-nya bisa bangkit lagi," ujar Sugiharto.

Ada dua opsi yang ditawarkan Kementerian BUMN. Kedua opsi itu, kata Sugiharto, adalah penghapusan bunga (zero to coupon swap) dan konversi utang menjadi penyertaan modal pemerintah (debt to equity swap). Opsi inilah yang ditawarkan ke Menteri Keuangan Yusuf Anwar sebagai pemilik RDI.

BUMN mana saja yang diusulkan? "Yang pasti harus yang punya prospek. Kalau tidak, kami tidak akan membantu," ujar Sugiharto. Data-datanya masih terus diolah Kementerian BUMN dan Departemen Keuangan. "Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa diselesaikan," Sugiharto menjelaskan.

Data yang disodorkan Departemen Keuangan ke Tempo menyebutkan, total kredit macet mencapai Rp 8,279 triliun, total tagihan Rp 56,647 triliun. Hampir di semua sektor BUMN menunggak, kecuali sektor pariwisata, pos, dan telekomunikasi. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Mulia P. Nasution, yang menukangi RDI, enggan menyebut nama BUMN. "Ini menyangkut kredibilitas perusahaan itu," katanya.

Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, pada 2000 kredit yang macet baru Rp 1,677 triliun. Ada 21 perusahaan negara, seperti PT Semen Tonasa, Perum PPD, PT Industri Kapal Indonesia, dan PT Industri Sandang I dan II. Tapi, ada 34 BUMN yang siap jadi "pasien" macet, antara lain PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Inhutani I, PT PAL, dan Dirgantara.

Bagaimana dana RDI itu bisa mengucur? Mulia mengaku, hampir seluruh kredit dikucurkan untuk menjalankan program pemerintah. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan pupuk yang langka, sehingga pemerintah harus mengimpor. Pemerintah menunjuk BUMN untuk mengimpor, lalu menjual kembali, tentu dengan harga yang bisa dijangkau petani.

Namun, Mulia menambahkan, BUMN itu harus tetap untung. "Walau program pemerintah, tidak berarti jadi kegiatan sosial. Tetap harus dilakukan secara bisnis," ujarnya. Pemerintah akan menyubsidi kalau biaya operasional ternyata lebih besar dari harga jual. Juga ditambah bonus lain, seperti bunga yang rendah dan jatuh tempo yang lebih lama. "Kalau jualan kan harus untung," kata Mulia.

Kalau kemudian macet, kata Mulia, "Silakan tanya yang bersangkutan (BUMN yang menunggak)." Yang pasti si BUMN diganjar denda, sehingga utangnya makin menggunung.

BPUI mencoba memberi penjelasan. Direktur Utama PT Bahana Securities, Ito Warsito, mengatakan kepada Budi Reza dari Tempo, "Bunganya tinggi, sekitar 24 persen. Belum dendanya." Dana yang dikucurkan ke BPUI itu digunakan dalam operasi di pasar modal dan pasar uang. Antara lain untuk menaikkan tingkat indeks di Bursa Efek Jakarta. Upaya ini untuk memberikan citra yang baik bagi pasar di dalam negeri. Namun, dalam prosesnya, BPUI mengalami kerugian.

Dirgantara menyatakan tidak sanggup membayar utangnya yang Rp 1,07 triliun. "Terlalu besar. Tidak ada uang," kata Asisten Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Aneka Industri, Harry Susetya. Dirgantara masuk daftar yang utangnya dijadikan penyertaan modal. Namun, Hidayat membantah kredit perusahaannya macet. "Lancar kok, karena tidak dikenakan bunga."

Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan (IX) DPR, Paskah Suzetta, menambahkan kredit macet juga disebabkan oleh kesalahan manajemen. Hanya, belum sampai ke arah tindak pidana. Begitu laporan yang masuk ke DPR. Sebelum penyertaan modal disetujui, "Kesalahan direksi akan kami kejar." Sayangnya, dia enggan menyebut nama perusahaan itu.

Sumber Tempo di pemerintahan membisikkan, ada juga BUMN yang memang sengaja menunggak. Padahal perusahaan itu sanggup membayar. "Ada pihak yang intervensi, menyuruh agar menunggak saja," tuturnya, seraya menolak menyebutkan nama BUMN nakal itu.

Laporan hasil audit BPKP tahun 2000 yang diterima Tempo memperlihatkan adanya penyimpangan. Penggunaan dana tidak sesuai dengan tujuan pemberian pinjaman. Contohnya yang terjadi di RNI. Harusnya, seluruh dana digunakan untuk modal kerja pengadaan obat pelayanan masyarakat dan darurat di rumah sakit. Tapi, sisa Rp 33,29 miliar malah dipakai modal kerja pabrik gula.

Penyimpangan lain oleh PT Dharma Niaga?sekarang merger menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia. Pinjaman US$ 3,34 juta yang seharusnya untuk program pembelian pupuk impor digunakan untuk pembelian pupuk impor jenis lain. Pengembaliannya pun macet. "Yang begini tidak akan direstrukturisasi," kata anggota Komisi IX DPR, Rizal Djalil. "Pelakunya harus diseret ke meja hijau."

Presiden Direktur RNI, Rama Pribandana, membenarkan pembelokan sebagian dana RDI. Tapi ia enggan menyebutnya penyimpangan. "Sebab, larinya untuk perusahaan sendiri, bukan pribadi," katanya. Rizal menegaskan, audit investigasi menjadi syarat mutlak untuk membedah perut si BUMN.

Mulia juga memberi lampu merah yang sama. Usulan BUMN yang masuk ke kantong Menteri Keuangan akan dilihat kasus per kasus. "Jadi, tidak bisa secara gelondongan, satu paket langsung hapus," ujarnya. Satu lagi, kata Mulia, persetujuan penghapusan utang juga harus melihat siapa saja direksi dan komisaris di perusahaan itu. Harus dilihat track record-nya.

Persetujuan saja, Mulia menambahkan, tidak cukup dari Menteri Keuangan, tapi juga dari presiden dan DPR. Menurut Undang-Undang Nomor 1/2004, utang di atas Rp 10 miliar, jika mau direstrukturisasi atau dihapus, harus atas persetujuan presiden dan DPR. Kata Paskah, pemerintah dan DPR sudah menetapkan pola. "Hanya BUMN yang collapse yang bisa dihapuskan."

Mulia memastikan keuangan negara tidak akan terganggu, meski harus mengkonversi utang BUMN menjadi modal. "BUMN harus menyetor dividen tambahan setiap tahunnya," katanya. Ekonom Indef, Imam Sugema, menegaskan bahwa perusahaan milik negara itu harus diberi tenggat pengembalian (return on equity). "Jangan seenaknya direstrukturisasi, nanti yang lancar bisa ikut-ikutan menunggak," katanya.

Stepanus S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus