KABAR gembira bagi yang menanti bunyi kring di rumahnya. Pemerintah, melalui SK Menteri Keuangan tengah bulan ini, telah memutuskan untuk membentuk PT Telkom II. Menurut sebuah sumber, keputusan ini diambil supaya bisa merangsang efisiensi pada pelayanan jasa Telkom di Indonesia. Maklum, untuk ukuran ASEAN pun, Indonesia -- dengan 1,8 juta telepon untuk 180 juta penduduk -- terhitung nomor buncit dalam perkara ini. Pemerintah tak ingin ketertinggalan itu berlangsung lebih lama. Maka, sektor telekomunikasi mulai lebih serius ditangani. Keberhasilan PT Telkom di bawah Ir. Cacuk Sudarijanto -- memasang 420.000 sambungan telepon baru dalam satu tahun -- ternyata belum cukup. Maklum, sarana telepon merupakan kebutuhan strategis yang harus dipenuhi, jika pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sekitar 6%) ingin dipertahankan. "Karena itu, dianggap perlu membangun PT Telkom II guna mengejar ketinggalan ini," kata sumber TEMPO yang tak mau disebut namanya. Kabarnya, PT Telkom II juga diperkenankan memiliki jaringan telepon seluler, akses ke SKSD Palapa, ke telepon internasional dan pabrikan pembuat peralatan. Adapun daerah pemasarannya sengaja tak dibatasi. "Maksudnya agar PT Telkom I dan PT Telkom II dapat bersaing secara sehat, hingga menguntungkan masyarakat," kata sumber tersebut. Memang, ide memupus monopoli PT Telkom (dahulu bernama Perumtel) bukanlah hal baru. Prof. Dr. Iskandar Alisjahbana, bidan yang melahirkan SKSD Palapa, sudah mengajukan gagasan pembentukan PT Telkom II sejak 1985. "Saya melihat, kalau deregulasi tak dilakukan, pertumbuhan jasa telekomunikasi akan lambat," kata Iskandar. Hanya saja, Dirut Perumtel, Ir. Willy Munandir, tampaknya waktu itu belum berkenan menampung gagasan bekas rektor ITB tersebut. Akibatnya, gagasan itu tenggelam. Belakangan, ide tersebut muncul kembali. Terutama setelah deregulasi AT&T -- yang sempat memegang monopoli jaringan telepon di AS -- terbukti menaikkan efisiensi dan pelayanan jasa telekomunikasi. Pengaruhnya segera terasa di Jakarta. Pada tahun 1989, UU Nomor 3 tentang telekomunikasi pun lahir dan memungkinkan pengelolaan jasa telekomunikasi oleh pihak swasta. Bank Dunia, yang melakukan penelitian tentang kebutuhan jasa telekomunikasi di Indonesia, juga berkesimpulan perlunya deregulasi dan swastanisasi. Tapi masih ada perbedaan pendapat di antara instansi pemerintah tentang berapa besar swasta dapat berperan. "Departemen Keuangan berpendapat, swasta boleh memiliki saham hingga 49%, tapi Sekretariat Negara beranggapan swasta hanya 10% hingga 20%," kata sum ber yang mengetahui. Sampai sejauh ini, Sekjen Parpostel, J.L. Parapak, belum mau memberikan penjelasan. "Ini belum waktunya dijelaskan, tunggu saja sampai kami mengumumkan," ia menegaskan kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Dirjen BUMN Martiono pun mengaku belum mengambil keputusan final. Yang jelas, bukan sembarang swasta yang dapat turut serta. "Paling tidak pihak swasta yang berminat harus menyetorkan modal ratusan milyar rupiah," ujar sumber TEMPO. Dalam pandangan pihak luar, swasta mana yang akan masuk, tampaknya tak jadi perkara. Dengan status sebagai persero, PT Telkom I pun sudah berkiprah sebagaimana layaknya pihak swasta. Yang penting, penambahan jaringan telepon dapat segera berlangsung. Dan dengan diterobosnya tradisi monopoli, mutu pelayanan dan harga penawaran pun tentu akan bersaing. Bambang Harymurti, Indrawan, dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini