Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menyatakan hanya dalam waktu dua tahun, jumlah penduduk yang masuk kategori rentan kelaparan meningkat. Pada 2019, jumlah masyarakat rawan pangan tercatat sebanyak 135 juta orang, kemudian angka itu naik menjadi 193 juta pada 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FAO memperkirakan hingga akhir 2022, kondisinya akan semakin buruk. "Sekitar 970 ribu orang diperkirakan akan hidup dalam kondisi kelaparan di lima negara, yaitu Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman," ujar Rajendra Aryal Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste melalui keterangan tertulis pada Jumat, 14 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka tersebut sepuluh kali lebih banyak dari enam tahun lalu ketika hanya dua negara yang masyarakatnya menghadapi kondisi serupa. Sementara itu, FAO mencatat 3,1 miliar orang di seluruh dunia masih tidak mampu membeli makanan yang sehat.
Menghadapi kondisi tersebut, Aryal berujar petani kecil dan nelayan harus diberdayakan sebagai pusat transformasi sistem pertanian pangan global. Namun seiring dengan itu menurutnya, Indonesia membutuhkan sistem pekerjaan dan layanan di perdesaan yang lebih layak. Pemerintah, kata dia, harus berupaya lebih jauh untuk mengakhiri pekerja anak dan mendorong kesetaraan gender demi mendukung masyarakat di perdesaan.
"Sebab masyarakat desa merupakan penjaga sebagian besar keanekaragaman hayati bumi," ucap Aryal.
Di sisi lain, FAO melihat perlu ada perubahan sistem pertanian dan pangan agar menjadi lebih efisien, inklusif, tangguh, dan lebih berkelanjutan. Tujuannya agar produksi, nutrisi, dan lingkungan kehidupan menjadi lebih baik. Sebab, pertanian dinilai sebagai salah satu intervensi kemanusiaan yang paling hemat biaya.
Aryal pun berharap negara-negara anggota G20 segera bertindak untuk menggalang solidaritas bagi negara-negara yang rentan mengalami krisis pangan. Indonesia sebagai Preisdensi G20 tahun ini berkesempatan mengajak negara-negara lainnya untuk menguatkan solidaritas dengan negara-negara yang lebih rentan.
“Fokusnya harus mendukung negara-negara yang berisiko kelaparan dan kekurangan gizi ,” kata Aryal.
Negara-negara anggota G20, Aryal melanjutkan, juga perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pembiayaan internasional untuk meningkatkan likuiditas dan ruang fiskal. Sehingga, mereka dapat memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat termiskin.
"Kita harus selalu ingat bahwa setidaknya dua dari setiap tiga orang yang mengalami kelaparan ekstrem adalah produsen makanan skala kecil dari daerah pedesaan, yang membutuhkan dukungan kita untuk membantu mewujudkan transformasi sistem pertanian dan pangan," ucapnya.
RIANI SANUSI PUTRI