MEMACU ekspor nonmigas memang baik, tapi hasilnya tak selalu baik. Hal itu dialami Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), yang anggotanya melonjak dari 329 menjadi 1.050 setelah deregulasi Mei 1990. Padahal, volume ekspor tak lebih dari 400.000 ton tiap tahun, terutama setelah ada pemasok baru, seperti Muangthai, Vietnam, dan Filipina. Kini, kue yang tak bertambah besar itu diperebutkan oleh lebih banyak orang. "Barang cuma sebegitu direbut seribu eksportir. Jadi, tiap eksportir paling banyak kebagian beberapa ratus ton," keluh Isdarmawan Arsikan, General Manager PT Nidesco. Isdarmawan kesal. Tahun demi tahun ekspor kopinya bukan bertambah, malah menurun. Dari 6.000 ribu ton (1989) menjadi 3.000 ton (1991). Keadaan makin buruk dengan anjloknya harga kopi -- dari Rp 1.400 sampai Rp 1.600/kg -- di pasar internasional. Padahal sebelumnya, petani dan 329 eksportir Indonesia dapat tersenyum cerah dengan harga Rp 4.000/kg. Kini, petani mulai beralih ke tanaman lain dan para eksportir mulai dililit utang. Menurut catatan AEKI, kredit macet eksportir kopi sudah mencapai Rp 350 milyar. "Mereka mulai tak bisa mencicil utangnya di bank," kata Dharyono Kertosastro, ketua AEKI. Dulu, tergiur oleh harga kopi Rp 4.000/kg, banyak eksportir yang menggebu cari kredit di bank. Menurut Dharyono, seorang eksportir di Lampung sampai dililit utang Rp 38 milyar. Uang itu dipakainya untuk membangun gudang dan membeli mesin pemproses kopi. Ia tak menduga bahwa harga kopi akan anjlok dan suku bunga meroket. Untuk mengamankan eksportir, AEKI telah meminta Departemen Perdagangan agar memberlakukan regulasi eskpor kopi. Usul yang disebut sistem registrasi itu dirasa perlu, setelah kuota International Coffee Organization (ICO) dibekukan sejak 4 Juli 1989. Tanpa kuota, semua negara berlomba-lomba melepas produksinya. Eksportir Indonesia juga berlomba sesama mereka. "Jika tidak diatur cara ekspornya, akan ada pembengkakan stok di luar negeri," kata Dharyono. Kini, produksi kopi dunia 85 juta ton, padahal konsumsi hanya 75 juta ton. Dharyono menyangkal bahwa usul AEKI itu berarti pemberlakuan kuota dalam negeri. Yang diusulkan adalah jatah ekspor berdasar kemampuan tiap eksportir. Dengan sistem itu, stok kopi di pasar internasional tak berlebihan. Indonesia sebagai eksportir terbesar ketiga, tak akan melempar di atas 400.000 ton ke mancanegara. Menurut Dharyono, sistem itu sekaligus melindungi eksportir kecil. Bila eksportir kecil ingin jatah lebih besar tak ada masalah. "Tapi ekspor di luar jadwal dikenakan tambahan bond untuk disetorkan pada AEKI," tuturnya lagi. Beberapa eksportir melihat bahwa usul regulasi itu sama sekali tidak beralasan. "Situasi pasar bebas ini justru jadi ajang ujian bagi eksportir kopi Indonesia," kata seorang eksportir, yang mengaku tergolong eksportir kecil. Ia yakin regulasi di Indonesia tak akan mampu mengontrol stok di pasar internasional, konon pula, menstabilkan harga. Sampai pekan ini belum ada keputusan yang diambil. "Usul itu sedang dibicarakan," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kamarul Zaman Algamar. Atau mungkin perlu ditunggu sidang IOC awal April mendatang di London, yang tentu akan membahas masalah kuota. Brasil sebagai eskportir kopi terbesar sudah menyatakan mendukung kuota. Jika IOC akhirnya kembali ke sistem kuota, tentu regulasi dalam negeri mutlak ada. Liston P. Siregar, Zed Abidien (Surabaya), dan Kolam Pandia (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini