KALAU perusahaan besar seperti Toyota napasnya terganggu, itu pertanda ekonomi Jepang sedang tidak sehat. Demikian kata para ekonom di Tokyo. Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Toyota Motor Corp., yang selalu menduduki tempat teratas dalam perolehan keuntungan di antara para raksasa Jepang, Februari berselang mengumumkan bahwa laba kotornya merosot 30% dibanding dengan periode yang sama tahun silam. Kepada para wartawan, Presiden Toyota Motor Corp., Eiji Toyoda, mengatakan, "Penjualan mobil memang sedikit turun, kendati tidak banyak. Tapi tingkat keuntungan kami anjlok." Di luar Toyota, perusahaan mobil yang lain pun labanya turun pada tahun fiskal yang akan berakhir pengujung Maret ini. Menurut Japan Automobile Manufacturers Association, jumlah produksi kendaraan secara nasional turun 7,1%. Akibatnya, mereka menunda sejumlah investasi (perluasan). Sektor industri lain juga tidak lebih baik. Belakangan, hampir tiap hari ada perusahaan yang mengumumkan bahwa keuntungan mereka diperkirakan turun. Badan Perencanaan Ekonomi Jepang telah mengumumkan bahwa GNP (sebagai ukuran atas produk barang dan jasa) juga mengalami penurunan 0,2% per tahun. Dalam dua setengah tahun terakhir, baru sekarang ekonomi Jepang yang serba gemerlap itu tampak agak suram. Katakanlah, ada gejala resesi. Hal itu terutama disebabkan oleh kelangkaan tenaga kerja. Sebagian besar pemuda Jepang menolak kerja yang masuk golongan tiga K, yakni kitsui (berat), kitanai (kotor), dan kiken (bahaya). Untuk menarik minat mereka, para pengusaha lalu menaikkan upah. Akibatnya, ongkos produksi menjadi lebih mahal. Kalau laba sektor industri menurun karena biaya tinggi dan rencana pengembangan tertunda, investor di bursa saham menjadi kehilangan selera untuk membeli saham-saham mereka. Dalam lima tahun terakhir, baru kali ini terjadi harga ratarata dari 225 saham di Tokyo Stock Exchange (TSE) anjlok sampai titik terendah, yakni sampai 19,837 yen (angka tertinggi sebelumnya, tahun 1989, rata-rata 38,915 yen). Di antara pialang besar, hanya Nomura Securities dan Kokusai Securities yang masih menuai untung. Dua belas pialang saham yang lain mengalami defisit sebesar 274 milyar yen. Kondisi harga saham di TSE seperti itu benar-benar memukul perusahaan Jepang. Hingga tiga tahun yang lalu, mereka terbiasa main saham, yang dapat memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan keuntungan dari sektor produksi. Tak heran bila banyak perusahan terbiasa menikmati dana murah tanpa kerja keras. Periode gemah ripah akibat perdagangan saham ini menyebabkan banyak perusahaan seperti berjalan di atas "ekonomi buih". Lalu mereka tergelincir dari buih-buih yang mereka aduk sendiri. Kini, zaman keemasan di atas buih sudah lewat. Untuk meringankan beban pengusaha dan agar ekonomi dapat lebih bergairah, Perdana Menteri Kiichi Miyazawa merencanakan untuk menurunkan suku bunga diskonto -- diperkirakan mulai pekan ini. Suku bunga pinjaman di bank yang berlaku sekarang adalah 4,5% per tahun. Namun, langkah Miyazawa itu belum tentu menjamin kredit akan mengucur deras. Karena, sekarang bank-bank di Jepang sibuk memenuhi standar CAR (capital adequacy ratio atau modal dibandingkan aset berisiko) seperti yang diisyaratkan oleh BIS (Bank for International Settlement). Kondisi ekonomi yang tidak sehat itu pada dasarnya merupakan akibat business circle di Jepang. Menurut pakar ekonomi Hadi Susastro, pertumbuhan ekonomi Jepang selama ini bukan disebabkan oleh tumbuhnya produktivitas, tapi lebih disebabkan oleh harga-harga yang naik. Karena itu dalam pembukuan, aset-aset perusahaan naik pesat. Harga properti pun ikut melonjak secara gila-gilaan. "Ini terutama yang mendongkrak ekonomi Jepang," kata Hadi Susastro kepada wartawan TEMPO Dwi, S.Irawanto. Rupanya dongkrak itu tertanam di atas ekonomi buih tadi. Sekarang, kekayaan perusahaan merosot tajam. Menurut Hadi, masyarakat Jepang dijangkiti oleh gejala yang sama. "Minat mereka untuk belanja juga menurun," tuturnya. Angka dari Tokyo menunjukkan bahwa tingkat konsumsi perorangan hanya naik 0,1% -- jauh di bawah angka September tahun silam, yang tumbuh 0,8%. Seiring dengan itu ada problem jangka panjang yang bersifat struktural. Dalam analisa Hadi Susastro, hal itu terjadi karena masyarakat Jepang sudah menua (maksudnya, jumlah penduduk Jepang yang berusia di atas 40 tahun semakin banyak) dan tabungan menipis. Hal ini sudah diantisipasi. Sudah diperhitungkan pula bahwa antara tahun 1993 sampai tahun 2000, tingkat pertumbuhan investasi Jepang hanya berkisar 6%. Karena kegiatan ekspornya tidak terganggu, surplus perdagangannya akan berlanjut. Tahun lalu surplus itu mencapai US$ 103 milyar. Karena itu pula, pertumbuhan ekonomi Jepang mencapai 2,5%-3% per tahun. Sebagai negara kreditor terbesar di dunia, keadaan Jepang seperti itu tentu mencemaskan banyak pihak. Apalagi bagi negera-negera berkembang yang banyak mengandalkan investasi asing (terutama Jepang). Indonesia tak terkecuali. Kecemasan itu, konon agak berlebihan. Baik hasil pemantauan di Tokyo maupun Jakarta menunjukkan bahwa kalaupun minat investasi Jepang ke Indonesia berkurang, hal itu lebih banyak disebabkan oleh kondisi prasarana di sini, misalnya, pengadaan tenaga listrik yang belum memadai. Sebegitu jauh, Indonesia masih menjadi negara favorit bagi investasi Jepang ketimbang negara Asia yang lain. Hasil poll pendapat yang dilakukan harian Nihon Keizai Maret tahun lalu menunjukkan bahwa 31,2% dari 125 pengusaha terkemuka di Jepang memilih Indonesia sebagai tujuan investasi terpenting selama 10 tahun mendatang. RRC berada pada urutan kedua (29,6%), lalu Muangthai (19,2%), dan Malaysia (6,4%). Mohamad Cholid dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini