SATU-SATUNYA kebutuhan pokok yang harganya tak naik menjelang Idulfitri adalah minyak goreng. Pemerintah ikut menjamin hal itu. Bahkan Pemerintah merasa perlu memanggil tiga produsen minyak goreng besar: Bimoli, Filma, dan Vetco. Kepada mereka diminta agar harga minyak goreng bisa turun, katakanlah dari Rp 1.250 per kg menjadi Rp 970 per kg. PT Hasil Group, yang memproduksi Vetco, segera menurunkan harga 10%. "Sebagai partisipasi terhadap imbauan Pemerintah," kata Hendro Tjokrosetio, Direktur Utama Hasil Group. Untuk menjamin pelaksanaannya, ia terjunkan barisan pemantau harga ke lapangan. "Jangan sampai pihak grosir yang untung," ujarnya. Ternyata, tak semua produsen berbuat serupa. Minyak Filma tetap menjual kemasan satu liter seharga Rp 1.200. "Tapi kami menjamin harga itu tidak akan naik," kata Herman Sutrisno, Direktur Operasi PT Tiga Raksa Satria, yang bernaung di bawah Sinar Mas Group. Alasannya, "Kami sudah memberikan potongan itu lewat bonus." Padahal, Pemerintah berusaha menurunkan harga minyak sawit (crude palm oil atau CPO), yang merupakan bahan baku minyak goreng sawit, lewat penjualan ekstra. Dengan demikian, harga bahan baku ini bisa ditekan sampai sekitar Rp 730 per kg, dari harga lelang yang kadang mencapai Rp 791 per kg. Dengan harga tanpa lelang Rp 730 per kg, serta biaya produksi dan PPn Rp 223 per kg, produsen minyak goreng masih bisa meraup laba untuk harga jual Rp 970 per kg. "Dengan penjualan ekstra, kita berhasil menurunkannya dari Rp 1.250. Kalau bisa turun lagi, mudah-mudahan saja," ucap Menteri Muda Pertanian Syarifuddin Baharsyah. Lewat empat kali penjualan ekstra, KPB Perkebunan telah melempar 60.000 ton. Sampai saat ini Departemen Pertanian bersama produsen CPO swasta siap menyalurkan 180.000 ton minyak sawit. Lebaran tahun lalu, yang dilepas 65.000 ton minyak sawit plus 40.000 ton minyak kelapa. Penjualan ekstra CPO pada sekitar 36 produsen minyak goreng dilakukan berdasar kapasitas masing-masing. "Jadi, ada semacam kuota," kata Syaripuddin pula. Sistem lelang, baru akan diberlakukan lagi sesudah Lebaran. Saat itu juga para importir akan kembali leluasa melepas CPO ke pasar internasional. Soalnya, untuk mendukung suplai CPO di dalam negeri, Pemerintah terpaksa menunda sebagian ekspor CPO. Sebelumnya, sekitar 60% dari produksi minyak sawit Indonesia dilepas ke pasar internasional, tapi menjelang Lebaran pasar dalam negeri lebih diutamakan. "Ekspor komoditi ini penting, tapi kita harus menjaga harga CPO supaya tidak melonjak," kata Menteri Pertanian Wardoyo. Ia bukan tak paham jika penundaan ekspor akan merugikan importir di mancanegara. Itu sebabnya penundaan akan berlaku sementara. Dalam kondisi seperti itu, jalan yang terbaik adalah mengatur delivery time untuk kontrak ekspor jangka panjang. "Kalau sampai mengurangi ekspor, bisa berpengaruh jelek," kata Direktur Utama PTP IV Gunung Sewu, Sawarno. Menurut Ketua Badan Musyawarah PTP ini, bila pangsa pasar di luar negeri dikurangi, peluang itu segera akan diisi oleh produsen dari negara lain. "Untuk merebut kembali tidak mudah," tambahnya. Tak heran bila Sawarno condong agar CPO diimpor saja. Maksudnya, jika memang kebutuhan dalam negeri meningkat -- dan peningkatan itu bersifat jangka panjang -- lebih baik mengimpor CPO dengan mengurangi tarif bea masuk. Yang penting, pangsa pasar CPO kita di luar negeri tidak dikorbankan. Liston P. Siregar dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini