Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengusulkan pemerintah memberlakukan tarif impor sebagai alternatif dari kuota impor yang akan dihapus. Ia mengatakan, tarif impor diperlukan untuk tetap melindungi produsen dalam negeri agar tak terkikis serbuan banjir impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Dengan tarif impor, pemerintah tetap bisa melindungi produsen pangan domestik dari serbuan pangan impor yang distortif," ujar Khudori dalam keterangan tertulis, Kamis, 10 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah, ujar Khudori, tinggal menghitung besaran tingkat tarif yang proporsional. Tingkat tarif ini, menurut dia, hendaknya dibuat fleksibel mengikuti pergerakan harga komoditas pangan di pasar dunia dan nilai tukar rupiah. Dengan tarif, ia mengatakan, semua pelaku usaha punya kesempatan yang sama. Prinsip keadilan, terjadi melalui rezim tarif.
Khudori menambahkan, sistem tarif lebih transparan dibandingkan kuota impor. Tarif juga memungkinkan negara untuk mendapatkan pemasukan baru. Bukan mengalir ke para pencoleng seperti dalam rezim kuota. Tarif ini, ujar dia, dapat dimanfaatkan untuk memberikan insentif kepada produsen pangan domestik yang produk impornya dikenai tarif.
"Yang tidak kalah penting, rezim tarif juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan yang diatur di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), tempat Indonesia menjadi salah satu negara anggotanya," ujar penulis buku Bulog dan Politik Perberasan ini.
Sedangkan di rezim kuota, Khudori mengatakan, penetapan penerima kuota impor yang tak transparan membuka celah terjadinya korupsi, transaksi gelap, dan hengki pengki. Selain itu, kuota impor hanya terkonsentrasi pada segelintir grup perusahaan. Ia mengatakan, hal ini membuat struktur pasar komoditas pangan jadi oligopoli, terpusat pada hanya secuil pemain.
"Dalam banyak kasus, pemegang kuota impor juga mengendalikan pasokan pangan produksi lokal. Ujung-ujungnya, rezim kuota impor berbuah kelangkaan dan persistensi kenaikan harga komoditas pangan di dalam negeri. Produsen dan konsumen sama-sama dirugikan," ujar lulusan Fakultas Pertanian Universitas Jember ini.
Suburnya perburuan rente dalam impor pangan, Khudori mengatakan, tak terlepas dari begitu besarnya disparitas harga antara harga di domestik dengan harga internasional. Disparitas ini tidak hanya memberikan keuntungan luar biasa bagi penerima kuota, tapi juga memberi insentif bagi calon penerima kuota untuk menyuap dalam jumlah yang amat besar.
Yang paling dirugikan dari praktik lancung ini, ujar Khudori, adalah konsumen. Mereka terpaksa harus membeli komoditas pangan jauh lebih mahal dari seharusnya. Mengutip Tempo, ia menyebut dengan kuota impor bawang putih tahun ini sebanyak 550 ribu ton, rakyat diperkirakan merugi Rp 3,8 triliun.
Pilihan Editor: Menaker: Aduan soal Pembayaran THR Lebaran 2025 Turun 30 Persen