EKSPOR nonmigas sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara 1989-90 di samping pariwisata dan pajak -- awal tahun ini diguncang oleh berita yang kurang sedap. Sekjen FITI (Federasi Industri Tekstil Indonesia) Zachri Ahmad mengungkapkan dua pekan silam bahwa untuk semester I tahun 1988, Indonesia hanya berhasil memenuhi 29,7% dari kuota ekspor tekstilnya ke AS. Dalam situasi seperti itu, pengusaha tekstil Indonesia masih harus menghadapi kenyataan bahwa di bawah kepemimpinan presiden AS yang baru, George Bush, kuota ekspor tekstil bagi Indonesia bisa saja diperkecil. Unsur proteksionisme bukan ancaman baru bagi eksportir tekstil kita -- ingat saja Jenkins Bill dan Holling Bill -- hingga dengan tidak terpenuhinya kuota semester I 1988, maka buruk saja dugaan yang timbul. Agar tidak terlalu jauh mereka-reka, dua pekan lalu FITI mengundang James F. Durling, penasihat hukumnya yang berkedudukan di Washington DC. Menurut Durling, ada tiga hal yang bisa mengancam eksportir tekstil Indonesia. Pertama, mereka yang duduk di pemerintahan Bush bukanlah orang-orang yang mengerti perdagangan internasional. Ditambah lagi latar belakang Bush sendiri, yang tidak terkenal dalam kancah bisnis di AS. Berbeda dengan Reagan, yang sudah jelas antiproteksionisme. Akibatnya, kalau kelak usulan semacam Jenkins Bill muncul kembali ke permukaan dan disetujui oleh sebagian besar anggota Kongres, maka ada kemungkinan Bush tidak akan menggunakan hak vetonya. "Dia itu orangnya sangat pragmatis dan bisa sangat fleksibel," ujar James. Sebaliknya, sikap yang ditampilkan Reagan, dengan memveto Jenkins dan Holling, adalah wajar. Ini bukan semata karena dia antiproteksionisme, tapi juga sebab industri tekstil AS telah menikmati banyak laba. Contohnya, pada 1987 laba total mereka mencapai 1,8 milyar dolar. "Salah satu industri yang beruntung besar di AS, ya, tekstil itulah," ujar Durling. Kabarnya, proteksi juga akan dilakukan Bush, kalau mengingat utang US$ 200 milyar yang harus ditanggung pemerintah AS. Durling berpendapat, tidak aneh kalau Bush akan menerapkan kebijaksanaan yang melindungi industri-industri tertentu, termasuk tekstil, "Tinggal tergantung bagaimana industri tekstil meyakinkan pemerintah. Apalagi tidak sedikit senator yang berasal dari selatan AS, tempat bergerombolnya industri tekstil dan pakaian jadi. Bukan mustahil, mereka kembali mengusulkan undang-undang perlindungan industri dalam negeri. Kemungkinan seperti ini kabarnya telah pula dijajaki oleh para produsen eksportir dari Jepang, Hong Kong, dan Taiwan. Kata Durling, mereka sudah membeli perusahaan dan jaringan distribusi tekstil untuk melindungi langkah mereka di AS. Lantas bagaimana dengan Indonesia, yang melempar separuh tekstil ekspornya ke sana? Menurut James, tekstil Indonesia masih berdaya saing, karena upah buruhnya rendah. "Jadi, secara umum produk Indonesia masih kompetitif," katanya menghibur. Pendapat ini dibenarkan oleh seorang investor dari Hong Kong, yang menanamkan modalnya di Indonesia. Menurut dia, bukan hanya rendahnya upah buruh, tapi juga fasilitas pelabuhan yang cukup memadai untuk keperluan ekspor. "Bagi saya, Indonesia mempunyal prospek yang cerah, ucapnya meyakinkan. Sekalipun begitu, masih ada satu hal yang mengganjal, yakni pembagian kuota ekspor. Dirut PT Rana Sankara, Poppy Dharsono, berkeluh kesah tentang pembagian kuota yang tidak adil. "Masih banyak pengusaha yang tidak memproduksi, tapi memperoleh kuota," ujar pengusaha yang juga perancang mode ini dengan sengit. Poppy sendiri tiap tahun mengeskpor tekstil senilai US$ 3 juta ke AS. Tapi apa yang terjadi dengan kuota? Para pengusaha yang tidak memproduksi tapi kebagian kuota itu lalu memperdagangkan kuotanya. Menurut Poppy -- seperti yang diungkapkannya kepada wartawan TEMPO Bachtiar Abdullah harga kuota yang dijual sesuai dengan jenisnya. Kalau kuota hot items, atau item-item yang laku di pasaran, seperti jeans yang menggunakan 100% denim, harganya bisa 10 dolar per lusin. Tak salah kalau dikatakan bahwa bukan hanya persoalan pasar ekspor yang perlu dipikirkan oleh Departemen Perdagangan. Tapi juga soal sistem pembagian kuota, yang masih menuntut pembenahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini