TDAK kurang dari Rp 239,1 trilyun yang perlu diinvestasikan sepanjang Repelita V agar roda ekonomi Indonesia bisa melaju 5%. Angka ini fantastis, tapi agaknya menarik untuk diseminarkan. Terbukti dari banyaknya peserta (160 orang) yang menghadiri seminar tentang mobilisasi dana, Selasa pekan lalu. Diselenggarakan di Hotel Indonesia oleh Yayasan Padi & Kapas bersama ISEI Jaya dan Majalah TEMPO, seminar ini dibintangi oleh J.B. Sumarlin, yang tampil sebagai pembicara utama. Menteri Keuangan ini membahas masalah "Mobilisasi Dana Dalam Era Deregulasi", di samping para pembicara lain, seperti Abdulgani (Dirut Bank Duta/Ketua Perbanas), Mochtar Ryadi (Wakil Dirut BCA), Syahril Sabirin (Direktur BI), dan Maruki Usman (Ketua Bapepam). Seperti diketahui, pemerintah menyatakan hanya mampu mengupayakan investasi sekitar 45% dalam Repelita V. Itu pun hanya Rp 47,1 trilyun yang bisa diambil dari tabungan pemerintah, sehingga masih perlu bantuan luar negeri Rp 60,4 trilyun. Lalu, yang 131,6 trilyun lagi (55%), tentu diambil dari swasta. Nah, apa mungkin? Tampaknya berat, sementara anggaran pembangunan yang terhimpun dalam lima APBN terakhir hanya sekitar Rp 47,5 trilyun, padahal pemerintah menargetkan Rp 78,6 trilyun (54%). Soalnya, migas yang menjadi motor pembangunan sudah aus sejak tahun 1986, ketika harga minyak anjlok sampai US$ 10 per barel. Dalam Pelita IV, pengusaha swasta diharapkan menanamkan modal sekitar Rp 40 trilyun, ditambah Rp2 6,6 trilyun dari investor asing. Nampaknya yang ini pun tidak akan tercapai. "Nampaknya, lho!" kata Menteri Keuangan Sumarlin. Sebaliknya, investasi masyarakat lewat perbankan menunjukkan trend meningkat. Pada tahun 1983, dana yang direkrut perbankan tak sampai Rp 5 trilyun, tapi sekarang tabungan masyarakat -- yang terkumpul dalam deposito -- mencapai Rp 24 trilyun. Kalau dihitung bersama giro, tabanas, taska, jadi Rp 35 trilyun. Yang menarik: jumlah deposito itu hampir sama dengan jumlah realisasi investasi swasta lewat BKPM. Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo mengungkapkan bahwa investasi swasta sejak April 1984 sampai Desember 1988 bernilai Rp 35,5 trilyun dari PMDN, US$ 7.200 juta (sekitar Rp 12,5 trilyun) dari PMA. "Proyek-proyek yang sudah direalisasi PMDN sekitar 70%, dan dari PMA sekitar 50%," kata Sanyoto kepada Aji Setyadi dari TEMPO. Di pihak lain, Ketua Perbanas Abdulgani mensinyalir bahwa swasta cenderung melakukan investasi dengan modal 100% dari kredit bank. Caranya: dengan membengkakkan perhitungan kapital. Tentu saja ini tak bisa dibenarkan. Seperti dipertanyakan Dekan FE UI Prof. Dr. Arsyad Anwar, "Berapa persen dari tabungan masyarakat di bank-bank telah dimanfaatkan untuk investasi, berapa untuk spekulasi, dan sebagainya? Sementara itu, banyak bank yang kekenyangan dana, namun tak bisa menyalurkannya ke dalam kredit yang produktif, lalu bermain spekulasi di pasar uang internasional. Namun, menurut Sumarlin, kegagalan investasi swasta sebagian disebabkan oleh pemerintah sendiri -- ulah birokrasi atau dampak kebijaksanaan ekonomi. "Waktu itu ekonomi kita tidak kompetitif, karena berbagai pengaturan yang melindungi industri, juga berbagai langkah yang bertujuan melindungi neraca pembayaran," kata Menkeu. Kembali ke sasaran target investasi: mungkinkah target Rp 239,1 trilyun bisa diraih dalam Pelita V jika sasaran Rp 145,2 trilyun saja dalam Pelita IV tak tercapai? Dari seminar di Hotel Indonesia itu tersimpul bahwa sasaran Pelita V akan lebih mudah dicapai. Karena pemerintah telah menyiapkan berbagai sarana dan iklim yang lebih baik dibandingkan dengan Pelita IV. Walaupun nada bicaranya optimistis, Dr. Mochtar Ryadi melihat bahwa struktur ekonomi Indonesia kini belum berubah sebagaimana yang diharapkan. Padahal, berhagai paket deregulasi dibuat demi perubahan itu, bahkan banyak kendala birokrasi sudah dipangkas, dan struktur lembaga-lembaga keuangan juga sudah lebih luas. Ada bank, LKBB, asuransi, pasar modal, leasing modal ventura, dan sebagainya. Agaknya salah satu sarana utama yang bakal mendorong investasi dewasa ini adalah pasar modal. Memang sesudah lewat satu dasawarsa, Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya mampu mengundang 24 perusahaan menjual saham bernilai Rp 194,1 milyar dan 8 perusahaan menjual obligasi bernilai Rp 935,7 milyar. Kini, dengan deregulasi, pasar modal diharapkan bisa memacu lebih banyak investasi, bahkan ada dua bursa baru yang akan dikelola swasta, yakni Bursa Paralel di Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Juga investor asing sudah berminat untuk menanamkan uangnya di sana. Ini diungkapkan oleh Ketua Bapepam Marzuki Usman. Selain itu, sekitar 100 yayasan dana pensiun memiliki uang tunai sekitar Rp 6 trilyun sudah diberi fasilitas hidup lagi untuk bermain di pasar modal. Sekalipun begitu, masih terlalu pagi untuk meramalkan berapa modal yang bisa dihimpun dari pasar modal, dan berapa lewat BKPM. "Kami kan belum tahu siapa yang akan melakukan investasi. Tapi BKPM akan berusaha melancarkan kemudahan dan kelonggaran bagi investor asing," kata Ketua BKPM, berjanji. Bagaimana, Pak Mochtar Ryadi, apakah juga menawarkan janji? Max Wangkar, Budiono D.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini