Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mencari cara untuk mengejar target pengurangan emisi di tengah minimnya pendanaan untuk pensiun dini PLTU batu bara.
Sebagai jalan keluar, Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butarbutar menyatakan pihaknya merancang strategi pengurangan kapasitas PLTU.
Strategi pengurangan kapasitas PLTU itu berpotensi menambah pembiayaan untuk menyesuaikan teknologinya.
JAKARTA – Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) mencari cara untuk mengejar target pengurangan emisi di tengah minimnya pendanaan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Kondisi ini ditambah dengan pertumbuhan PLTU captive—yang berada di luar jaringan PT PLN (Persero)—yang makin masif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dokumen rancangan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP, Indonesia hanya merencanakan pensiun dini dua PLTU dengan total kapasitas 1,629 gigawatt (GW). Jumlah itu lebih rendah daripada usul pemerintah sebesar 5,2 GW. Selain itu, JETP Indonesia tidak memperhitungkan PLTU captive dalam rencana investasi tersebut. Dokumen itu tak banyak menghadirkan solusi untuk mengurangi faktor penghasil emisi di sektor kelistrikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai jalan keluar, Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butarbutar menyatakan pihaknya merancang strategi pengurangan kapasitas PLTU. "Capacity factor PLTU yang rata-rata 80 persen bisa dikurangi jadi sekitar 65 persen," tuturnya di Jakarta, Senin, 13 November 2023. Kapasitas produksi PLTU yang berkurang diharapkan bisa menjadi ruang untuk listrik dari energi terbarukan. Namun, untuk beberapa pembangkit, butuh penyesuaian teknologi agar bisa menerapkan cara ini.
Anggota Technical Working Group JEPT Indonesia, Fabby Tumiwa, mengatakan pihaknya tengah mempertimbangkan menerapkan strategi tersebut bukan hanya pada PLN, tapi juga pada pembangkit milik pihak swasta. Namun cara ini membutuhkan negosiasi ulang perjanjian jual-beli listrik di antara kedua pihak. "Mungkin akan ada konsekuensi finansial. Artinya, PLN harus bayar ke pihak swasta," katanya.
Fabby mencatat saat ini pengoperasian PLTU terikat klausul kapasitas produksi yang cukup tinggi, yakni sekitar 80 persen. Selain itu, kontak pengadaan listrik memiliki ketentuan take or pay. PLN wajib membayar listrik yang telah dihasilkan pembangkit meski tak terpakai. Dampak ini perlu dikaji untuk menghindari PLN merugi akibat strategi tersebut.
Pekerja memeriksa instalasi di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Menyiasati PLTU Captive
Tantangan lain yang menghantui adalah PLTU captive. Fabby mengatakan pembangkit jenis ini batal diikutsertakan dalam CIPP JETP karena kapasitasnya terlalu besar. "Totalnya bisa 30 GW sampai 2030." Angka tersebut mencakup pembangkit yang sudah beroperasi dan masih dalam perencanaan. Pembangkit yang masih dalam tahap perencanaan pun menjadi kendala bagi JETP karena belum ada kepastian operasi.
Pertimbangan lainnya adalah sifat PLTU captive yang digunakan untuk kegiatan industri. Pemerintah butuh mencari pengganti sumber energinya. "Kalau mau diubah atau mau dikurangi kapasitasnya, solusinya untuk setiap industri berbeda," kata Fabby.
Sekretariat JETP butuh kajian lebih dalam untuk mengantisipasi emisi dari PLTU captive. "Karena alasan itu, (PLTU captive) di CIPP sekarang belum dimasukkan dulu. Kalau menunggu ini selesai, enggak jalan yang lain."
Paul menuturkan kajian ini dibutuhkan karena, secara aturan, pemerintah masih mengizinkan penambahan PLTU captive untuk industri. Khususnya guna mendukung program penghiliran mineral. Pembangkit batu bara banyak dipilih karena bisa menjadi sumber panas yang konsisten.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Pemerintah mengatur PLTU captive harus menurunkan emisinya 35 persen setelah beroperasi selama 10 tahun dan operasinya berhenti pada 2050. Namun Paul Butarbutar mengatakan timnya sedang mendorong pelaku usaha bersedia melakukan dekarbonisasi sebelum operasi mereka mencapai 10 tahun. "Kesadarannya sudah ada. Tapi bahwa itu kurang masif, iya." Dia berharap, dari kajian JETP nanti, hadir strategi yang tepat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi berjalan secara bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Analis Institute for Energy and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, mengapresiasi upaya pengurangan emisi dalam CIPP JETP. Namun dia menyoroti strategi pengurangan kapasitas PLTU yang berpotensi menambah pembiayaan untuk menyesuaikan teknologinya. "Berarti akan ada kompensasi yang harus dibayar dan ini masih belum kelihatan akan datang dari mana dananya." Putra mengatakan, jika tak ada antisipasi, target netral karbon Indonesia akan terusik.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menyatakan kapasitas PLTU captive yang tidak masuk JETP membuat target netral karbon akan semakin sulit tercapai. Dalam JETP, target emisi puncak dipatok 250 metrik ton CO2 dan target 44 persen sumber energi terbarukan pada 2030. "Tapi ini jelas kontradiktif dengan masih dibangunnya 14 GW PLTU captive di berbagai wilayah, terutama yang berkaitan dengan penghiliran mineral," tuturnya.
Bhima berharap Sekretariat JETP ikut mempertimbangkan PLTU captive dalam skenario pensiun dini CIPP JETP. Rancangan CIPP final rencananya diluncurkan dalam COP 28 pada 30 November mendatang. Dia menilai perlu ada aturan pemerintah yang bisa menghentikan pembangunan PLTU captive baru.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo