TAHUN buku 1988/1989, sejak April lalu, baru berjalan enam bulan. Tapi, Garuda sudah tergesa menghitung laba. Kepada TEMPO, Direktur Keuangan Garuda Achmad Subianto mengatakan, "Tahun ini kami menganggarkan laba Rp 117 milyar." Angka itu dicomot dari mana? Begini. Pendapatan Garuda dari penerbangan diduga akan mencapai Rp 1,9 trilyun. Sedangkan total biaya operasi sekitar Rp 1.783 milyar. Berarti, Garuda menganggarkan margin profit sebesar 6,5%. "Itu sudah bagus kalau dibandingkan sebagian besar penerbangan di dunia, yang rata-rata hanya mampu melaba 3-5% saja," kata Subianto. Meski bagus, toh terjadi penurunan laba. Tahun lalu, pendapatan Garuda hanya Rp 1,7 trilyun, tapi laba yang diraih mencapai Rp 127 milyar. Aneh, di saat pendapatan menaik, kok laba malah menurun? "Lho, laba tahun lalu itu kan belum diedit. Sedangkan perkiraan yang saya kemukakan itu merupakan laba bersih," kilah Subianto. Sebenarnya, masih ada faktor-faktor lain yang harus diperhitungkan, sebelum menemukan laba yang 6,5% itu. Misalnya, Garuda memperoleh pembebasan pajak perusahaan, karena kerugian akibat devaluasi yang dideritanya -- (1983 dan 1986) sebesar Rp 500 milyar -- sampai saat ini belum tertutup. "Dan ingatlah, keringanan seperti itu bukan cuma diperoleh Garuda. BUMN lain juga mendapatkannya," ujar Subianto, serius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini