Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bahasa humor pembuka hati

3 kartunis indonesia menghadiri workshop on editorial cartooning di kuala lumpur. editorial kartun berbeda dengan karikatur. pertemuan itu berhasil membentuk persatuan kartunis asean.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIYANTO S. dari TEMPO, G.M. Sudarta (Kompas), Pramono (Suara Pembaruan) pada 18-21 September lalu menghadiri Workshop on Editorial Carfooning, yang diselenggarakan The Asia Foundation dan Asian Mass Communication Research and Information Centre. Laporan Priyanto dari pertemuan di Kuala Lumpur itu: EDITORIAL kartun gambar bersifat sindiran yang terjadi di masyarakat -- baik itu isu, gosip, politik, ekonomi, sosial, atau semacamnya. Tapi, di Indonesia, gambar semacam ini disebut karikatur. Karikatur adalah gambar yang mamiuhkan "wajah" seseorang, sehingga menonjol karakteristiknya. Dalam editorial kartun sering muncul "karikatur" wajah tokoh tertentu yang dijadikan obyek cerita, dan itu tidak mutlak. Bisa tanpa tokoh. Editorial kartun upaya komunikasi yang langsung ketimbang bahasa kata. Bahasa kata dianggap penjara bagi pembaca: harus mengikuti huruf demi huruf untuk menelan maksud penulis. Kartun cukup dilirik, dirangkai, dan tertangkap maksudnya. Ini "seni jurnalistik" . yang mandiri. Kini editorial kartun sudah berdiri sendiri, mewakili redaksi serta opini kartunisnya. Antonio Antunes, kartunis dari Portugal, dalam acara di Kuala Lumpur itu mengatakan, secara visual kartun mengikuti kaidah seni rupa, isinya mengikuti kaidah jurnalistik, dan humor itu faktor pemancing komunikasi. Dengan "melihat sesuatu dengan cara lain", maka kepiawaian meramu ketiga unsur ini menghasilkan kartun yang baik. Corky Trinidad, kartunis dari Amerika Serikat, mengatakan, 60% kartunis di AS masih dalam kelas dekorator. Tapi mungkin bukan kartunisnya yang dungu. Sebab, ada kasus: redaksi mendikte karena statusnya tak mau digeser kartunis, ditampik sebab yang dikritik itu kawan redaksi, ditolak karena bahaya bagi bisnis koran itu. Suara pembaruan, misalnya, pernah kacau distribusinya gara-gara kartun mengenai perusahaan yang mengangkut koran ini. Yang paling prihatin kartunis Singapura. Ia dilarang mengolah masalah politik. Seorang kartunisnya membuat gambar: ruang yang ramai dan di luar berkeliaran intel berkostum mafia mengintip. Lalu para peserta melihat ke tiap lubang, dan terdengar gumam, "Pulang kerumah bisa celaka, nih!" Malaysia agak kendur, tetapi jangan mengkritik raja. Filipina menikmati kebebasannya. "Kami dipimpin oleh ibu rumah tangga yang baik," kata mereka. Indonesia lumayan juga. Pers punya alat ukur canggih: "self censorship". "Pada dasarnya, siapa pun tidak senang dikritik," ujar G.M. Sudarta. Maka, perlu manyampaikan masalah dengan menerbitkan senyum. Lat alias Mohamad Nor Khalid menambahkan, "Pekerjaan kita bukan mencari korban demi kepopuleran si kartunis. Mesti ada misi buat orang banyak, karena kartun yang dimuat itu dilihat puluhan ribu orang." Walau kartun dapat membangun opini publik, toh sukar mendikte dan mengajari orang. Kartun juga tak bisa disenangi semua orang. Pendapat orang beda-beda. Fungsi kartun berusaha mengangkat masalah, dengan atau tanpa tokoh, untuk mengantar pada wawasan Yan baru. Humor itu alat pembuka hati, berkomunikasi hangat. Pertemuan di Kuala Lumpur itu (utusan Brunei dan Muangthai tidak hadir) berhasil membentuk Persatuan Kartunis ASEAN, kemudian merencanakan menerbitkan koran kartun dengan nama Kartunasea. Pimpinannya adalah kartunis Filipina, Nonoy Marcelo, sedangkan perwakilan untuk Indonesia G.M. Sudarta, Malaysia Nan (Zainal Osman), dan Singapura Lim Siah Tong. Malaysia merupakan konsumen kartun terbesar di ASEAN. Ada 5 majalah humor dan kartun di sana. Terbesar majalah Gila-Gila, yang terbit dua kali sebulan dengan oplah tiga ratus ribu sekali terbit. Selain itu, ada buku komik dan kartun dalam bahasa Melayu dan Inggris. Lat adalah tokoh kartunis nasional yang tiap orang tahu dan menyenangi karyanya (lihat Lat Bulat). Untuk menghormati Penobatan Yang Dipertuan Agong ke-9, Sultan Azlan, acara drama dari Kementerian Kebudayaan dan Pelancongan malah diambil dari komiknya terbaru, Mat Som. Latar belakang komik berganti dari slide projector. Sulit dibayangkan drama dapat sukses tanpa komik Mat Som. Seakan orang datang ingin melihat komik raksasa. Satu saat mungkin perlu ditelaah, kalau kartun (diolah dari kehidupan sehari-hari) merajalela seperti di Malaysia. Lebih kurang satu dekade ini komik merajai negara itu -- mirip rokok kretek di Indonesia: menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus