LAT, kartunis yang memancang di forum dunia. Bukunya, The Kampung Boys (sudah diterjemahkan ke bahasa Jepang) dan Town Boys, serta beberapa yang lain --setelah terbit pertama pada 1964 -- belum henti dicetak ulang hingga kini. Sepintas. Lat (dari kata bulat) memang biasa saja. Aslinya ia bernama Mohamad Nor Khalid. Tubuhnya gemuk. Kulitnya cokelat kehitaman, hidung bundar. Ya. mirip gambar-gambar di komiknya. Tidak nyeniman, lelaki agak pemalu ini, kalau mulai akrab, mengobrol dari satu topik ke topik lain. Ia cerdas. Daya ingatnya tinggi. Ia hafal sejarah dan lagu, lalu mempermainkannya secara lucu. Ia bahkan kagum pada lagu Indonesia. "Banyak lagu yang mengharukan dan membangkitkan rasa cinta tanah air," kata Lat. Karya S. Effendi diingatnya. Misalnya lagu Fatwa Pujangga, yang mengisahkan seseorang menerima surat dan sulit membalasnya karena tak ada alamat pengirim. "Ini lagu absurd dan sangat filosofis," katanya kepada Prijanto S. dari TEMPO. Bicara lagu dengan Lat (lahir di Perak 38 tahun silam) seperti membuka album record. Ia memang hafal berbagai lagu Barat dan Indonesia. Mengaku ayahnya keturunan Bugis, Lat menunjukkan karyanya pada masyarakatnya sendiri, orang Melayu yang hidup di kampung tempat ia dibesarkan. Sebaik-baik cerita, katanya, adalah yang digali dari diri-sendiri. "Kita bisa mengetahui seluruh adegan sekecil apa pun dengan tepat." ujarnya. Lat teliti mengamati situasi, memetik buah teratai, kebun karet, stasiun kereta api, rumah panggung. kedai, traffic jam, teh tarik, dan banyak lagi. Kepandaian dalam menangkap situasi secara fotografis, dengan pengambilan sudut yang unik, membuat tokoh-tokoh kartunnya, yang sarat dengan pemiuhan, menjadi sangat lucu. Keberanian "merusak " tokoh-tokohnya merupakan ciri kekuatan dalam berkarya. Manusianya adalah manusia "hancur-hancuran". Itulah yang mungkin membuat dia dikirim New Straits Times ke London (1975) belajar anatomi pada sebuah kursus menggambar. "Dalam pikiran redaksi koran saya, waktu itu, perlulah saya belajar menggambar manusia yang lebih betul," katanya. Dengan memilih kaumnya sendiri yang hidup di pelosok (Lat tidak yakin, orang kota senang pada karyanya) ia ingin mengatakan: hidup seadanya, tak berlebihan. Kemajuan membuat orang ingin segalanya lebih besar. Misalnya rumah besar. Padahal, dunia ini kecil. Satu saat orang berkelahi berebut rumah yang makin besar. Kenapa tak membatasi kemauannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan? Lat telah berkeliling dunia, dan salah satu kartunis terkenal secara internasional tapi pikirannya tetap sederhana. Hidup untuk bekerja, untuk membesarkan anak, hingga kuat berdiri di tengah kehidupan. Sesudah tugas selesai, Lat lalu pulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini