Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betul, kasus megakredit itu telah menempelkan status tersangka bagi pengusaha asal Tamil ini. Tapi apalah artinya status tersangka jika sampai hari ini, hampir setengah tahun setelah kasus itu meletup, tak ada tindakan hukum yang berarti. Sinivasan bukan cuma tidak bangkrut, tapi juga bisa leluasa bertemu dengan presiden, mendapatkan keringanan pelunasan utang, dan bahkan menjala pinjaman baru. Selasa ini, bank pemerintah BNI 1946, lagi-lagi, mencairkan kredit US$ 96 juta atau sekitar Rp 720 miliar untuk Texmaco, perusahaan milik Sinivasan. Opo tumon?
Pinjaman baru ini memang tak selonggar kredit ''murah" yang diperoleh Sinivasan sebelumnya. Ada banyak pagar. Kredit ini semacam kasbon untuk mengimpor bahan baku selama enam bulan, yang hanya bisa cair jika ada kontrak ekspor. Uang hasil ekspor ini masuk rekening khusus yang, teorinya, tak boleh dikutak-katik sembarangan oleh Sinivasan. Setiap sen pemakaian rekening khusus ini seratus persen diawasi BNI.
Sedangkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berperan selaku penjamin kredit. ''Untuk jaga-jaga. Kalau ada masalah, BPPN yang tanggung," kata Franklin Richard, pejabat Humas BPPN.
Namun, betapapun ketatnya, kasbon ini tetap istimewa. Di saat pengusaha baik-baik jungkir balik mencari pinjaman, Sinivasan, yang rapornya kebakaran, justru banjir kemudahan. Dan BNI itu, lo, kok, begitu gampangnya memberikan kredit, gede-gedean lagi. Katanya struktur modalnya masih rapuh, katanya risiko kredit masih tinggi. Lagi pula, pinjaman Rp 720 miliar itu jelas-jelas melanggar ketentuan perbankan. Berdasarkan laporan keuangan akhir September 1999, modal BNI cuma Rp 2,2 triliun. Menurut undang-undang, batas maksimal kredit yang boleh dicairkan BNI untuk satu nasabah cuma Rp 440 miliar. Kok, sekarang Rp 720 miliar? Apa bukan nakal itu namanya?
Harus diakui, kasbon istimewa makin menajamkan rekor-rekor istimewa yang dicetak Sinivasan. Anda tentu belum lupa, ketika kredit macetnya yang Rp 9,8 triliun di-ogrok-ogrok pers, ketika ia kena status tersangka, eh, Sinivasan bisa slanang-slonong ke Istana Merdeka, sowan ke Ciganjur, bertemu dengan presiden. Ketika pengusaha baik-baik yang lain antre di BPPN mengurus penyelesaian utang, eh, Sinivasan mendapatkan perlakuan khusus: kredit macetnya tak disetor ke BPPN, tapi diurus sendiri oleh BNI dengan deking penuh dari Menteri Keuangan.
Adalah Menteri Keuangan Bambang Sudibyo yang menggagas tim penyelesaian utang Texmaco, menyempal dari pakem yang ditetapkan pemerintah bersama Dana Moneter Internasional (IMF). Menteri Bambang membentuk lender's club yang dipimpin BNI dengan anggota BPPN, sebagai wakil Bank Exim, BRI, dan BTN, bank-bank yang juga memberi utang kepada Texmaco. Dengan kilat mereka merundingkan penyelesaian kredit macet raksasa ini dan, tak lama setelah itu, muncullah skema itu: rencana mengalihkan sebagian utang Texmaco menjadi penyertaan saham pemerintah.
Sayangnya, menurut analis keuangan, skema itu cuma menguntungkan Texmaco. Aset-aset Texmaco dinilai terlampau mahal sehingga bagian saham pemerintah tak sebanding dengan utang yang sudah diberikan bank-bank negara itu. Tenggat penyelesaian utang sisa (yang tidak dikonversi saham) juga dinilai terlalu longgar. Pendek kata, restrukturisasi utang Texmaco itu pincang, serba merugikan pemerintah. Di bawah kepemimpinan Glenn M.S. Yusuf, BPPN tegas menolak usulan itu. ''Tidak menguntungkan," kata Glenn. Tapi, setelah BPPN pindah tangan di bawah kendali Cacuk Sudarijanto, usulan ini tidak terbendung.
Untunglah restrukturisasi utang yang bengkok itu mulai dilempengkan. Dua pekan lalu, BNI menyerahkan kredit macetnya, termasuk sebagian kredit macet Texmaco, kepada BPPN. Meskipun demikian, tak ada jaminan bahwa skema penyelesaian utang yang digagas lender's club tadi akan muncul lagi. Salah satu petunjuknya, ya, kasbon impor Rp 720 miliar itu. Kasbon istimewa ini, harus diakui, merupakan bagian dari penyelamatan kredit macet Texmaco.
Franklin Richard mengakui, kasbon itu diberikan semata-mata agar Texmaco tetap hidup. Roda ekspor harus tetap dijaga agar nilai aset industri tekstil terpadu ini tidak anjlok. Pemerintah, yang berharap Texmaco melunasi utangnya dengan saham, akan merugi jika roda bisnisnya macet dan asetnya membusuk. ''Kita kebagian apa?" kata Franklin. Bisa-bisa bukan cuma gigit jari, tapi juga ikut menanggung gunungan utangnya.
Tapi tentu saja fasilitas kasbon istimewa ini akan menjadi preseden: mengapa cuma untuk Texmaco? Konglomerat lain, yang utangnya juga bertumpuk di BPPN, mungkin akan ramai-ramai minta fasilitas kredit yang sama. Kalau bukan kasbon untuk impor seperti Texmaco, kredit lain juga boleh: modal kerja, kek, investasi baru, kek, atau mungkin juga kredit untuk keperluan apa saja.
Dengan preseden kasbon Sinivasan, pengusaha mobil Timor, Hutomo Mandala Putra, mungkin akan punya ide untuk kembali mengembangkan mobil nasional dengan kredit baru bank pemerintah. Atau, dengan tambahan modal kerja, pengusaha Prajogo Pangestu mungkin akan menaikkan kapasitas produksi Chandra Asri. Meskipun bukan untuk pasar ekspor, produk Chandra Asri merupakan substitusi impor yang jika dibuat di dalam negeri akan menghemat devisa.
Menjawab pelbagai kekhawatiran ini, Franklin meyakinkan bahwa BPPN akan memasang banyak pagar sehingga tak gampang diterobos. Skala keuntungan dan risiko bisnis, kata Franklin, akan diukur dengan ketat. PT Timor, misalnya, tak bakal diberi kredit baru karena proyek ini masih harus menempuh jalan panjang sebelum sampai pada tahap produksi. Pokoknya, tidak gampang bagi pemilik kredit macet untuk mendapatkan tambahan utang seperti Texmaco.
Namun, itu baru kata Franklin. Kenyataannya kita lihat nanti sajalah: kalau muncul sepuluh pelobi hebat semacam Sinivasan yang gampang slanang-slonong itu, apa BPPN berani bilang tidak?
Mardiyah Chamim, Leanika Tanjung, dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo