Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Harawi Disapih Gus Dur

Presiden Abdurrahman Wahid minta agar kelompok usaha NU Harawi Sekawan bubar. Benarkah Harawi akan bebas dari koneksi Istana?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Abdurrahman Wahid cepat berubah-ubah. Ketika ia masih menjabat Ketua Umum PBNU, ia mendirikan PT Harawi Sekawan, pada Oktober 1998. Bersama dengan pengusaha Edward Soeryadjaya dan pengusaha NU Mustafa Zuhad Mughni, Harawi—kependekan Haji Abdurrahman Wahid—berkembang pesat. Nah, Senin pekan lalu, di tengah masa "keemasan" Harawi, Gus Dur yang kini Presiden RI justru meminta Harawi Sekawan dibubarkan saja.

Mudah diduga, Gus Dur tidak enak hati karena namanya banyak dicatut untuk melajukan roda bisnis Harawi. Katanya kepada pers, Edward Soeryadjaya masih suka membawa-bawa namanya dalam berbisnis. Padahal, kata kiai Ciganjur itu, "Saya sudah tidak pernah ikut campur di Harawi dan juga tidak punya saham di situ." Pemicu kemarahan Gus Dur adalah pembelian Mandiri Intifinance milik Siti Hediati (Titiek) Prabowo oleh Harawi akhir bulan lalu.

Gus Dur jelas tak ingin dibilang menciptakan kroni-kroni di sekitar Istana. Dan bisik-bisik memang terdengar kencang soal kroni baru ini: Presiden sering memberikan kesempatan kepada perusahaan koleganya. Salah satu yang sering disebut adalah keluarga Soeryadjaya, yang sudah membangun hubungan dengan Gus Dur lebih dari sepuluh tahun silam.

Tapi, apa benar begitu? Edward mengaku sudah lama tak terlibat dalam operasional Harawi. "Sejak Februari 1999, saya sudah tak menjadi pemegang saham Harawi lagi. Dan lagi, saya tak pernah ikut Gus Dur dalam berbagai kunjungannya ke luar negeri. Bagaimana mungkin saya dituduh sebagai kroni Presiden Abdurrahman?" katanya. Putra taipan William Soeryadjaya itu yakin ada pihak-pihak yang tidak suka padanya dan membisiki Gus Dur. "Padahal, yang dibisikkan itu keliru," katanya. Direktur Utama Harawi, Mustafa Zuhad Mughni, juga kaget mendengar pernyataan Gus Dur. Menurut dia, Harawi sama sekali tak pernah membawa-bawa nama Presiden dalam urusan bisnisnya.

Namun, tak bisa disangkal, ekspansi Harawi justru sangat kencang tatkala Presiden Abdurrahman naik ke tampuk pemimpin negara. Ada sejumlah investasi Harawi yang kelewat besar dan hampir semuanya berkongsi dengan Edward atau Om Willem, sapaan William Soeryadjaya, juragan lama Astra.

Ekspansi dimulai dengan pembelian saham Mandiri Intifinance sebanyak 4 juta lembar (3,3 persen) yang dilakukan akhir bulan lalu. Harawi, yang bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer), harus merogoh koceknya Rp 6,85 miliar. Selain Harawi, William Soeryadjaya juga menjadi pembeli siaga yang kini memegang 10 juta lembar, sedangkan Edward sendiri punya 209 juta lembar. Melihat track record Mandiri, investasi ini tergolong aneh. Sebab, dalam tiga tahun terakhir, Mandiri tak pernah untung. Tahun lalu, Mandiri rugi Rp 14 miliar setelah sebelumnya jeblok Rp 115 miliar. Selain itu, Mandiri Intifinance juga hampir didepak dari lantai perdagangan Bursa Jakarta karena laporan keuangannya diragukan.

Mustafa Zuhad menolak jika Harawi dianggap tak hati-hati berinvestasi. "Jangan lihat perusahaan itu untung atau rugi, tapi lihat prospeknya. Sebelum kami masuk, harganya hanya Rp 400-500, tapi sekarang sudah Rp 1.750-1.800 per lembar," katanya. Sayangnya, Mustafa tak ingat bahwa Harawi mengeluarkan Rp 1.700 untuk membeli tiap lembar saham Mandiri. Artinya, Harawi baru sedikit saja mendongkrak saham Mandiri. Edward pun satu suara dengan Mustafa. "Lebih baik membeli perusahaan seperti itu karena akan banyak fasilitas," kata Edward. Sebab, dengan posisi penyelamat, Harawi akan punya banyak kemudahan. "Berbeda dengan mendirikan perusahaan baru, yang justru malah sering merepotkan," tambahnya.

Investasi Harawi tak berhenti di situ saja. Edwin Soeryadjaya, adik Edward, rupanya juga tak ketinggalan ingin mengajak Harawi membidik saham Astra International. Edwin, yang masuk melalui Saratoga Investama Sedaya, memang tak sendirian. Bekas motor utama Astra International ini bergabung dengan konsorsium Newbridge Asia-Gilbert Global Equity Partners-Chase Asia Equity Partners. Nilai pembelian Astra memang sangat besar, yakni Rp 3,5-4 triliun. Kabarnya, konsorsium inilah yang kemungkinan besar akan menang dalam pertarungan memperebutkan Astra.

Tak cuma itu. Edward juga berniat menggandeng Harawi masuk ke proyek cybercity-nya di Kemayoran. Mustafa sendiri tampaknya juga antusias. Namun, dia mengaku belum tahu sejauh mana keterlibatan Harawi nantinya. Dia hanya membayangkan, Mandiri Intifinance akan menjadi salah satu perusahaan pembiayaan yang mendanai perusahaan yang ingin berusaha di cybercity yang luasnya 44 hektare itu. Edward juga mengajak Mustafa di L&M System, anak perusahaan L&M Holding. Di perusahaan yang bermarkas di Singapura ini, Mustafa duduk menjadi komisaris. Tapi Mustafa mengaku hanya sebagai profesional. Tak ada saham Harawi di sana dan juga tidak mewakili kepentingan Harawi.

Harawi sendiri punya agenda yang tak kalah pentingnya. BPR Nusumma yang kini sudah punya 15 cabang hendak dibesarkan lagi. Tak tanggung-tanggung. Harawi, yang pertama kali menggagas pendirian BPR Nusumma bersama Pengurus Besar NU, Edward, dan Jawa Pos pada 1989 ini, akan menambah 35 cabang lagi di Jawa dan luar Jawa. Investasinya pun tak kecil. "Sekitar Rp 30 miliar dan kami akan menggandeng sebuah perusahaan pembiayaan untuk menambah modalnya," kata Mustafa. Ini memang proyek yang terbengkalai gara-gara penyandang dana utamanya, Bank Summa, dilikuidasi pemerintah pada Desember 1992. Dari rencana semula 100 BPR, Harawi hanya mampu merealisasi 15 dan kini rencana itu akan dilanjutkan.

Dengan investasi yang sangat gencar seperti itu, jelas banyak kalangan yang mempertanyakan dari mana Harawi mendapatkan uang. Analis Nomura, Goei Siauw Hong, yakin bahwa Harawi tak akan sulit mencari dana karena memiliki basis massa yang luar biasa besar. "Dengan anggota (NU) lebih dari 30 juta orang, mestinya Harawi tak akan sulit memobilisasi dana," kata Hong kepada Lea Tanjung dari TEMPO. Sebagian yang lain mungkin berasal dari keluarga Soeryadjaya. Tapi Edward membantah. "Tak sepeser pun saya keluarkan duit untuk Harawi," katanya.

Seorang analis juga mempertanyakan keuangan keluarga Soeryadjaya kalaupun duit itu berasal dari bekas orang terkaya kedua di Indonesia itu. Menurut dia, sejak meninggalkan Astra pada Desember 1992, keluarga Soeryadjaya tak punya bisnis besar yang bisa dijadikan tambang uang. Kalaupun ada yang lumayan besar, itu hanyalah L&M Holdings dan Compass Vale Investment Ltd., keduanya perusahaan investasi di Singapura. Keluarga ini juga pernah punya bisnis minyak di Mongolia, tapi sudah dijual.

Kalau begitu, bagaimana mungkin Edward yang sering gagal dalam bisnisnya itu masih juga bisa merangkul Harawi dengan aman? Pengalaman Harawi dengan Edward pun sudah menunjukkan hal itu. Lihat saja kegagalan pembelian Bank Papan Sejahtera (Bank Papan) oleh Harawi pada November 1998 yang berakhir tragis. Menurut sumber TEMPO, Edwardlah yang membisiki Gus Dur agar mengambil Bank Papan dan kebetulan Gus Dur cocok.

Sayangnya, Harawi Sekawan justru kejeblos di Bank Papan. Dengan dana Rp 30 miliar, Harawi menjadi pemegang saham pengendali menggantikan PT Tunasmas Panduarta milik Hashim Djojohadikusumo. Namun, kondisi Bank Papan ternyata sangat buruk. Bank yang semula khusus menangani kredit perumahan ini keropos dan banyak digangsir pemilik sebelumnya. Tak mengherankan jika akhirnya Harawi gagal menyelamatkannya. Edward sendiri bahkan harus keluar dari Harawi karena Bank Indonesia tak mengizinkan Edward menjadi pengurus Bank Papan. Pemerintah akhirnya menutup Bank Papan pada pertengahan Maret 1999.

Penutupan Bank Papan itu membuat Gus Dur marah besar. Harawi akhirnya memperkarakan Hashim ke pengadilan niaga. Gus Dur bahkan secara terbuka ingin membangkrutkan Hashim. "Kalau perlu sampai ke kolor-kolornya," katanya. Tapi gugatan ini kandas karena begitu Bank Papan ditutup, Harawi bukanlah pemilik Bank Papan lagi, sehingga dia tak berhak memailitkan Hashim. Boleh jadi, inilah buah dari ketidakhati-hatian Harawi, yang anehnya tetap saja dilakukan sampai sekarang. Pembelian Mandiri adalah contoh lain ketidakhati-hatian itu.

Nah, bagaimana nasib investasi Harawi setelah Gus Dur melarang nama Harawi dipertahankan? Salah satu eksekutif Mandiri yang semula yakin akan mampu membalik kondisi Mandiri Intifinance kini melemah sikapnya. "Habis, mau bagaimana?" katanya. Harus diakui, nama Gus Dur memang bisa menjadi jaminan bagi siapa pun yang ingin berkongsi dengan Harawi. Tapi, bagi Presiden Abdurrahman, mempertahankan Harawi sama saja dengan memelihara konflik kepentingan yang bisa merugikan banyak orang, termasuk Presiden sendiri. Jika nanti Harawi benar-benar bubar, atau berganti nama dan "bersih" dari koneksi Istana, itu artinya Gus Dur lulus dari satu ujian yang penting.

M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Agus S. Riyanto, Iwan Setiawan


Bisnis Harawi Sekawan
Nama PerusahaanWaktu PembelianHarga/NilaiPorsi SahamStatus kepemilikanKeterangan
BPR Nusumma1992Rp 12,5 miliar52%Didirikan bersama Bank Summa dan Grup Jawa Pos.Nilai aset Nusumma Rp 24 miliar. Cabangnya akan ditambah 35 buah lagi.
Mandiri IntifinanceFeb. 2000Rp 6,85 miliar3,3%Pembeli siagaSaham akan dilepas jika ada yang membeli.
Bank Papan SejahteraNov. 1998Rp 30 miliar19,98%Dibeli dari SBC Warburg dan Sommers Far EastBank ini ditutup pemerintah Maret 1999

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus