OTTO Graf Lambsdorff berjalan pincang. Tapi Menteri Ekonomi dari
Republik Federasi Jerman (RFJ) itu berbicara mantap dan kokoh,
terutama bila ia menyampaikan siasat Bonn untuk meningkatkan
ekspor. Penampilannya mengesankan ketika singgah di Indonesia
(21 - 26 Agustus) dalam perjalanan keliling Asia.
Jerman Barat dengan DM, sebagaimana halnya Jepang dengan Yen,
belakangan ini sangat gusar menghadapi nilai dollar AS yang
merosot. Dengan depresiasi dollar itu, yang berakibat nilai DM
menjadi makin tinggi, Indonesia ikut merasakannya. Karena Rupiah
dikaitkan dengan dollar, maka impor Indonesia dari Jerman akan
mahal jadinya.
Hubungan dagang Indonesia-Jerman telah meningkat dari tahun ke
tahun. Umpamanya tahun 1977, menurut statistik Bonn, impornya
dari Indonesia bernilai sekitar DM 759 juta, naik 42% dari tahun
sebelumnya. Tapi ekspornya ke Indonesia juga banyak meningkat,
menjadi sekitar DM 1013 juta ($ 501, juta) pada tahun 1977,
demikian Antara yang mengutip kantor statistik RFJ di Wiesbaden.
Statistik ini bisa bermacam-macam, tapi pasti sudah bahwa
Indonesia mengalami defisit besar dalam neraca perdagangannya
dengan Jerman Barat.
Pameran Industri
Tanpa memperincinya, Dr Lambsdorff dalam suatu pidato di depan
Ekonid, suatu asosiasi pengusaha Indonesia-Jerman, mencatat
bahwa hubungan dagang RI-RFJ tahun 1977 yang "hampir 2 milyar
DM" telah berlangsung "secara sukses" yang merupakan dorongan
untuk dikembangkan lagi. Diingatkannya lagi mengenai akan
diadakannya Pameran Industri Jerman tahun depan di Jakarta.
Pameran itu, tentu saja, bertujuan untuk memperbesar lagi
ekspornya ke Indonesia.
Masalahnya ialah bagaimana Indonesia akan terus mau mengimpor
dari Jerman, sedang ekspornya ke sana sukar ditingkatkan, hingga
defisitnya tetap besar. Dan bagaimana pula Indonesia akan
tertarik bila nilai DM yang tinggi itu membuat barang Jerman
bertambah mahal di negeri ini. Tampaknya Dr Lambsdorff mengerti
betul persoalan ini, dan membukakan jalan untuk mengatasinya.
Bagaimana? Pertama, dia mencoba meyakinkan para pejabat
Indonesia bahwa bantuan keuangan Jerman akan tetap diberikan
seperti tahun-tahun sebelumnya. Bantuan resmi itu biasanya
berupa pinjaman lunak (berjangka panjang dengan sukubunga rendah
sekali) maupun grant yang tidak perlu dibayar kembali. Sampai
sekian jauh pinjaman dari Jerman itu mencapai DM 1,7 milyar
lebih, sedang grant-nya hampir DM 420 juta. Bantuan resmi itu
disebut untied tidak mengikat, berarti Indonesia bebas
membelanjakannya untuk memperoleh produk dan jasa dari pihak
ketiga, negara lain. Tapi dalam prakteknya, bantuan resmi Jerman
itu dipakai untuk mengimpor dari Jerman guna memenuhi keperluan
pembangunan ekonomi Indonesia. Maka itu sekaligus bertujuan
mendorong ekspornya.
Kedua, dia menjanjikan pengaruh Bonn untuk menjamin kredit
ekspor lebih banyak dari perbankan Jerman guna mensuplai barang
modal yang diperlukan berbagai proyek Indonesia. Biasanya kredit
ekspor itu ditolongnya menjamin bilamana terdapat partisipasi
perusahaan Jerman dalam proyek itu. Umpamanya proyek Krakatau
Steel di Cilegon. Tidak diketahui berapa -- pasti sudah milyaran
DM pula -- jumlah kredit ekspor Jerman itu yang dipakai
Indonesia. Itu juga sekaligus mendorong ekspornya.
Sengaja Indonesia dikunjungi Menteri Lambsdorff pada saat
pemerintah sibuk mempersiapkan Repelita III. Makadia kontan
diberitahu tentang betapa besarnya dana yang diperlukan dan
proyek-proyek mana yang kiranya mengharapkan bantuan kredit
Jerman. Antara lain, kata Dr Lambsdorff pada pers Bonn akan
membantu Indonesia dalam pembangunan proyek Krakatau Steel tahap
kedua, proyek alumina di Bintan, proyek galangan kapal di
Surabaya dan proyek methanol di Kalimantan Timur. Semua itu
jelas akan membuat ekspor Jerman ke Indonesia melonjak hebat.
Bahwa produk Jerman bertambah mahal bagi Indonesia karena
merosotnya nilai dollar AS, itu soal lain lagi. Untuk barang
Made in German, toh orang Indonesia suka mengatakan: "Kalah
membeli, menang memakai."
Sebagai tambahan, Dr Lambsdorff berpesan lagi seperti yang
diucapkannya di forum Ekonid: Bantuan resmi (Jerman) "tidak akan
menolong jika pasaran (Dunia Ketiga) dibiarkan tertutup ....
Negara-negara berkembang juga harus bersedia membuka pasaran
mereka untuk impor dari negara-negara berkembang lainnya maupun
dari negara-negara industri." Pasaran terbuka itulah yang dicari
Jerman di mana-mana, tentu juga di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini