Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Langkah Awal Memugar Aceh

Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias menjadi acuan pembangunan jangka panjang. Masyarakat Aceh bergerak lebih cepat.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERJA keras pemerintah meramu konsep rencana induk?alias master plan?rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias, Sumatera Utara, akhirnya rampung di akhir tahap tanggap darurat. Tepat tiga bulan setelah wilayah ini luluh-lantak diterjang tsunami, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerahkan rencana itu kepada masyarakat Aceh pada 26 Maret 2005 lalu. Belum final, tentu, karena rakyat di kedua wilayah itulah yang akan memoles penyelesaian akhirnya.

"Pemerintah menargetkan kehidupan masyarakat Aceh dan Nias kembali normal dalam lima tahun ke depan," kata Deputi Menteri Negara Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional, Tatag Wiranto. Karenanya, rehabilitasi dan rekonstruksi itu harus mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat di kedua daerah itu.

Setelah rencana pembangunan 2004-2009 berakhir, kata Tatag, rencana induk ini juga akan dijadikan acuan pembangunan Aceh dan Nias dalam jangka waktu lebih panjang. "Kita akan membangun kembali sistem yang hancur," ujarnya. Penyembuhan pertama adalah terhadap manusia, meliputi aspek spiritual, emosional, fisik, maupun inteligensi, yang mengalami gangguan akibat bencana.

Namun, permasalahan individu itu tidak akan terentaskan bila infrastruktur fisik dan kelembagaan tak dibenahi. Dari mana pembangunan ini akan dimulai? Menurut Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Junius Hutabarat, lebih dulu perlu dilakukan konsolidasi tanah (land consolidation). Artinya kepemilikan tanah didata ulang, kemudian dibuat peta dan rencana tapak (site plan). "Detail tata ruang memang harus dibuat masyarakat Aceh sendiri," kata Junius. "Rencana induk hanya memuat struktur tata ruang Aceh secara makro."

Site plan itu harus mengantisipasi ancaman bencana, tak hanya tsunami, tapi juga gempa, banjir, dan kebakaran. Konsekuensinya, ada lahan masyarakat yang akan dipakai untuk fasilitas umum, misalnya untuk pelebaran jalan atau drainase. Namun, menurut Tatag, pemerintah menjamin hak atas tanah bagi pemilik yang masih hidup maupun ahli warisnya. Artinya, pemerintah menyediakan kompensasi bagi penggunaan tanah masyarakat untuk kepentingan publik.

Pemerintah juga akan memberikan kompensasi atas harta benda pribadi yang mengalami kerusakan. Rumah yang hancur total akan diganti Rp 28 juta dan rumah yang rusak ringan diganti Rp 10 juta. Masyarakat juga bebas menentukan pilihan untuk pindah atau kembali ke tempat tinggal semula. Bagi masyarakat yang ingin pindah, pemerintah menyediakan alternatif perumahan yang nantinya dibangun swasta. "Bisa saja uang kompensasi yang diberikan pemerintah itu digunakan membeli rumah," kata Tatag.

Namun, menurut Ketua Aceh Recovery Forum, Humam Hamid, masyarakat sebenarnya sudah bergerak lebih cepat dari rencana induk yang dibuat pemerintah. "Banyak di antara masyarakat yang sudah kembali ke tempat tinggal asalnya," katanya. Bahkan nelayan sudah kembali melaut dan membangun rumah seadanya di tempat tinggal semula. Bagi mereka, tinggal di daerah pantai lebih dekat dengan tempat mencari nafkah. Tak mengherankan bila saat ini, dari sekitar 400 ribu jiwa yang tinggal di barak-barak penampungan, hanya tersisa sekitar 30 persen.

Meski begitu, kata Humam, bukan berarti masyarakat Aceh tak bisa diatur. Masyarakat diyakini dapat menerima rehabilitasi, asal pemerintah membukanya dengan dialog, termasuk soal konsolidasi tanah dan kompensasi yang dijanjikan pemerintah. Bahkan sebenarnya masyarakat Aceh menghendaki rehabilitasi itu tak hanya berorientasi di wilayah bencana, tapi pembangunan jangka panjang seluruh wilayah Aceh. "Penataan ruang Aceh adalah entry point yang bagus untuk mulai membangun Aceh," katanya.

Menurut Junius, penataan ruang Aceh dan Nias tidak mengikuti konsep zonasi yang sebelumnya dibagi menurut fungsi-fungsi khusus, misalnya fungsi pusat bisnis atau perdagangan. Sesuai dengan rencana induk, konsep zonasi dibagi menurut dampak bencana yang ditimbulkan. Karena itu, zona yang ditetapkan adalah daerah berbahaya dan daerah dengan risiko bencana sangat berat. Selanjutnya ditentukan pula kawasan dengan risiko bencana berat, sedang, dan ringan. Konsekuensi penentuan kawasan ini akan membedakan struktur dan biaya bangunan.

"Masyarakat akan diberi pilihan. Yang penting mereka diberi tahu konsekuensinya bila ingin membangun rumah atau bangunan lain di zona yang sangat berbahaya atau zona lainnya," kata Junius. Setelah masyarakat memilih kawasan tempat tinggalnya, barulah dibuat site plan. Tapi, sebelum perumahan dibangun, harus disiapkan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, telekomunikasi, dan air. "Jaringan infrastruktur ini akan dibangun di bawah tanah."

Bagaimana dengan tata ruang dan pembangunan infrastruktur lain? "Konsep ini juga masih dibicarakan dengan masyarakat," kata Junius. Rencana induk hanya memberi arahan, misalnya pusat permukiman dan kota-kota di pantai barat Aceh tetap dipertahankan untuk menjaga keseimbangan pertumbuhan antarwilayah. Untuk itu, jaringan jalan akan direhabilitasi dan ditambahi jaringan jalan baru. Di wilayah pantai akan dikembangkan kawasan konservasi dan penyangga yang berfungsi sebagai pelindung dari bencana.

Menurut Tatag, pelaksanaan pembangunan fasilitas infrastruktur itu akan ditenderkan. "Sekarang belum ada tender. Namun, bila bulan ini sudah ada konsep kegiatan pembangunan yang jelas, secepatnya akan ditender," ujarnya. Perusahaan lokal di Aceh dan Nias diberi kesempatan berpartisipasi. Saat ini sedang disiapkan dokumen pengadaan barang yang seragam untuk berbagai sumber pendanaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Pembiayaan rehabilitasi Aceh dan Nias untuk lima tahun, kata Tatag, sekitar Rp 35 triliun menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sekitar Rp 2 triliun menggunakan anggaran pembangunan daerah, dan sekitar Rp 5 triliun dari donor lembaga nonpemerintah di luar negeri. "Total pembiayaan itu diperkirakan mencapai Rp 41 triliun lebih," ujarnya. Sumber dana APBN itu sendiri ada yang berasal dari hibah dan pinjaman lunak luar negeri, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kuwait, dan Bank Dunia.

Bagi Humam, rakyat Aceh sangat berharap penggunaan dana itu transparan dan akuntabel. Pihaknya juga tidak mempersoalkan akan dibentuknya badan pelaksana oleh pemerintah pusat yang akan melaksanakan tender di Aceh. Bagi Aceh, yang lebih penting adalah segera dilakukan rehabilitasi agar kemiskinan dapat dikurangi dan pengangguran terserap dalam kegiatan pembangunan. "Bayangkan, kemiskinan di Aceh sebelum bencana tsunami saja mencapai 40 persen dari jumlah penduduk yang 4,2 juta jiwa. Apalagi sekarang," tuturnya.

Taufik Kamil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus