Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bandung

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah celah di antara rimbun pohon-pohon hutan di Ohio, wanita tua itu memimpin pertemuan para bekas budak. Ia namai pertemuan itu "Call". Ia tak berkhotbah. Baby Suggs hanya berkata, "Di tempat ini, di sini, kita daging, daging yang nangis, ketawa; daging yang menari dengan kaki telanjang pada rumput."

Jika ada yang magis dalam novel Toni Morrison, Beloved, ialah karena ia mengingatkan kita akan arti "daging"—daging yang pernah dirantai perbudakan, dicap seperti ternak, dan dihina dalam apartheid. Daging "negro".

"Jadi seorang negro di Amerika berarti mencoba senyum ketika kita ingin menangis. Berarti mencoba pegangi hidup jasmani di tengah jiwa yang mati. Berarti menyaksikan anak kita tumbuh dengan mendung rasa rendah-diri meliputi langit mental mereka. Berarti melihat kaki kita dipotong dan kita dihukum karena tak bisa jalan."

Kalimat Martin Luther King Jr. pada tahun 1960-an itu mungkin bergema ketika Morrison menulis novelnya yang terbit pada 1987 itu: kisah tentang sebuah rumah yang disebut hanya dari nomornya, "124", tentang Beloved, si hantu dari masa silam, tentang Sethe yang membunuh anak sendiri, dan tentang Baby Suggs yang berharap.

Di "Call" di hutan itu, Baby Suggs seakan-akan ingin memulihkan kaki negro yang telah "dipotong", kaki yang tak bisa lagi menari dan merasakan asyiknya keleluasaan.

Tapi akhirnya ia juga tak berdaya. Pada suatu hari Sethe, anak tirinya, datang ke "124". Perempuan itu lari dari tuannya, pemiliknya. Ia telah memutuskan: lebih baik ia dan keempat anaknya mati ketimbang jadi budak. Ketika sang pemilik datang memburunya, ia pun membunuh si upik—tapi gagal menghabisi nyawa yang lain, gagal juga bunuh diri.

Apa yang bisa dilakukan? Baby Suggs pun menyerah. Ia merebahkan tubuhnya dan berkata: akhirnya si negro harus menanggungkan apa saja yang dilakukan si putih.

Tapi tak semua menyerah. Sementara di Amerika orang hitam ditindas sampai ke tengah abad ke-20, di benua lain jutaan orang dengan pelbagai warna kulit tak mau menolak untuk disekap dalam koloni "orang putih". Sejak awal abad ke-20 mereka membentuk kekuatan. Juga dengan senjata.

Mereka disebut "Asia-Afrika".

Tak ayal, orang hitam di Amerika pun melihat "Asia-Afrika" sebagai obor. Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan April 1955 segera jadi bagian dari cerita mereka. Maka datanglah ke Indonesia Richard Wright, penulis novel Native Son yang terkenal itu, kisah tentang si Bigger Thomson yang terjepit di kehidupan "putih" Amerika dan jadi pembunuh. Dari Bandung ia menulis sebuah "kronik" konferensi bangsa-bangsa yang tak mau terjepit, The Color Curtain.

Buku itu terbit pada tahun 1956. Sayang tak mengesankan. Tapi Bandung tetap bergaung. Dengarkan suara Malcolm X, November 1963, di Detroit.

"Di Bandung semua bangsa datang…. Hitam, sawo matang, merah, atau kuning…. Nomor satu yang tak mereka izinkan datang ke konferensi Bandung adalah orang putih…. Sekali mereka keluarkan orang putih, mereka tahu mereka dapat bersatu…."

"Bandung" ternyata punya banyak arti. Para pemimpin Asia (Soekarno dan Nehru) melihatnya sebagai usaha mengatasi ketegangan militer antara Uni Soviet dan Amerika Serikat yang mengancam seantero bumi. Bagi mereka Konferensi A-A itu lebih merupakan suara perdamaian ketimbang pekik pedih ras yang tertindas.

Tapi bila bagi mereka "Bandung" adalah kecaman atas dunia yang terbelah, bagi Malcolm X "Bandung" justru pengukuhan sebuah dunia yang terbelah. Waktu itu ia memimpin gerakan orang hitam yang ingin memisahkan diri dari Amerika yang putih. Suaranya memang getir. Ketika ia berumur enam tahun, bapaknya, seorang pendeta Baptis, dibunuh setelah menerima surat ancaman dari Ku Klux Klan, dan ibunya terguncang jiwanya. Malcolm kecil dan tujuh saudaranya telantar. "Semua orang Negro marah," katanya, "dan saya yang paling marah."

Marah punya daya tersendiri. Marah bisa seperti Beloved, hantu dari masa lalu, roh si upik yang terbunuh, wakil 16 juta budak yang mati di sebuah "holocaust" yang tak pernah disebut "holocaust". Marah bisa membuat sejarah. Dan bila bagi si kulit hitam sejarah itu tak ditandai oleh "Bandung" sebagai panggilan perdamaian, itu karena tak jelas apa akhirnya: mungkinkah nanti ada sintesis antara si "hitam" dan si "putih", seperti sintesis dalam bentuk masyarakat tanpa kelas menurut teori Marxis tentang sejarah perjuangan buruh?

Bagi Franz Fanon, jawabnya muram. Pada suatu hari di satu sudut Paris, seorang anak berteriak ke arahnya, "Lihat, ia negro!". Saat itu ia sadar bahwa ia, si negro, mendapatkan kerangka makna dirinya melalui "tatapan" orang lain, sebuah kerangka yang "sudah siap, telah ada sebelumnya, menunggu" dan mudah dipakai bahkan oleh anak-anak. Makna itu telah dipatri di warna kulitnya. Ia "negro", titik.

Seakan ke-"negro"-an adalah sesuatu yang kekal, tak dipengaruhi sejarah. Tapi Fanon sendiri sadar, dalam perjalanan, di dunia, "aku tak henti-hentinya menciptakan diriku sendiri." Bukan untuk mengingkari identitas, tapi karena identitas diri mustahil jadi jerat, atau sebaliknya, jadi berhala yang disembah dan tak berubah.

Bahkan Malcolm X berubah. Pada tahun 1964 ia ke Mekah. Ia baca Quran dan sadar bahwa manusia, juga dalam marahnya, tetap manusia yang terbatas, dan sebab itu harus adil, juga kepada musuh. Sebab manusia bukan sebuah definisi. Manusia adalah "daging yang nangis, ketawa", makhluk yang konkret, yang bisa berbahagia sesaat tapi juga bisa mengatasi benci, bisa bercita-cita tapi juga, seperti ia sendiri, Malcolm X, bisa dibunuh.

Manusia seperti itulah yang merasa diwakili di Bandung: kombinasi antara hantu dari zaman yang zalim dan sikap gagah ke masa depan, gerakan yang gentar tapi penuh harap. Tentang "Call" pada bulan April 1955 itulah Wright dalam The Color Curtain menulis: "Yang dinistakan, yang dihina, yang dilukai, yang dihilangkan haknya… berkumpul di sini."

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus