Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Mengandalkan Kebun Binatang

Peningkatan target penerimaan pajak tak akan diikuti kenaikan tarif. Struktur penerimaan belum adil, peluang kebocoran di sana-sini.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SISA letih setelah kekalahan kelompoknya di Kongres PDI Perjuangan di Bali belum habis, ketika Kamis malam pekan lalu Kwik Kian Gie harus menghadapi "kekalahan" lain. Bekas Menteri Koordinator Perekonomian itu mengetik sendiri naskah permintaan maaf yang akan diiklankannya di sebuah media massa nasional, sebagai jawaban atas somasi yang diterimanya dua hari sebelumnya dari Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo. "Saya juga membuat surat jawaban tertulis untuk Direktur Jenderal Pajak," katanya.

Politisi senior PDI Perjuangan ini mengaku tak memiliki pilihan lain. Ia tak mampu membuktikan tudingan yang diungkapkannya melalui sebuah artikel opini yang dimuat di harian Kompas, edisi 26 Maret lalu. Dalam artikel berjudul "Audit dan Penataan Kembali Organisasi Birokrasi" itu, Kwik menulis soal besarnya kebocoran penerimaan negara yang terjadi di Direktorat Jenderal Pajak. "Paling sedikit 50 persen dari uang yang disepakati dibayar oleh wajib pajak sebagai final settlement digelapkan oleh pejabat pajak...," Kwik menulis.

Besaran yang disebut Kwik sebagai potensi penerimaan negara yang menguap dikorup memang bombastis: Rp 180 triliun. Tapi ia pun menerangkan, perhitungannya hanyalah gambaran sangat kasar, berdasarkan angka-angka perubahan APBN 2003. "Itu saya ambil dari "buku putih" saya tentang strategi pemberantasan korupsi, yang isinya sudah pernah saya tunjukkan ke Pak Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih jadi menteri koordinator di Kabinet Gotong Royong," katanya. "Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo ketika itu pun saya beri tahu bahwa saya menulis soal itu bukan karena punya masalah pribadi dengannya," katanya.

Bagi Hadi Purnomo, inilah pertama kalinya ia tampak begitu berang dengan suara-suara miring yang ditujukan ke lembaganya. Direktur Jenderal Pajak dengan rekor terpanjang ini—karena sudah menjabat sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid—biasanya punya siasat berkelit lebih lunak. Tapi kali ini, melalui surat yang ditandatangani Direktur Peraturan Perpajakan, Herry Sumardjito, ia tak hanya meminta bukti konkret atas pernyataan Kwik.

Hadi juga menyertakan ancaman memperkarakan ekonom yang dikenal kritis sejak masa Orde Baru itu ke pengadilan, jika dia tidak bisa menunjukkan buktinya dalam tujuh hari. "Kasihan anak buah saya di daerah, nama mereka jadi buruk," katanya. "Kalau kami diam saja, nanti orang mengira itu berarti membenarkan pernyataan Pak Kwik." Atas desakan anak buahnya pula, katanya, ia melayangkan somasi itu.

Kwik tak berkutik. Tapi mampukah itu menghentikan kecurigaan orang atas institusi tersebut? Sepertinya tidak. Dengan mengatakan tak takut disomasi seperti Kwik, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri masih bersuara lantang tentang begitu besarnya duit yang mestinya bisa masuk kantong negara, seandainya sistem perpajakan kita dibenahi.

Ditemui seusai berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis siang pekan lalu, Faisal tak terlalu gembira mendengar bahwa dalam Rancangan APBN Perubahan tahun ini pemerintah mengusulkan kenaikan jumlah setoran pajak. Dalam rancangan yang kini sudah di tangan DPR itu, target dibuat menjadi Rp 319,44 triliun, dari patokan sebelumnya di APBN sebanyak Rp 297,4 triliun.

Tak semua kenaikan itu menjadi tanggungan Direktorat Jenderal Pajak, memang. Hanya, porsi lembaga inilah yang terbesar, yakni naik menjadi Rp 273,64 triliun, dari target APBN Rp 256,54 triliun, atau ada kenaikan Rp 17,1 triliun. Selebihnya harus dipenuhi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan menaikkan target penerimaan cukai dari Rp 28,93 triliun menjadi Rp 31,44 triliun, dan menggenjot pajak ekspor-impor (lihat tabel 1).

Berapa pun angka kenaikan itu, kata Faisal, pasti akan tercapai. "Sistem yang ada sekarang memposisikan Direktorat Jenderal Pajak sebagai pihak yang menentukan target penerimaannya sendiri. Tentu saja mereka akan membuat target yang mungkin bisa dicapai dengan cara santai." Padahal, kata Faisal, potensinya sendiri masih jauh lebih besar dari yang mereka patok. Seperti halnya Kwik, Faisal menganggap banyaknya peluang kolusi antara aparat pajak dan wajib pajak membuat banyak potensi itu menguap.

"Angka yang diungkapkan Pak Kwik memang terlalu berlebihan. Perkiraan saya, mungkin sekitar Rp 40 triliun," katanya. Dan Faisal buru-buru menyusulkan keterangan berikutnya, bahwa tidak berarti uang sebanyak itu habis dikorup para pejabat pajak. "Itu adalah potensi yang hilang. Sebagian dikorup, sebagian lain merupakan potensi pajak yang tak dibayarkan dan menjadi keuntungan bagi wajib pajak."

Pengusaha yang pernah menjabat Wali Kota Batam dan kini menjadi anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Asman Abnur, mengakui tak sedikit rekan-rekannya sesama pengusaha mempraktekkan apa yang dikatakan Faisal itu. Selama prinsip sama-sama untung dijaga, semua akan berjalan mulus. Si pengusaha bisa membayar pajak lebih rendah dari seharusnya, dan aparat pajak bisa mengantongi sebagian "diskon" yang diberikan. "Semua bisa tahu dan merasakan ini terjadi," katanya. "Tapi, kalau diminta membuktikannya secara hukum, wah, pasti susah."

Hadi Purnomo sendiri sebenarnya tak membantah bahwa modus semacam ini mungkin terjadi di lembaganya. Hanya, katanya, kesempatan itu muncul akibat wajib pajak yang tidak jujur mengisi surat pemberitahuan (SPT) pajaknya.

Seorang pengusaha nasional terkemuka pun mengakui, tak jarang ia melakukan praktek serupa. Menurut dia, selama masih banyak "wilayah abu-abu" dalam peraturan pajak yang memungkinkan munculnya aneka interpretasi belum diperbaiki, selama itu pula praktek cincai itu masih akan subur.

Pengusaha itu mencontohkan, jika ia menyerahkan SPT dengan angka pajak penghasilan pribadi Rp 100 juta, petugas akan datang dengan menyodorkan angka Rp 300 juta. "Biasanya kami malas berdebat, karena ujungnya pasti kalah. Satu-satunya cara adalah mencari angka baru di antara kedua nilai itu. Tentu saja untuk itu ada biayanya," katanya.

Alasan yang lebih "bisa diterima" juga ada. Ia mengatakan bahwa tarif pajak penghasilan untuk perusahaan (PPh badan) di Indonesia masih terlalu tinggi. Repotnya, perilaku pemungutan pajak kita selama ini masih mirip dengan para pemburu yang beraksi di kebun binatang. "Kalau ada kenaikan target, mereka yang selama ini patuh membayar di peringkat atas itu pula yang terus-terusan diperas," Faisal Basri membenarkan.

Dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju, struktur penerimaan pajak kita masih terlalu timpang oleh dominasi PPh badan, dengan porsi di atas 60 persen. Dengan demikian, meskipun berulang kali Hadi Purnomo meyakinkan bahwa kenaikan target tak serta-merta diikuti peningkatan tarif pajak, bagi para pengusaha tetap saja itu berarti tambahan beban. "Karena itu kenaikan 0,7 persen dari produk domestik bruto (PDB) kali ini sudah mentok. Dunia usaha akan menderita kalau kita paksa lebih dari itu," kata Dradjad Wibowo, ekonom yang juga anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR.

Porsi yang juga masih terlalu tinggi adalah pos penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM), yang mencapai lebih dari 39 persen. Adapun pajak penghasilan pribadi, yang di negara-negara maju menjadi tulang punggung penerimaan, di Indonesia justru hanya menyumbang tak sampai satu persen penerimaan. Dibandingkan di negara-negara dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), beban pajak yang harus ditanggung para investor dan konsumen di Indonesia masih terlalu berat (lihat tabel 2).

Struktur seperti ini menempatkan pemerintah dalam posisi serba salah. Di satu sisi kita ingin mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam menambal defisit, dan karena itu peningkatan pajak adalah salah satu solusi. Tapi di sisi lain dunia usaha yang terlampau tertekan akan menyebabkan kelesuan investasi, yang ujungnya adalah pengangguran yang meningkat. Kalau sudah begitu, kebun binatang pun akan kosong.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus