Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lesu, tapi ramai-ramai melaju

BEJ akan diramaikan oleh ratusan juta saham baru. dalam persaingan ketat ini, mereka menekan per dan membanting harga. padahal potensi investor asing tersedot ke amerika.

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELESUAN di Bursa Efek Jakarta belum reda. Namun, situasi itu tidak menciutkan nyali Modern Bank, Bank Rama, PT Mulialand, dan PT Alfindo Putra untuk mengeduk dana dari pasar modal. Keempatnya bulan ini akan masuk bursa. Saham yang ditawarkan mencapai 207 juta lembar dengan nilai Rp 762 miliar. Tak bisa tidak, dengan masuknya saham dalam jumlah raksasa, Bursa Efek Jakarta (BEJ) pasti akan berdenyut lebih keras. Apalagi keempatnya hampir bersamaan terjun ke bursa. Mulialand melakukan final hearing akhir Mei, sedangkan Alfindo, Modern Bank, dan Bank Rama serempak pekan-pekan ini. Mungkin karena terpengaruh suasana bearish, banyak pelaku bursa yang menyangsikan kesuksesan saham-saham itu. Pasalnya, sebelum itu bursa juga telah diramaikan oleh 140 juta saham Ciputra Development dan Putra Surya Perkasa dengan nilai Rp 1,115 triliun. Dan itu masih ditambah dengan penawaran 35 juta lembar saham PT Jaya Real Properti. Untuk menarik investor, mereka memasang price earning ratio (PER) di bawah 15 kali. Dengan PER rendah, investor berpeluang menarik untung. Juga karena harus bersaing, mereka tak berani mematok harga tinggi. Modern Bank hanya memasang harga Rp 2.000-Rp 2.200 per lembar. Begitu pula Bank Rama, yang melempar 25 juta lembar saham, hanya menetapkan harga Rp 4.000 per lembar. Mulialand konon menawarkan 147 juta lembar dengan harga perdana Rp 3.900. Kendati harga sahamnya miring, Mulialand bakal mengeruk dana tak kurang dari Rp 570 miliar. Menurut Direktur Keuangan Mulia Group, Haryanto Thamrin, kelak dana itu digunakan untuk membiayai proyek BRI Tower III dan Taman Agrek Mall & Condominium. "Sisanya untuk pencadangan lahan-lahan baru dan bayar utang," Haryanto merinci. Akankah Mulialand sukses di pasar perdana? "Isu-isu negatif yang mempengaruhi pasar modalkan sudah lewat, sehingga koreksi harga juga telah selesai," Haryanto optimistis. Kinerja Mulialand memang meyakinkan. Dengan kekayaan per Desember 1993 Rp 969 miliar lebih, Mulialand meraih laba bersih hampir Rp 26 miliar - naik 500% lebih dari tahun lalu. Dan Haryanto berani memperkirakan, laba tahun ini tak jauh berbeda dengan laba tahun lalu. Tak mengherankan bila kini sudah ada yang berani bicara lantang. "Ini the best blue chip," kata Frank Taira, Direktur PT Sigma Batara, yang menjadi penjamin emisi Mulialand. Mereka juga akan mengadakan road show ke 16 kota besar di Asia, Eropa, dan Amerika dalam pekan-pekan ini. Jerih payah itu agaknya klop dengan pandangan pihak luar terhadap Mulialand. Sarwono, Direktur Divisi Penilai dan Konsultan PT Surya Prapta Indah, beranggapan prospek bisnis properti masih akan cerah hingga tahun depan. "Itu, antara lain, karena masuknya investor dari Timur Tengah," katanya. Namun, menurut Eugene K. Galbraith, Presiden Direktur PT Hoare Govett Asia Indonesia, saat ini suplai saham sudah berlebihan. Akibatnya, investor lebih selektif memilih saham, khususnya di pasar perdana. Lagi pula, kata Galbraith, "Bursa Tokyo juga menyedot dana yang diarahkan ke Asia Pasifik." "Saat ini fund manager asing hanya menyisihkan 10% dananya untuk membeli saham di pasar perdana," kata seorang pialang asing. Ditambahkannya, penyebab utama melemahnya BEJ adalah kenaikan suku bunga di Amerika. Akibatnya, investor asing mengalihkan portfolio investasi ke perbankan Amerika seraya menghentikan pembelian saham dan melepas portfolio sahamnya. Padahal, 60% hingga 70% transaksi di BEJ dikuasai asing. Kini 75% saham yang digelar di BEJ anjlok. Tapi keadaan itu tak sampai membuat calon emiten mundur. Lihatlah PT Artika Optima Inti, anak perusahaan Jayanti Group, yang akan menawarkan 66 juta saham dengan harga Rp 6.800 pertengahan Mei depan. Direksinya saat ini bahkan tengah mengadakan road show ke Eropa. Sedangkan di sini, Menteri Kehutanan belum memberi izin, padahal itu salah satu syarat perusahaan PPH untuk masuk bursa. Alasan Menteri Djamaloedin ada dua. Pertama, Artika belum mendirikan pabrik di Irian Jaya - kendati hal itu sudah dijanjikan kepada pemda di sana. Kedua, soal bahan baku. Menurut Departemen Kehutanan, Artika membutuhkan 792 ribu kubik, sedangkan pasokannya hanya 680 ribu kubik setahun. Selain Artika, PT Indofood Sukses Makmur juga siap-siap masuk bursa dengan menawarkan 21 juta lembar saham seharga Rp 5.000 per lembar. Manajemen Indofood yakin, kalau masuk bursa, sahamnya pasti laris. Alasannya, saham yang bergerak dalam consumer goods pasti laku. "Saya yakin, masih banyak investor lokal yang berduit," kata seorang eksekutif Indofood. Namun, dalam situasi lesu seperti ini, saham apa pun - tak terkecuali saham Barito Pacific Timber - tak dapat dijadikan jaminan untuk untung besar. Dengan patokan itu, agaknya, para investor tak akan terlalu sulit mengatur langkah.Bambang Aji, Iwan Qodar Himawan, dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum