TAHUN 1994 ini tampaknya memberikan prospek yang cukup bagus untuk PT Inco (International Nickel Indonesia). Dalam triwulan pertama saja, perusahaan penambang nikel dari Soroako (Sulawesi Tenggara) ini sudah mencatat laba US$ 8,670 juta. Angka tersebut mencakup 80% dari laba bersih sepanjang tahun 1993. Thomas B. Sitepu, 40 tahun, mantan Direktur Keuangan Inco yang kini menjadi konsultan perusahaan tersebut, menjelaskan bahwa meningkatnya laba perusahaan disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Inco telah membuktikan bahwa perusahaan bisa berproduksi penuh sesuai dengan kapasitasnya 25 juta pon per kuartal (100 juta pon per tahun). Kedua, peningkatan efisiensi sehingga harga pokok bisa ditekan. Biaya penjualan, misalnya, ditekan dari US$ 776.000 pada triwulan akhir 1993 menjadi US$ 328.000 pada triwulan pertama 1994. Faktor ketiga adalah kontrak penjualan yang bisa menyerap sekitar 95% produksi Inco. Namun, karena tidak seluruh produksi terserap, stok Inco pada triwulan I 1994 telah mencapai 4,6 juta pon. Itu berarti ada modal yang macet. Faktor keempat yang menjadi masalah adalah harga. Harga nikel pada triwulan I rata-rata US$ 2,02 per pon, atau sekitar 5% lebih rendah dari harga periode yang sama tahun lalu. Harga nikel sama seperti minyak dan komoditi pertambangan lainnya, sangat ditentukan pasar. "Jepang adalah pasar terbesar Inco dan kita tahu negara itu masih dalam resesi," kata Sitepu. Nikel adalah bahan baku industri baja (stainless steel), banyak dipakai untuk bahan bangunan, industri pesawat terbang, dan alat rumah tangga. Kendati harganya masih relatif rendah, kata Sitepu, Inco akan bisa bersaing dengan produksi Kanada dan Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini