Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjaring Dollar Dari Utara

Disaat resesi melilit, pemerintah berambisi menyedot turis asing dengan cara bebas visa & devaluasi rupiah. wawancara dengan Joop Ave. (eb)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR saja Phillip Oin kehilangan kesempatan baik. Wisatawan asal Singapura itu sedang bergegas menuju tempat bagasi ketika mendadak Dirjen Pariwisata Joop Ave menggamit lengannya. 1 April pagi itu, sesudah mendapat ucapan selamat dari Dirjen Joop Ave, dia mendapat pula sematan kembang di pelabuhan udara internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta. Bersama Dirjen Imigrasi Soegino Soemoprawlro, Diren Joop pagi itu sengaJa turun ke Halim menandai dimulainya masa bebas visa 2 bulan dengan sedikit kejutan. Kehangatan serupa hari itu juga muncul di peiabuhan udara Ngurah Rai, Denpasar. Sejumlah turis, yang baru saJa mendarat dengan pesawat Airbus dari Singapura, kontan disambut tari pendet dan bunyi gamelan yang dipukul seronok. Di Poloma, Medan, turis asing yang memperoleh angka pemeriksaan di loket imigrasi no. 5 (Pancasila), 17, 8, 45 (Hari Proklamasi) mendapat kalungan ulos. Bahkan Hotel Panghegar, Bandung, menyambut kedatangan rombongan turis, yang tiba dengan bis dengan musik degung, musik untuk menyambut kedatangan tamu kerajaan. Selama sepekan, sejak awal April, berbagai acara istimewa ditampilkan untuk menyambut awal yang bersejarah itu. Dan sepekan sesudah masa bebas visa diberlakukan, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (PPT) Achmad Tahir menyajikan angka-angka menggiurkan kepada pers. Di Halim Perdanakusuma, misalnya, jika pada 31 Maret hanya 358 turis mendarat, maka pada 1, 2, dan 3 April berturutturut naik menjadi 600, 663, dan 551 orang. Sedang di Denpasar: 30 Maret masuk 225 orang, 3 1 Maret 658 ormg, 1 April 996 orang, dan 2 April 986 orang. Kepesatan Spanyol mendorong industri pariwisata - hingga memasukkan devisa cukup tinggi - telah menarik perhatian Presiden Soeharto ketika mengunjungi negeri itu Oktober tahun lalu. Negara, yang dipimpin Raja Juan Carlos I itu, konon berhasil menarik wisatawan 4 kali jumlah penduduknya yang 37 juta. Tapi ambisi Indonesia belum sebesar itu, mengingat Eropa Barat, Australia, dan AS, sebagai pasar utama, masih belum pulih dari sabetan resesi. Toh Menteri PPT Achmat Tahir optimistis bisa "memasukkan sekitar sejuta wisatawan asing sampai Maret 1984". Menteri Tahir tentu sadar banyak kesulitan harus dilampauinya untuk menjangkau angka sebesar itu. Soal sarana, misalnya, sering dikemukakan pihak biro perjalanan maupun pemerintah daerah sebagai faktor yang sering menghambat minat turis mengunjungi suatu obyek wisata. Ambil contoh jalan dari Brastagi ke Lingga, tempat obyek wisata rumah asli Batak Karo di Sumatera Utara yang rusak berat. Lapangan terbang Sibisi, 11 km dari Parapat, dulu diharapkan bisa menampung turis dari Singapura lewat Medan. Tapi kini dibiarkan jadi kubangan kerbau. Padalah untuk membangun lapangan terbang itu dulu dikeluarkan uang Rp 200 juta. Soal obyek wisata, jangan ditanya, jumlahnya aneka ragam: dari Candi Borobudur sampai gunung berapi yang menakjubkan. Untuk menonton kesenian pun turis tak perlu menunggu datangnya hari keramat. Di Simanindo, Pulau Samosir, Sum-Ut, misalnya, sebuah tarian adat bisa dipertunjukkan di sebuah rumah Batak kuno hanya selang satu jam sesudah gong di situ dipukul. Para penari yang sehari-hari bekerja sebagai petani, segera menghambur ke rumah adat itu memenuhi gong panggilan. Di Bali pun konon turis asing kini bisa menonton sebuah nomor tarian dengan mudah yang biasanya dipergelarkan pada upacara tertentu. Tapi semua itu, kata Menteri Tahir merupakan obyek yang harus lebih banyak dilihat pada siang hari. Sayang, menurut dia tak banyak obyek dan kegiatan pada malam hari. Karena tak ada acara menarik itulah banyak turis "akhirnya lebih suka baca buku saja di kamar," katanya. Jika dibina dengan baik kehidupan malam di Pecenongan, Jakarta, yang menjajakan masakan laut, misalnya, sesungguhnya bisa saJa menyamai keramaian di Newton Park, Singapura. Fasilitas pelayanan juga mendapat kritik tajam. Anne Taylor dari Biro Student Travel Australia, misalnya, menemui sejumlah kapal yang melayani angkutan antar-pulau tidak dilengkapi dengan jaket penyelamat memadai. Kondisi bis kota, dan kereta api yang sumpek, juga menyebabkan turis asing enggan menggunakan jasa angkutan umum itu. Karena terbatasnya gerbong kereta api yang menggunakan AC, tak jarang biro perjalanan yang mengkoordinasikan perjalanan wisata harus bertengkar dengan sejawatnya memperebutkan tempat duduk. Kalaupun ada angkutan taksi, banyak juga pengemudi menggasak kantung turis. Encik Alwi Hasyim, 42 tahun, pengusaha dari Negeri Sembilan, Malaysia, misalnya harus membayar Rp 16 ribu untuk ongkos taksi dari Hotel Sahid ke Proyek Senen yang jaraknya hanya sekitar 10 km. Informasi buat pendatang semacam itu tampaknya memang diperlukan. Tapi hal itulah, yang kini sangat mahal diperoleh. Dari Haiim Perdanakusuma, misalnya, seorang turis perorangan, sangat sulit memesan kamar (resertalion) untuk hotel. Apalagi mendapatkan informasi mengenai kendaraan umum manakah yang bisa membawanya ke tempat anu - selain taksi. Untuk mengatasi kekurangan itu kerjasama antara instansi pemerintah, swasta (biro perjalanan, dan hotel) dengan pemerintah, serta pemerintah pusat dengan daerah, diperlukan. Devaluasi rupiah, dan masa bebas visa 2 bulan jelas tidak berhasil jika, misalnya, obyek wisata dan fasilitas, yang disajikan kurang nyaman. Investasi besar tampaknya diperlukan di sini. Anggaran pembangunan dan bantuan proyek untuk sub sektor pariwisata, yang pada tahun anggaran ini Rp 29,5 milyar - tahun 1981/1982 berjumlah Rp 23,6 milyar - terasa kecil buat membiayai harapan yang besar itu. Peranan biro perjalanan nasional, yang menjajakan pelbagai obyek wisata lewat rekanannya di luar negeri, sangat membantu dalam memasukkan turis asing ke sini. Selain perjalanan darat (dan udara) melewati rute Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, dan berakhir di Denpasar, kini banyak pula rute, dan obyek baru yang dijajakan. Perjalanan menyusuri Sungai Mahakam sepanjang 700 km di Kalimantan Timur antara lain menyaksikan bekas istana Sultan Kutai di Tenggarong dan rumah Lamin suku Dayak Tunjung, belakangan ini banyak pula diminati turis asing yang berdompet tebal. PT Tomaco Tour, Balikpapan, misalnya, memungut ongkos US$ 250 per orang untuk perjalanan menyusuri Mahakam selama 3 hari 3 malam dengan perahu sepanjang 20 m. Perjalanan yang dimulai dari Loa Janan itu, 120 km dari Balikpapan, antara lain menyinggahi Tanjung Isuy, tempat suku Dayak Banuaq, mempertunjukkan pelbagai tarian, dan pesta adat. Dalam kaitan pengembangan obyek wisata di Kalimantan Timur itu, Maku Maramis dari Tomaco, mengharapkan agar pemerintah membuka pelabuhan udara Balikpapan untuk menampung arus turis yang terbang langsung dari Singapura. Jika hal itu dikabulkan, turis asing tentu tak usah terbang melewati Jakarta dulu, yang memakan banyak ongkos, bila ingin ke wilayah sana. Mengunjungi suatu obyek yang masih murni, dan belum banyak dijamah peradaban modern tampaknya memang sedang digandrungi turis asing - sekalipun fasilitas jalan dan akomodasi masih sederhana. Menjelang pemilu Mei tahun lalu, kapal World Discover, yang membawa serombongan turis dari AS, misalnya, merapat di Merauke Irian Jaya. Sayang rencana kunjungan mereka ke Agat, sebuah perkampungan yang menampilkan kebudayaan masa silam di situ, batal gara-gara izin mendarat dan clearence sangat terlambat diperoleh. Hanya kapal pesiar semacam itu yang bisa dengan mudah menjangkau wilayah wisata di Indonesia Timur. Suasana alam dan kebersahajaan di sana,kata Iwan A. Malayu, manajer umum Pacto tour and travel, Jakarta, ternyata juga disukai 120 wisatawan AS yang menaiki kapal pesiar Illiria. "Ketika hujan turun di Larantuka, Flores, mereka begitu melonjak-lonjak kegirangan," katanya. 'Kembali ke alam' memang merupakan slogan, yang gencar didengungkan di negara-negara asal para turis asing itu. (Lihat box wawancara dengan Dirjen Joop Ave). Sisa-sisa kebudayaan megalitik di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, juga cukup menarik perhatian mereka. Cara-cara penguburan jenazah dalam gua-gua di perut bukit di Londa, sekitar 2 km dari Rantepao, seolah merupakan legenda, yang sayang jika dilewatkan Tapi karena resesi di negara-negara industri, arus turis asing, yang mengunjungi Tana Toraja, dua tahun belakangan ini cenderung turun. Untuk mencapai ke wilayah itu, pelbagai biro perjalanan biasanya menawarkan perjalanan dalam suatu paket selama 3-5 hari lewat darat. Dan Bali, bagai seorang ratu kecantikan, yang tak henti-hentinya dijajakan. Perusahaan penerbangan Qantas, Australia, misalnya hari-hari ini sedang gencar mengiklankan Bali sebagai tempat untuk liburan keluarga, dan kaum bisnis yang ideal. Dua kali dalam seminggu, Qantas menghubungkan Denpasar dengan Melbourne, dan Perth. "Bali kini sudah punya hotel untuk tempat menginap orang-orang berkantung tebal, dan kehidupan d sana sekarang sudah mulai mahal," kata Rick Coyle, manajer Qantas, kepada wartawan TEMPO Max Wangkar. Usaha memperkenalkan Indonesia ke wilayah pasar baru secara individual juga giat dilakukan biro perjalanan nasional. Gozali Katianda, direktur Musi Holiday, Jakarta, misalnya, 15 April ini akan hadir di pertemuan PATA Traveel Mart, yang antara lain akan membahas masalah kunjungan wisatawan di seluruh dunia, di Mexico. Ratusan map berisi folder, leaflet, dan booklet yang menawarkan Exotic Indonesian di bawanya serta ke pertemuan itu. "Ambil, dan bacaah buku ini di rumah, kalau tuan berminat kontaklah kami," begitu kata Katianda, berusaha menirukan caranya menjajakan kelak. Amerika Latin, memang merupakan pasar yang belum dijamah. Hampir sebagian besar biro perjalanan, dan perhotelan, selama ini lebih suka memusatkan perhatian ke Eropa Barat, Jepang, Australia, ASEAN, dan AS, untuk memasarkan produk wisata mereka. Ada alasannya tentu. Selama 1979-1981, turis dari kawasan ASEAN meliputi jumlah 22,6%, Australia 14,2%, dan Jepang 10,9%. Australia jelas menduduki tempat teratas dalam menyumbang volume turis. Tapi membesar dan mengecilnya kunjungan tuns itu tentu banyak pula tergantung dari situasi ekonomi negara mereka. Resesi, yang melanda negara-negara industri sejak tahun 1981, jelas telah menurunkan jumlah kunjungan wisatawan ke sini tahun lalu (lihat grafik). Tapi keadaan resesi telah memotong arus turis itu. Dari Prancis, yang selama 9 tahun terakhir meliputi 4,8%, misalnya, tahun tahun ini diperkirakan akan jauh berkurang.Itu terjadi karena pemerintah Prancis sejak Maret hanya memperkenankan warga negaranya, yang akan bepergian ke luar negen, paling banyak membawa mata uang yang setara dengan nilai US$ 427. Tindakan pengetatan lalu lintas devisa itu terpaksa dilakukan untuk mengurangi defisit neraca perdagangannya, yang mencapai US$ 14 milyar tahun lalu. Langkah seperti itu tampaknya mendesak dilakukan mengingat tahun lalu sekitar 8 juta warga Prancis, yang membelanjakan uang US$ 4,9 milyar, tercatat pergi ke luar negeri. Penurunan sebesar separuh dari jumlah wisatawan itu diharapkan pemerintah dengan tindakan moneter tadi. Tapi tentu tidak diharapkan Air France, perusahaan penerbangan negara, yang akan kehilangan 1 juta penumpangnya tahun ini. Juga tak diharapkan pula oleh ribuan karyawan biro perjalanan, yang awal bulan ini turun berdemonstrasi di Paris, menentang kebijaksanaan itu. Sekitar USS 1,4 milyar pendapatan biro perjalanan akan hilang dan 9.000 karyawan terancam nganggur karena kebijaksanaan Presiden Francois Metterand tadi. Desas-desus bahwa pemerintah Singapura akan melakukan tindakan moneter dengan mendevaluasikan dollarnya juga terdengar santer sejak awal bulan. Negeri itu sangat terpukul sesudah volume turis Indonesia anjlok akibat rupiah didevaluasi 27,6%. Sebelumnya biaya fiskal naik dari Rp 25 jadi 150 ribu. Desas-desus itu berakhir ketika Otoritas Moneter di Singapura mensuplai dollar AS senilai US$ 50 juta langsung lewat tempat-tempat penukaran uang. Namun jelas bukan hanya kebijaksanaan di bidang moneter saja, yang mempengaruhi minat turis mengunJungi suatu negeri. Pemahaman terhadap keinginan dari calon turis, menurut Mayo Sato, juga turut memainkan peranan. Orang Jepang, kata perwakilan pariwisata Filipina di Tokyo itu lebih suka tinggal singkat di suatu daerah, dan berbelanja di toko menghabiskan uang. Tapi untuk suatu paket wisata selama 6 hari di Bali, ujar Yo Nishiguchi, jurubicara Japan Travel Biro, ongkosnya memakan 200 ribu yen - sama dengan biaya terbang ke Honolulu, Hawaii. "Soal makanan, bahasa, dan keamanan kami yakin di Indonesia tak ada masalah," katanya kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Dulu ketika masih ada kasino di Jakarta Theatre, menurut seorang staf perusahaan penerbangan Japan Airline, turis Jepang Isa bertahan 2 han di kota ini. Tapi kini mereka menjadikan Jakarta hanya sebagai transit menuju Bali, dan Yogya. Sekitar 18.500 turis Jepang tahun lalu ditangani biro perjalanan Natrabu, Jakarta, mengunjungi pelbagai obyek wisata di sini. "Bali, bagi turis remaja Jepang merupakan tempat impian untuk berbulan madu," ujar Rahimi Sutan, direktur Natrabu Tour & Travel. Beristirahat di daerah hijau pegunungan, menurut Maurice Batheff, manajer pemasaran Natrabu, sesungguhnya banyak diinginkan orang-orang dari negara Teluk dan Arab. Dalam usaha menjaring petrodollar itu, pelbagai biro perJalanan di sana kini banyak menawarkan paket wisata 2 malam di Singapura, 3 malam di Jakarta, plus 2 malam di Bandung. "Sayang pemerintah tak memberikan bebas visa untuk mereka," keluh Batheff. Calon turis dari Hongkong, yang setiap tahun sekitar 160 ribu melancong ke Bangkok, juga merupakan pasar yang-belum digarap. Tahun lalu, kata Menteri Tahir, dari sana Indonesia hanya memperoleh 1.200 orang. Tanpa mengabaikan soal keamanan, pemerintah bertekad menyedot lebih banyak lagi turis dari koloni Inggris itu.Turis berkantung tebalkah yang akan disedot? Pembangunan fasilitas akomodasi memang menunjukkan tanda-tanda ke arah itu. Kamar di penginapan tak berbintang yang menyediakan fasilitas sederhana dengan tarif Rp 6.000 ke bawah per orang, hanya berjumlah 19 ribu (792 penginapan). Sedangkan kamar di hotel berbintang di seluruh Indonesia meliputi 20 ribu (283 hotel). Dibanding dengan hotel berbintang, tingkat penghunian di penginapan tak berbintang memang jelek - tiga tahun terakhir ini di bawah 50%. Tak jelas benar, berapa sesungguhnya jumlah turis berkantung pas ini, yang memasuki Indonesia. Untuk pemerataan pendapatan, justru turis-turis semacam inilah, yang memberikan rupiah lumayan buat orang semacam Sumarto, penyedia penginapan murah (Rp 1.500 semalam per orang) di Sosrowijayan, Yogya. Dengan rata-rata 50 turis, yang menginap, "sebulan saya bisa mengantungi pendapatan Rp 75 ribu," ujar Sumarto kepada Aries Margono dari TEMPO. Pemerintah nampaknya kurang berselera untuk menjaring turis "murah", yang ratarata membelanjakan hanya 10 dollar sehari, termasuk tempat penginapan. Tapi apa salahnya mereka Juga dlperhatikan. Sekalipun tak banyak menghasilkan devisa buat kas negara, turis-turis seperti itu yang antara lain banyak masuk dari Australia, telah turut menghidupkan ekonomi di tempattempat seperti Pantai Kuta, Ubud, Yogyakarta dan beberapa tempat penginapan di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus