HAMPIR saja Phillip Oin kehilangan kesempatan baik. Wisatawan
asal Singapura itu sedang bergegas menuju tempat bagasi ketika
mendadak Dirjen Pariwisata Joop Ave menggamit lengannya. 1 April
pagi itu, sesudah mendapat ucapan selamat dari Dirjen Joop Ave,
dia mendapat pula sematan kembang di pelabuhan udara
internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Bersama Dirjen Imigrasi Soegino Soemoprawlro, Diren Joop pagi
itu sengaJa turun ke Halim menandai dimulainya masa bebas visa 2
bulan dengan sedikit kejutan. Kehangatan serupa hari itu juga
muncul di peiabuhan udara Ngurah Rai, Denpasar. Sejumlah turis,
yang baru saJa mendarat dengan pesawat Airbus dari Singapura,
kontan disambut tari pendet dan bunyi gamelan yang dipukul
seronok. Di Poloma, Medan, turis asing yang memperoleh angka
pemeriksaan di loket imigrasi no. 5 (Pancasila), 17, 8, 45 (Hari
Proklamasi) mendapat kalungan ulos.
Bahkan Hotel Panghegar, Bandung, menyambut kedatangan rombongan
turis, yang tiba dengan bis dengan musik degung, musik untuk
menyambut kedatangan tamu kerajaan. Selama sepekan, sejak awal
April, berbagai acara istimewa ditampilkan untuk menyambut awal
yang bersejarah itu.
Dan sepekan sesudah masa bebas visa diberlakukan, Menteri
Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (PPT) Achmad Tahir
menyajikan angka-angka menggiurkan kepada pers. Di Halim
Perdanakusuma, misalnya, jika pada 31 Maret hanya 358 turis
mendarat, maka pada 1, 2, dan 3 April berturutturut naik menjadi
600, 663, dan 551 orang. Sedang di Denpasar: 30 Maret masuk 225
orang, 3 1 Maret 658 ormg, 1 April 996 orang, dan 2 April 986
orang.
Kepesatan Spanyol mendorong industri pariwisata - hingga
memasukkan devisa cukup tinggi - telah menarik perhatian
Presiden Soeharto ketika mengunjungi negeri itu Oktober tahun
lalu. Negara, yang dipimpin Raja Juan Carlos I itu, konon
berhasil menarik wisatawan 4 kali jumlah penduduknya yang 37
juta. Tapi ambisi Indonesia belum sebesar itu, mengingat Eropa
Barat, Australia, dan AS, sebagai pasar utama, masih belum pulih
dari sabetan resesi. Toh Menteri PPT Achmat Tahir optimistis
bisa "memasukkan sekitar sejuta wisatawan asing sampai Maret
1984".
Menteri Tahir tentu sadar banyak kesulitan harus dilampauinya
untuk menjangkau angka sebesar itu. Soal sarana, misalnya,
sering dikemukakan pihak biro perjalanan maupun pemerintah
daerah sebagai faktor yang sering menghambat minat turis
mengunjungi suatu obyek wisata. Ambil contoh jalan dari Brastagi
ke Lingga, tempat obyek wisata rumah asli Batak Karo di Sumatera
Utara yang rusak berat. Lapangan terbang Sibisi, 11 km dari
Parapat, dulu diharapkan bisa menampung turis dari Singapura
lewat Medan. Tapi kini dibiarkan jadi kubangan kerbau. Padalah
untuk membangun lapangan terbang itu dulu dikeluarkan uang Rp
200 juta.
Soal obyek wisata, jangan ditanya, jumlahnya aneka ragam: dari
Candi Borobudur sampai gunung berapi yang menakjubkan. Untuk
menonton kesenian pun turis tak perlu menunggu datangnya hari
keramat. Di Simanindo, Pulau Samosir, Sum-Ut, misalnya, sebuah
tarian adat bisa dipertunjukkan di sebuah rumah Batak kuno hanya
selang satu jam sesudah gong di situ dipukul. Para penari yang
sehari-hari bekerja sebagai petani, segera menghambur ke rumah
adat itu memenuhi gong panggilan. Di Bali pun konon turis asing
kini bisa menonton sebuah nomor tarian dengan mudah yang
biasanya dipergelarkan pada upacara tertentu.
Tapi semua itu, kata Menteri Tahir merupakan obyek yang harus
lebih banyak dilihat pada siang hari. Sayang, menurut dia tak
banyak obyek dan kegiatan pada malam hari. Karena tak ada acara
menarik itulah banyak turis "akhirnya lebih suka baca buku saja
di kamar," katanya. Jika dibina dengan baik kehidupan malam di
Pecenongan, Jakarta, yang menjajakan masakan laut, misalnya,
sesungguhnya bisa saJa menyamai keramaian di Newton Park,
Singapura.
Fasilitas pelayanan juga mendapat kritik tajam. Anne Taylor dari
Biro Student Travel Australia, misalnya, menemui sejumlah kapal
yang melayani angkutan antar-pulau tidak dilengkapi dengan jaket
penyelamat memadai. Kondisi bis kota, dan kereta api yang
sumpek, juga menyebabkan turis asing enggan menggunakan jasa
angkutan umum itu. Karena terbatasnya gerbong kereta api yang
menggunakan AC, tak jarang biro perjalanan yang
mengkoordinasikan perjalanan wisata harus bertengkar dengan
sejawatnya memperebutkan tempat duduk.
Kalaupun ada angkutan taksi, banyak juga pengemudi menggasak
kantung turis. Encik Alwi Hasyim, 42 tahun, pengusaha dari
Negeri Sembilan, Malaysia, misalnya harus membayar Rp 16 ribu
untuk ongkos taksi dari Hotel Sahid ke Proyek Senen yang
jaraknya hanya sekitar 10 km. Informasi buat pendatang semacam
itu tampaknya memang diperlukan. Tapi hal itulah, yang kini
sangat mahal diperoleh. Dari Haiim Perdanakusuma, misalnya,
seorang turis perorangan, sangat sulit memesan kamar
(resertalion) untuk hotel. Apalagi mendapatkan informasi
mengenai kendaraan umum manakah yang bisa membawanya ke tempat
anu - selain taksi.
Untuk mengatasi kekurangan itu kerjasama antara instansi
pemerintah, swasta (biro perjalanan, dan hotel) dengan
pemerintah, serta pemerintah pusat dengan daerah, diperlukan.
Devaluasi rupiah, dan masa bebas visa 2 bulan jelas tidak
berhasil jika, misalnya, obyek wisata dan fasilitas, yang
disajikan kurang nyaman. Investasi besar tampaknya diperlukan di
sini. Anggaran pembangunan dan bantuan proyek untuk sub sektor
pariwisata, yang pada tahun anggaran ini Rp 29,5 milyar - tahun
1981/1982 berjumlah Rp 23,6 milyar - terasa kecil buat membiayai
harapan yang besar itu.
Peranan biro perjalanan nasional, yang menjajakan pelbagai obyek
wisata lewat rekanannya di luar negeri, sangat membantu dalam
memasukkan turis asing ke sini. Selain perjalanan darat (dan
udara) melewati rute Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, dan
berakhir di Denpasar, kini banyak pula rute, dan obyek baru yang
dijajakan. Perjalanan menyusuri Sungai Mahakam sepanjang 700 km
di Kalimantan Timur antara lain menyaksikan bekas istana Sultan
Kutai di Tenggarong dan rumah Lamin suku Dayak Tunjung,
belakangan ini banyak pula diminati turis asing yang berdompet
tebal.
PT Tomaco Tour, Balikpapan, misalnya, memungut ongkos US$ 250
per orang untuk perjalanan menyusuri Mahakam selama 3 hari 3
malam dengan perahu sepanjang 20 m. Perjalanan yang dimulai dari
Loa Janan itu, 120 km dari Balikpapan, antara lain menyinggahi
Tanjung Isuy, tempat suku Dayak Banuaq, mempertunjukkan pelbagai
tarian, dan pesta adat. Dalam kaitan pengembangan obyek wisata
di Kalimantan Timur itu, Maku Maramis dari Tomaco, mengharapkan
agar pemerintah membuka pelabuhan udara Balikpapan untuk
menampung arus turis yang terbang langsung dari Singapura. Jika
hal itu dikabulkan, turis asing tentu tak usah terbang melewati
Jakarta dulu, yang memakan banyak ongkos, bila ingin ke wilayah
sana.
Mengunjungi suatu obyek yang masih murni, dan belum banyak
dijamah peradaban modern tampaknya memang sedang digandrungi
turis asing - sekalipun fasilitas jalan dan akomodasi masih
sederhana. Menjelang pemilu Mei tahun lalu, kapal World
Discover, yang membawa serombongan turis dari AS, misalnya,
merapat di Merauke Irian Jaya. Sayang rencana kunjungan mereka
ke Agat, sebuah perkampungan yang menampilkan kebudayaan masa
silam di situ, batal gara-gara izin mendarat dan clearence
sangat terlambat diperoleh. Hanya kapal pesiar semacam itu yang
bisa dengan mudah menjangkau wilayah wisata di Indonesia Timur.
Suasana alam dan kebersahajaan di sana,kata Iwan A. Malayu,
manajer umum Pacto tour and travel, Jakarta, ternyata juga
disukai 120 wisatawan AS yang menaiki kapal pesiar Illiria.
"Ketika hujan turun di Larantuka, Flores, mereka begitu
melonjak-lonjak kegirangan," katanya. 'Kembali ke alam' memang
merupakan slogan, yang gencar didengungkan di negara-negara asal
para turis asing itu. (Lihat box wawancara dengan Dirjen Joop
Ave).
Sisa-sisa kebudayaan megalitik di Tana Toraja, Sulawesi Selatan,
juga cukup menarik perhatian mereka. Cara-cara penguburan
jenazah dalam gua-gua di perut bukit di Londa, sekitar 2 km dari
Rantepao, seolah merupakan legenda, yang sayang jika dilewatkan
Tapi karena resesi di negara-negara industri, arus turis asing,
yang mengunjungi Tana Toraja, dua tahun belakangan ini cenderung
turun. Untuk mencapai ke wilayah itu, pelbagai biro perjalanan
biasanya menawarkan perjalanan dalam suatu paket selama 3-5 hari
lewat darat.
Dan Bali, bagai seorang ratu kecantikan, yang tak henti-hentinya
dijajakan. Perusahaan penerbangan Qantas, Australia, misalnya
hari-hari ini sedang gencar mengiklankan Bali sebagai tempat
untuk liburan keluarga, dan kaum bisnis yang ideal. Dua kali
dalam seminggu, Qantas menghubungkan Denpasar dengan Melbourne,
dan Perth. "Bali kini sudah punya hotel untuk tempat menginap
orang-orang berkantung tebal, dan kehidupan d sana sekarang
sudah mulai mahal," kata Rick Coyle, manajer Qantas, kepada
wartawan TEMPO Max Wangkar.
Usaha memperkenalkan Indonesia ke wilayah pasar baru secara
individual juga giat dilakukan biro perjalanan nasional. Gozali
Katianda, direktur Musi Holiday, Jakarta, misalnya, 15 April ini
akan hadir di pertemuan PATA Traveel Mart, yang antara lain akan
membahas masalah kunjungan wisatawan di seluruh dunia, di
Mexico. Ratusan map berisi folder, leaflet, dan booklet yang
menawarkan Exotic Indonesian di bawanya serta ke pertemuan itu.
"Ambil, dan bacaah buku ini di rumah, kalau tuan berminat
kontaklah kami," begitu kata Katianda, berusaha menirukan
caranya menjajakan kelak.
Amerika Latin, memang merupakan pasar yang belum dijamah. Hampir
sebagian besar biro perjalanan, dan perhotelan, selama ini lebih
suka memusatkan perhatian ke Eropa Barat, Jepang, Australia,
ASEAN, dan AS, untuk memasarkan produk wisata mereka. Ada
alasannya tentu. Selama 1979-1981, turis dari kawasan ASEAN
meliputi jumlah 22,6%, Australia 14,2%, dan Jepang 10,9%.
Australia jelas menduduki tempat teratas dalam menyumbang volume
turis. Tapi membesar dan mengecilnya kunjungan tuns itu tentu
banyak pula tergantung dari situasi ekonomi negara mereka.
Resesi, yang melanda negara-negara industri sejak tahun 1981,
jelas telah menurunkan jumlah kunjungan wisatawan ke sini tahun
lalu (lihat grafik).
Tapi keadaan resesi telah memotong arus turis itu. Dari Prancis,
yang selama 9 tahun terakhir meliputi 4,8%, misalnya, tahun
tahun ini diperkirakan akan jauh berkurang.Itu terjadi karena
pemerintah Prancis sejak Maret hanya memperkenankan warga
negaranya, yang akan bepergian ke luar negen, paling banyak
membawa mata uang yang setara dengan nilai US$ 427. Tindakan
pengetatan lalu lintas devisa itu terpaksa dilakukan untuk
mengurangi defisit neraca perdagangannya, yang mencapai US$ 14
milyar tahun lalu.
Langkah seperti itu tampaknya mendesak dilakukan mengingat tahun
lalu sekitar 8 juta warga Prancis, yang membelanjakan uang US$
4,9 milyar, tercatat pergi ke luar negeri. Penurunan sebesar
separuh dari jumlah wisatawan itu diharapkan pemerintah dengan
tindakan moneter tadi. Tapi tentu tidak diharapkan Air France,
perusahaan penerbangan negara, yang akan kehilangan 1 juta
penumpangnya tahun ini.
Juga tak diharapkan pula oleh ribuan karyawan biro perjalanan,
yang awal bulan ini turun berdemonstrasi di Paris, menentang
kebijaksanaan itu. Sekitar USS 1,4 milyar pendapatan biro
perjalanan akan hilang dan 9.000 karyawan terancam nganggur
karena kebijaksanaan Presiden Francois Metterand tadi.
Desas-desus bahwa pemerintah Singapura akan melakukan tindakan
moneter dengan mendevaluasikan dollarnya juga terdengar santer
sejak awal bulan. Negeri itu sangat terpukul sesudah volume
turis Indonesia anjlok akibat rupiah didevaluasi 27,6%.
Sebelumnya biaya fiskal naik dari Rp 25 jadi 150 ribu.
Desas-desus itu berakhir ketika Otoritas Moneter di Singapura
mensuplai dollar AS senilai US$ 50 juta langsung lewat
tempat-tempat penukaran uang.
Namun jelas bukan hanya kebijaksanaan di bidang moneter saja,
yang mempengaruhi minat turis mengunJungi suatu negeri.
Pemahaman terhadap keinginan dari calon turis, menurut Mayo
Sato, juga turut memainkan peranan. Orang Jepang, kata
perwakilan pariwisata Filipina di Tokyo itu lebih suka tinggal
singkat di suatu daerah, dan berbelanja di toko menghabiskan
uang.
Tapi untuk suatu paket wisata selama 6 hari di Bali, ujar Yo
Nishiguchi, jurubicara Japan Travel Biro, ongkosnya memakan 200
ribu yen - sama dengan biaya terbang ke Honolulu, Hawaii. "Soal
makanan, bahasa, dan keamanan kami yakin di Indonesia tak ada
masalah," katanya kepada Seiichi Okawa dari TEMPO.
Dulu ketika masih ada kasino di Jakarta Theatre, menurut seorang
staf perusahaan penerbangan Japan Airline, turis Jepang Isa
bertahan 2 han di kota ini. Tapi kini mereka menjadikan Jakarta
hanya sebagai transit menuju Bali, dan Yogya. Sekitar 18.500
turis Jepang tahun lalu ditangani biro perjalanan Natrabu,
Jakarta, mengunjungi pelbagai obyek wisata di sini. "Bali, bagi
turis remaja Jepang merupakan tempat impian untuk berbulan
madu," ujar Rahimi Sutan, direktur Natrabu Tour & Travel.
Beristirahat di daerah hijau pegunungan, menurut Maurice
Batheff, manajer pemasaran Natrabu, sesungguhnya banyak
diinginkan orang-orang dari negara Teluk dan Arab. Dalam usaha
menjaring petrodollar itu, pelbagai biro perJalanan di sana kini
banyak menawarkan paket wisata 2 malam di Singapura, 3 malam di
Jakarta, plus 2 malam di Bandung. "Sayang pemerintah tak
memberikan bebas visa untuk mereka," keluh Batheff.
Calon turis dari Hongkong, yang setiap tahun sekitar 160 ribu
melancong ke Bangkok, juga merupakan pasar yang-belum digarap.
Tahun lalu, kata Menteri Tahir, dari sana Indonesia hanya
memperoleh 1.200 orang. Tanpa mengabaikan soal keamanan,
pemerintah bertekad menyedot lebih banyak lagi turis dari koloni
Inggris itu.Turis berkantung tebalkah yang akan disedot?
Pembangunan fasilitas akomodasi memang menunjukkan tanda-tanda
ke arah itu. Kamar di penginapan tak berbintang yang menyediakan
fasilitas sederhana dengan tarif Rp 6.000 ke bawah per orang,
hanya berjumlah 19 ribu (792 penginapan). Sedangkan kamar di
hotel berbintang di seluruh Indonesia meliputi 20 ribu (283
hotel). Dibanding dengan hotel berbintang, tingkat penghunian di
penginapan tak berbintang memang jelek - tiga tahun terakhir ini
di bawah 50%.
Tak jelas benar, berapa sesungguhnya jumlah turis berkantung pas
ini, yang memasuki Indonesia. Untuk pemerataan pendapatan,
justru turis-turis semacam inilah, yang memberikan rupiah
lumayan buat orang semacam Sumarto, penyedia penginapan murah
(Rp 1.500 semalam per orang) di Sosrowijayan, Yogya. Dengan
rata-rata 50 turis, yang menginap, "sebulan saya bisa
mengantungi pendapatan Rp 75 ribu," ujar Sumarto kepada Aries
Margono dari TEMPO.
Pemerintah nampaknya kurang berselera untuk menjaring turis
"murah", yang ratarata membelanjakan hanya 10 dollar sehari,
termasuk tempat penginapan. Tapi apa salahnya mereka Juga
dlperhatikan. Sekalipun tak banyak menghasilkan devisa buat kas
negara, turis-turis seperti itu yang antara lain banyak masuk
dari Australia, telah turut menghidupkan ekonomi di tempattempat
seperti Pantai Kuta, Ubud, Yogyakarta dan beberapa tempat
penginapan di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini