DALAM pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, Presiden Soeharto tak
lupa menyinggung peranannya. Terutama yang tergabung dalam KUD
dan BUUD. Tapi itu, oleh beberapa kalangan perkoperasian,
dianggap sebagai badan usaha yang "datang dari atas". Dengan
kata lain, "itu lebih merupakan proyeknya pemerintah," kata
seorang pemuka koperasnya.
Tapi sang pemuka, yang kini banyak diam itu, merasa sedih juga
melihat Hari Koperasi ke 29 yang jatuh pada 12 Juli lalu, toh
lewat begitu saja. "Sepi seperti juga tahun-tahun lalu,"
katanya.
H. Said Halim, Ketua Gabungan Koperasi Pegawai Negeri Jawa Barat,
sama sedihnya ketika ditanya soal itu. "Koperasi rakyat boleh
dibilang hampir semuanya lumpuh," katanya kepada TEMPO baru-baru
ini. Pendapat Said ditopang oleh Hadi Atmodjo, 62 tahun, tokoh
koperasi di Yogya.
Pernah aktif dalam Persatuan Pengusaha Batik Bumi Putera di
Yogyakarta, yang kemudian melahirkan GKBI, Hadi Atmodjo
beranggapan kelumpuhan itu karena "tak dijalankannya salah satu
syarat penting kepengurusan koperasi aktif, jujur dan kapabel,"
katanya.
Itu pula yang diyakininya sebagai kunci sukses koperasi yang
kini masih dipimpinnya: Koperasi Batik Senopati, yang keluar
sebagai juara pertama untuk Kodya Yogya tahun ini.
Tanpa menyangkal pendapat itu, Ibrahim Kadir, tokoh lain dari
Pekajangan, Pekalongan, berpendapat ada sebab penting lain
mengapa koperasi banyak yang mati. Kata Ketua Koperasi Tekstil
Pekajangan itu: "Sulit kalau koperasi diharuskan bersaing dengan
badan usaha lain seperti PT dan CV. Badan hukum itu lebih gesit
menyesuaikan diri dengan situasi."
Orang Pekajangan itu tentu bisa menunjuk pada Yayasan. Sekatipun
tak termasuk badan hukum, usaha yang kedengarannya untuk tujuan
sosial itu, sudah lama menjelma sebagai usaha yang 100% bisnis .
Di Semarang misalnya, pada 1960an, di Kelurahan Tandang,
Semarang Timur, berdiri Koperasi Produksi beranggotakan sekitar
60 pengusaha tempe dan tahu. Mula-mula koperasi ini berjalan
lancar, mampu menyediakan bahan baku--terutama minyak kelapa dan
kayu bakar--bagi anggotanya.
Mereka pun senang: bisa memperoleh bahan baku dengan harga
miring, tak semahal apabila langsung membeli kepada pedagang.
Tapi pengusaha-pengusaha kecil itu ternyata hanya setahun kurang
menikmati koperasinya. Si pedagang setelah tahu langganannya
beralih ke koperasi, banting harga. Langganan pun ramai-ramai
kembali ke pedagang itu dan koperasi tinggallah sepi, dan tak
lama kemudian mati.
Toh, Said masih juga menghimbau pcmcrintah untuk mengulurkan
tangan kepada koperasi yang sampai kini masih ada yang bertahan.
"Kalau mau menghidupkan koperasi sebaiknya koperasi diberi
peranan lebih luas," katanya. Dan ia pun bertanya-tanya: Kenapa
penyaluran minyak tanah misalnya, lebih dipercayakan kepada
sebuah PT atau CV yang kalau dibandingkan dengan koperasi kurang
sifat sosialnya itu?
Tinggal Gedungnya
Kehidupan koperasi, menurut Said Halim, paling semarak masa
pertengahan tahun 50-an, ketika Ali Sastroamidjojo menjabat
perdana menteri. Ketika itu pemerintah memperkenankan rakyat
lewat korperasi -- menguasai penyaluran beras, minyak tanah,
gula, tekstil dan lain-lain. Dan harga koperasi jauh lebih
rendah dibanAing harga bahan-bahan tersebut di pasaran bebas.
Akibatnya, hampir setiap kampung ada koperasinya.
Tak sedikit koperasi yang berhasil menghimpun modal besar waktu
itu. Menurut pidato Bung Hatta pada Hari Koperasi ke-6, 12 Juli
1956, waktu itu di seluruh Indonesia ada 11 ribu lebih koperasi
dengan kekayaan Rp 250 juta lebih. Banyak di antara koperasi itu
yang memiliki pabrik, apotik, toko dan gedung-gedung. Bahkan
GKBI waktu itu berhasil menjadi importir tunggal.
Anggota-anggotanya jaya, dan koperasi bahkan mampu mendirikan
sekolah-sekolah dari TK sampai SMA.
Zaman keemasan koperasi berakhir ketika dinyatakan herlakunya
Undang-undang Keadaan Bahaya. 1959, dan peraturan yang memberi
hak koperasi menguasai penyaluran beberapa kebutuhan pokok
rakyat dihapus. Gedung tinggal gedung saja tanpa kegiatan di
dalamnya Bahkan lama-kelamaan kekayaan koperasi dijual dan
koperasi pun bangkrut, lantas tutup.
Memang, beberapa masih mampu bertahan. Tapi "waktu itulah rakyat
melihat koperasi sebagai sesuatu yang merugikan, sehingga takut
untuk masuk koperasi lagi," NNr Said Halim.
R. Sukoyo Praptohartono, pemilik perusahaan batik anggota
Koperasi Batik Tamtama di Yogya, dua bulan lalu perusahaannya
gulung tikar. Koperasinya tak mampu berbuat apa pun, maka Sukoyo
beralih usaha: rumahnyta dijadikan indekosan mahasiswa.
Menurutnya, "hanya 25% saja anggota koperasi di seluruh
Yogyakarta yang masih bekerja."
Itu hanya mereka yang kuat modalnya. Yang bermodal kecil atau
pas-pasan saja, sudah lama gulung tikar. Menurut pengamatan
TEMPO di Yogya, daerah batik Prawirotaman kini tak lagi berbau
lilin batik. Tapi di sini sekarang bermunculan penginapan dan
semacamnya yang merupakan usaha alihan dari para pengusaha
batik kecil yang gulung tikar.
Sukoyo sejak 1965 memang sudah tak menerima jatah mori. Bukannya
mori tak ada, tapi koperasi melemparkannya ke pasar bebas.
"Kalau anggota mau beli mori dari koperasi, harganya hanya
terpaut sedikit dengan harga di luar," cerita Sukoyo.
Dan kegiatan koperasinya sekarang hanya kegiatan sosial saja,
antara lain khitanan masal anak-anak buruh batik Toh, Sukoyo
bermaksud keluar dari ko perasi. "Kalau-kalau ada harapan baik
tahun depan," kata Ny. Sukoyo.
Juga para pengusaha tempe dan tahu di Semarang Timur ternyata
tak jera erhadap koperasi. Maret 1977, mereka membentuk
Koperasi Simpan-Pinjam dengan uang pangkal Rp 2 ribu per orang
(karena dirasa kurang, kemudian ditambah Rp 100 per orang).
Dalam kesempatan berkumpul sebulan sekali telah digunakan untuk
membicarakan agar koperasi mengusahakan kedelai--bahan baku
ternpe dan tahu agar mereka tak usah pinjam dari tukang kredit
yang harganya memang lebih mahal.
Diam-diam koperasi ternyata masih didambakan. Tapi kenyataan
bahwa badan usaha lain yang berbentuk PT ataupun CV lebih
dipercaya kini, koperasi memang memerlukan cara pengelolaan
khusus. Ada yang menanyakan, kalau pemerintah memang ingin
menegakkan perekonomian berdasar asas kekeluargaan--seperti yang
disebutkan Pasal 33 Ayat 1 UUD '45 itu -- kenapa tak ada
pendidikan kepengurusan koperasi secara intensif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini