Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Lumpuh, tapi tak jera

Pendapat beberapa pemuka koperasi tentang perkembangan koperasi sejak jayanya di tahun 50-an sampai lumpuhnya sekarang ini. penyebabnya al: tidak mampu bersaing dengan badan usaha lain seperti pt & cv.(eb)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, Presiden Soeharto tak lupa menyinggung peranannya. Terutama yang tergabung dalam KUD dan BUUD. Tapi itu, oleh beberapa kalangan perkoperasian, dianggap sebagai badan usaha yang "datang dari atas". Dengan kata lain, "itu lebih merupakan proyeknya pemerintah," kata seorang pemuka koperasnya. Tapi sang pemuka, yang kini banyak diam itu, merasa sedih juga melihat Hari Koperasi ke 29 yang jatuh pada 12 Juli lalu, toh lewat begitu saja. "Sepi seperti juga tahun-tahun lalu," katanya. H. Said Halim, Ketua Gabungan Koperasi Pegawai Negeri Jawa Barat, sama sedihnya ketika ditanya soal itu. "Koperasi rakyat boleh dibilang hampir semuanya lumpuh," katanya kepada TEMPO baru-baru ini. Pendapat Said ditopang oleh Hadi Atmodjo, 62 tahun, tokoh koperasi di Yogya. Pernah aktif dalam Persatuan Pengusaha Batik Bumi Putera di Yogyakarta, yang kemudian melahirkan GKBI, Hadi Atmodjo beranggapan kelumpuhan itu karena "tak dijalankannya salah satu syarat penting kepengurusan koperasi aktif, jujur dan kapabel," katanya. Itu pula yang diyakininya sebagai kunci sukses koperasi yang kini masih dipimpinnya: Koperasi Batik Senopati, yang keluar sebagai juara pertama untuk Kodya Yogya tahun ini. Tanpa menyangkal pendapat itu, Ibrahim Kadir, tokoh lain dari Pekajangan, Pekalongan, berpendapat ada sebab penting lain mengapa koperasi banyak yang mati. Kata Ketua Koperasi Tekstil Pekajangan itu: "Sulit kalau koperasi diharuskan bersaing dengan badan usaha lain seperti PT dan CV. Badan hukum itu lebih gesit menyesuaikan diri dengan situasi." Orang Pekajangan itu tentu bisa menunjuk pada Yayasan. Sekatipun tak termasuk badan hukum, usaha yang kedengarannya untuk tujuan sosial itu, sudah lama menjelma sebagai usaha yang 100% bisnis . Di Semarang misalnya, pada 1960an, di Kelurahan Tandang, Semarang Timur, berdiri Koperasi Produksi beranggotakan sekitar 60 pengusaha tempe dan tahu. Mula-mula koperasi ini berjalan lancar, mampu menyediakan bahan baku--terutama minyak kelapa dan kayu bakar--bagi anggotanya. Mereka pun senang: bisa memperoleh bahan baku dengan harga miring, tak semahal apabila langsung membeli kepada pedagang. Tapi pengusaha-pengusaha kecil itu ternyata hanya setahun kurang menikmati koperasinya. Si pedagang setelah tahu langganannya beralih ke koperasi, banting harga. Langganan pun ramai-ramai kembali ke pedagang itu dan koperasi tinggallah sepi, dan tak lama kemudian mati. Toh, Said masih juga menghimbau pcmcrintah untuk mengulurkan tangan kepada koperasi yang sampai kini masih ada yang bertahan. "Kalau mau menghidupkan koperasi sebaiknya koperasi diberi peranan lebih luas," katanya. Dan ia pun bertanya-tanya: Kenapa penyaluran minyak tanah misalnya, lebih dipercayakan kepada sebuah PT atau CV yang kalau dibandingkan dengan koperasi kurang sifat sosialnya itu? Tinggal Gedungnya Kehidupan koperasi, menurut Said Halim, paling semarak masa pertengahan tahun 50-an, ketika Ali Sastroamidjojo menjabat perdana menteri. Ketika itu pemerintah memperkenankan rakyat lewat korperasi -- menguasai penyaluran beras, minyak tanah, gula, tekstil dan lain-lain. Dan harga koperasi jauh lebih rendah dibanAing harga bahan-bahan tersebut di pasaran bebas. Akibatnya, hampir setiap kampung ada koperasinya. Tak sedikit koperasi yang berhasil menghimpun modal besar waktu itu. Menurut pidato Bung Hatta pada Hari Koperasi ke-6, 12 Juli 1956, waktu itu di seluruh Indonesia ada 11 ribu lebih koperasi dengan kekayaan Rp 250 juta lebih. Banyak di antara koperasi itu yang memiliki pabrik, apotik, toko dan gedung-gedung. Bahkan GKBI waktu itu berhasil menjadi importir tunggal. Anggota-anggotanya jaya, dan koperasi bahkan mampu mendirikan sekolah-sekolah dari TK sampai SMA. Zaman keemasan koperasi berakhir ketika dinyatakan herlakunya Undang-undang Keadaan Bahaya. 1959, dan peraturan yang memberi hak koperasi menguasai penyaluran beberapa kebutuhan pokok rakyat dihapus. Gedung tinggal gedung saja tanpa kegiatan di dalamnya Bahkan lama-kelamaan kekayaan koperasi dijual dan koperasi pun bangkrut, lantas tutup. Memang, beberapa masih mampu bertahan. Tapi "waktu itulah rakyat melihat koperasi sebagai sesuatu yang merugikan, sehingga takut untuk masuk koperasi lagi," NNr Said Halim. R. Sukoyo Praptohartono, pemilik perusahaan batik anggota Koperasi Batik Tamtama di Yogya, dua bulan lalu perusahaannya gulung tikar. Koperasinya tak mampu berbuat apa pun, maka Sukoyo beralih usaha: rumahnyta dijadikan indekosan mahasiswa. Menurutnya, "hanya 25% saja anggota koperasi di seluruh Yogyakarta yang masih bekerja." Itu hanya mereka yang kuat modalnya. Yang bermodal kecil atau pas-pasan saja, sudah lama gulung tikar. Menurut pengamatan TEMPO di Yogya, daerah batik Prawirotaman kini tak lagi berbau lilin batik. Tapi di sini sekarang bermunculan penginapan dan semacamnya yang merupakan usaha alihan dari para pengusaha batik kecil yang gulung tikar. Sukoyo sejak 1965 memang sudah tak menerima jatah mori. Bukannya mori tak ada, tapi koperasi melemparkannya ke pasar bebas. "Kalau anggota mau beli mori dari koperasi, harganya hanya terpaut sedikit dengan harga di luar," cerita Sukoyo. Dan kegiatan koperasinya sekarang hanya kegiatan sosial saja, antara lain khitanan masal anak-anak buruh batik Toh, Sukoyo bermaksud keluar dari ko perasi. "Kalau-kalau ada harapan baik tahun depan," kata Ny. Sukoyo. Juga para pengusaha tempe dan tahu di Semarang Timur ternyata tak jera erhadap koperasi. Maret 1977, mereka membentuk Koperasi Simpan-Pinjam dengan uang pangkal Rp 2 ribu per orang (karena dirasa kurang, kemudian ditambah Rp 100 per orang). Dalam kesempatan berkumpul sebulan sekali telah digunakan untuk membicarakan agar koperasi mengusahakan kedelai--bahan baku ternpe dan tahu agar mereka tak usah pinjam dari tukang kredit yang harganya memang lebih mahal. Diam-diam koperasi ternyata masih didambakan. Tapi kenyataan bahwa badan usaha lain yang berbentuk PT ataupun CV lebih dipercaya kini, koperasi memang memerlukan cara pengelolaan khusus. Ada yang menanyakan, kalau pemerintah memang ingin menegakkan perekonomian berdasar asas kekeluargaan--seperti yang disebutkan Pasal 33 Ayat 1 UUD '45 itu -- kenapa tak ada pendidikan kepengurusan koperasi secara intensif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus