LEBARAN baru saja berlalu. Zakat fitrah dan shadakah sudah pula
dibagikan kepada para fakir miskin. Tapi kcnyataannya, seperti
juga tahun-tahun lalu, tak semua dana yang masuk ke kas Badan
Amil Zakat, Infaq dan Shadakah (BAZIS) itu habis dibagi-bagikan
sampai menjelang sembahyang Ied. Adapun sebabnya, karena yang
membayar zakat fitrah dan zakat harta, jumlahnya jauh lebih
besar daripada yang menerimanya.
Dan surplus beras yang diwujudkan dalam bentuk uang itu lumayan
besarnya. BAZIS DKI Jaya misalnya sejak 1977 melaksanakan apa
yang dikenal dengan zakat produktif yang disalurkan kepada
pengusaha kecil. Caranya adalah dengan memberikan pinjaman
selama dua tahun tanpa bunga, dengan tenggang waktu 3 bulan:
Besarnya pinjaman Rp 50.000 untuk pengusaha kecil tingkat
kelurahan dan Rp 100.000 untuk pengusaha kecil tingkat
kecamatan.
Menurut catatan BAZIS DKI Jaya perbandingan daria yang diterima
selama 1977/1978 dengan yang mampu dibagikan tidaklah seimbang.
Dari sejumlah Rp 146 juta dana yang terkumpul selama periode
itu, yang berhasil dibagikan kepada fakir miskin hanya sekitar
Rp 10,8 juta. Dan untuk sektor produktif hanya Rp 40 juta lebih
sedikit, yang dipinjamkan kepada 773 pengusaha kecil.
Namun yang dibagikan selama 1978 malahan agak turun sedikit:
pinjaman Rp 36,5 juta untuk 704 pengusaha. Sedang pemasukan
dananya selama 1978/ 1979 berjumlah Rp 196,2 juta. Porsi
terbesar sebanyak Rp 111 juta telah disalurkan untuk pembangunan
seperti mesjid, madrasah, poliklinik, panti asuhan dan kegiatan
dakwah. Juga untuk bea siswa dan mereka yang mendapat kesulitan
selama perjalanan, masing-masing Rp 2 juta.
Untuk meningkatkan kapasitas membagi dan menampung dana zakat
itu, di penghujung tahun 1978 dijalin kerjasama antara BAZIS
DKI dengan LP3ES lembaga sosial ekonomi yang memang
memperhatikan penelitian industri kecil. Setidaknya di Jakarta.
Tapi Ismid Hadad, Direktur LP3ES toh beranggapan dana yang
disalurkan itu "masih berupa rintisan,' meskipun diakuinya
merupakan "hasil nyata."
Ismid, yang ditemui Yunus Kasim dari TEMPO beberapa hari sebelum
Lebaran, menyebutkan beberapa industri tingkat bawah yang telah
dibina lewat dana zakat tersebut: pengusaha peci (kopiah) di
Kcbavoran Lama, tukang sepatu di Karet-Kuningan, penjahit di
lenteng Prapatan, iildustri kaleng dan alat rumah tangga dapur
di Bidaracina dan perkayuan di Klender.
Selain industri-industri yang kena salnber Kenop-15 tempo hari
itu, HMA Hadiwidjaja, Ketua Pelaksana Harian BAZIS menambahkan
di tingkat kelurahan dan kecamatan di DKI Jaya adalah petani
anggrek di Kebon Jeruk, Kebayoran Lama dan warung makanan di
hampir setiap kecamatan di 5 wilayah DKI yang sudah kebagian
bantuan dana zakat itu.
"Dan jumlah pinjaman yang Rp 2 juta itu suclah pula
dibagi-bagikan untuk 20 pemuda putus sekolah," kata Adiwidjaja.
Tapi sebelum bisa menikmati bantuan itu, mereka dikursus dulu
oleh LP3ES, yang melakukan pendidikan dan latihan yang dibiayai
Departemen Perindustrian.
Animo Besar
Adakah yang tampil sebagai pengusaha? "Ada, sekalipun untuk
mencapai tidak mudah," kata Dawam Rahardjo, Wakil Direktur
LP3ES. Menurut Dawam, para calon pengusaha itu disuruh magang
selama 6 bulan sesuai dengan keinginan dan keahlian
masing-masing. Dan mereka mengikuti kursus tentang teknik
produksi memimpin perusahaan, teknik pemasaran dan mencari
order. Rata-rata mereka itu memperoleh pinjaman tanpa bunga Rp
100.000.
Ada juga yang mengikuti anjuran agar bergabung, hingga modalnya
lebih besar dan lebih efisien. Dan menurut Ismid, ada yang sudah
memiliki mesin bubut membuat komponen mebel-yang manpu melayani
pesanan perusahaan besar, di Pulogadung, Jakarta Timur.
Ada yang tentunya yang tak mampu mencicil semua hutangnya.
Terutama setelah tindakan Kenop-15, yang membuat susutnya
likwiditas mereka. Tapi kata Dawam, "itu tidak menjadi soal."
Barangkali ini disebabkan dana yang disalurkan itu melulu
digunakan untuk modal kerja pemheli bahan baku atau peralatan
kerja.
Tapi menurut Direktur LP3S, perjanjian kerjasama dengan BAZIS
yang ditandatangani 11 Desember tahun lalu itu masih harus ada
tindak lanjutnya. Tanpa latihan ketrampilan, LP3ES tak melihat
program itu bisa berkembang. Masalahnya kini terbentur pada soal
biaya juga. "Yang kita perlukan sekarang ini adalah cukong yang
bersedia membiayai program ini," katanya.
Memang sayang kalau program baik itu jadi tertunda-tunda
gara-gara soal biaya. Seperti kata Dawam Rahardjo. "animonya
cukup besar, tahun lalu saja yang mendaftar 750 orang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini