Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN Bank Dunia tahun lalu seperti menelanjangi kinerja PLN. Berjudul Indonesia Maintaining Stability Deepening Reform, dokumen setebal 25 halaman itu mencatat bahwa ternyata tarif listrik di Indonesia sudah jauh lebih mahal daripada tarif di Thailand, Vietnam, dan Laos.
Tengok data yang disodorkan Bank Dunia (lihat tabel). Pelanggan rumah tangga di negeri ini mesti membayar US$ 3,72-9,97 sen per kWh, padahal di Thailand cuma separuhnya, hanya 1,62-5,48 sen. Di Vietnam, yang masih menganut paham komunis, tarif listrik rumah tangga hanya 3,18-5,96 sen, sedangkan di Laos lebih rendah lagi, 0,13-1,29 sen.
Salah satu penyebab tingginya harga itu, menurut laporan tersebut, kas PLN diganduli tambahan biaya "operasional". Yang dimaksud adalah pemberian subsidi silang pelanggan besar kepada pelanggan kecil, inefisiensi perusahaan, atau pembelian listrik swasta. Sedangkan di tiga negara lain, penghitungannya hanya berdasarkan biaya riil pembangkit.
Hal ini diakui Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan PLN, Sunggu Anwar Aritonang. Menurut dia, gara-gara berbagai salah urus di masa lalu, misalnya, pihaknya kini terpaksa mematok tarif lebih mahal. "Sekarang harus kita terima sebagai kenyataan," ujarnya.
Sunggu mencontohkan, saat ini PLN harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli listrik swasta. Ambil contoh di PLTU Paiton I. Untuk menutup sisa utangnya, tiap bulan PLN harus mencicil US$ 4 juta selama 30 tahun. Biaya tersebut di luar ongkos pembelian listrik dari Paiton seharga US$ 4,93 sen per kilowatt jam. Selain itu, masih ada tunggakan pembayaran kepada kontraktor PLTP Dieng-Patuha sebesar US$ 400 juta selama 27 tahun. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk kontrak pembelian listrik swasta yang selesai dirundingkan ulang, Juni lalu, yang besarnya mencapai US$ 3,4 miliar-US$ 4 miliar.
Yang jadi soal kemudian, sudah harganya mahal, pasokan listrik tak terjamin pula kelancarannya. Awal Juni lalu, misalnya, sebagian wilayah di Jawa mengalami pemadaman akibat kekurangan setrum. Sementara itu, kenaikan tarif seperti sudah menjadi program tetap PLN sampai tahun depan. Dengarkan kalimat Sunggu berikut ini: "Selisih antara biaya operasional dan pendapatan masih defisit Rp 9 triliun. Untuk menambalnya, ya, dengan kenaikan tarif."
ANY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo