Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIREKTUR Niaga dan Pelayanan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sunggu Anwar Aritonang, menatap tajam dokumen yang disodorkan TEMPO. Berkas berisi data hasil perhitungan ongkos produksi pembangkit listrik di Jawa itu dipelototinya satu per satu. "Saya tidak bisa menjawab karena belum melihat data sebenarnya," ujarnya dengan suara meninggi, pekan lalu.
Angka-angka itu memang layak membuat dahi Sunggu berkerut. Soalnya, isinya menunjukkan bahwa biaya pokok penjualan tenaga listrik ke pelanggan ternyata hanyalah US$ 5,3 sen per kilowatt jam (kWh), atau Rp 477 dengan menggunakan kurs Rp 9.000. Harga itu sudah termasuk biaya pembangkitan US$ 3,8 sen, transmisi US$ 0,5 sen, dan distribusi US$ 1 sen. Dan ini berarti harga setrum mestinya bisa jauh lebih rendah dari banderol yang selama ini dipatok.
Sekarang, dengan perhitungan kurs yang sama, PLN menjual setrum sampai di rumah pelanggan seharga US$ 6,9 sen atau Rp 626, alias 30 persen lebih mahal dari biaya pokok penjualan di atas. Rinciannya, biaya pembangkitan US$ 4,9 sen, transmisi US$ 0,6 sen, dan distribusi US$ 1,4 sen. Harga jual tersebut sudah mendekati angka US$ 7 sen yang dikejar PLN sejak diberlakukannya kenaikan tarif tiga tahun lalu.
Di antara perusahaan pelat merah, PLN memang mendapat perlakuan mahaistimewa. Oleh pemerintah, tiap tahun pabrik setrum itu dibolehkan menaikkan tarif. Alasannya nyaris klise. Biaya operasional membengkak, sementara pendapatan tetap. Akibatnya, PLN bisa tak sanggup membiayai pembangunan pembangkit baru untuk mengimbangi pertumbuhan listrik yang melesat tajam—tiap tahun permintaan sambungan anyar mencapai 8 persen.
Sejatinya, kata seorang pejabat tinggi PLN, harga US$ 5,3 sen itu sudah menguntungkan. Sebab, komponen biaya paling besar dalam menentukan harga jual listrik ada pada pembangkit. Ongkos transmisi dan distribusi tak seberapa. Sementara itu, katanya menambahkan, "Kebanyakan investasi pembangkit di Jawa sudah kembali." Karena itu dia hakul yakin, jika berbagai "kebocoran" di tubuh PLN bisa dicegah, tarif listrik di Indonesia bisa dipangkas lebih murah.
Dia mencontohkan, selama ini banyak pembangkit PLN menggunakan bahan bakar yang tak sesuai dengan desainnya. Lihat saja PLTU Suralaya yang malah memakai batu bara dari Kalimantan. Padahal pembangkit terbesar itu didesain harus menggunakan batu bara dari Bukit Asam. "Akibatnya jadi sering ngadat, dan untuk memperbaikinya butuh dana besar," ujar sumber itu.
Berbagai salah urus beginilah yang membuat harga setrum di Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan dengan di negara-negara jiran seperti Thailand, Vietnam, atau Laos (lihat Mahal Disetrum Inefisiensi).
Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Luluk Sumiarso, berpandangan serupa. Karena itu, dia telah lama meminta agar biaya pokok produksi, pembangkitan, transmisi, dan distribusi PLN dibuka kepada publik. "Supaya masyarakat tahu biaya sebenarnya," ujarnya. Yang jadi soal, entah kenapa hingga kini PLN belum juga membeberkannya. Bahkan rincian datanya pun tak kunjung diberikan kepada pemerintah.
Luluk, yang juga Komisaris Utama PLN, mengingatkan bahwa "kebandelan" ini punya dampak hukum serius. Jika terus menolak mengungkapkan perhitungan ongkos produksinya, PLN bisa divonis melanggar Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Kelistrikan. Beleid ini mengamanatkan: setiap produsen listrik harus memberikan keterangan yang sebenar-benarnya kepada publik. "Jika tidak, bisa dipidana selama lima tahun," kata Luluk.
Tentang belum dilaporkannya perhitungan biaya pokok produksi PLN itu, Sunggu beralasan itu karena angka-angka masih terus dihitung. Hingga kini, pihaknya masih mengumpulkan biaya pembangkitan di seluruh Indonesia. "Besarnya berbeda-beda, tapi semua akan dikonsolidasikan menjadi biaya rata-rata," ia menjelaskan. Dia berjanji, begitu selesai, data penting itu akan diungkapkan ke publik.
Mudah-mudahan janji Sunggu tidak byar-pet.
Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo