Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAGRIB baru saja lewat ketika Direktur Peredaran Uang Bank Indonesia, Budiman Kostaman, membaca sepucuk surat yang baru sampai di meja kerjanya, akhir Juli lalu. Ditujukan kepadanya dan ditembuskan ke Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, surat bertanggal 22 Juli 2003 itu diteken Direktur Papierfabrik Louisenthal, Michael Böhm. Louisenthal adalah pabrik kertas uang terkemuka yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah Jerman, dan telah sejak tahun 1967 silam menjadi pemasok untuk BI.
Nada surat itu genting sejak kalimat pertama, "Kami minta perhatian Anda bahwa benang pengaman yang akan disuplai Mantegazza ternyata melanggar paten G&D." Giesecke & Devrient GmbH (G&D) adalah perusahaan induk Louisenthal.
Sebagaimana telah diberitakan majalah ini sebelumnya (TEMPO 23 Juni 2003), proyek pengadaan benang pengaman (security thread) itu sejak awal memang sarat kejanggalan. Prosesnya diprotes banyak kalangan karena tak transparan. Tanpa tender, kontrak selama lima tahun penuh dianugerahkan ke pemasok tunggal. Yang mendapat durian runtuh itu—di tahun pertama saja sebanyak 600 ton untuk pecahan Rp 100 ribu dan 800 ton buat lembaran Rp 20 ribu—adalah Mantegazza Antonio Arti Grafiche, pabrik kertas uang asal Italia yang memiliki 100 karyawan saja. Dan yang menarik lagi, penunjukan dilakukan sekitar pertengahan Mei lalu, ketika parlemen lagi sibuk-sibuknya menyeleksi calon Gubernur BI yang baru.
Proses remang-remang itulah yang kini berbuah sengketa. Rupanya, menurut sejumlah dokumen autentik yang diperoleh TEMPO, dalam menyuplai benang pengaman buat BI, Mantegazza menggunakan teknologi yang patennya dipegang G&D tanpa seizin perusahaan itu dan membayar royalti lebih dulu. Sialnya, praktek itu terendus.
Kisahnya bermula ketika Louisenthal berencana mengikuti tender pengadaan kertas uang rupiah untuk tahun 2004 mendatang. Sebagai syarat, mereka diharuskan melakukan uji coba produksi dulu dengan menggunakan benang pengaman Mantegazza. Juni lalu, Louisenthal membeli sejumlah kecil thread. Eh, saat tes dilakukan, dipergoki benang itu ternyata dibikin dengan teknologi G&D.
Sudah begitu, mutunya amburadul. Komplain telah disuarakan Crane AB. Seperti Louisenthal, pabrik kertas uang yang bermarkas di Massachusetts, AS, ini juga telah mengetes benang Mantegazza. Hasilnya dinyatakan dalam surat mereka ke Kebon Sirih, kantor BI, 1 Agustus kemarin, bahwa thread bikinan Mantegazza "sulit digunakan untuk produksi massal. Dan lebih penting lagi, fitur anti-pemalsuannya tak memadai untuk kertas uang". Rupanya, fitur yang digunakan hanyalah jenis irisafe, yang selama ini biasa digunakan hanya untuk mencetak produk sekelas kartu nama atau tiket bus.
Sontak, G&D mencak-mencak. Jumat dua pekan lalu, pengacara mereka dari firma Studio Torta di Turino, Italia, langsung melayangkan somasi kepada Mantegazza. Isinya ancaman. Jika sampai 30 Agustus nanti produksi tak disetop, Mantegazza akan mereka seret ke meja hijau.
Melihat gejala ini, seorang pejabat bank sentral waswas benang kusut persoalan ini bakal ikut menjerat BI. "Jika Mantegazza terbukti melanggar paten, BI sebagai pengguna bisa dinyatakan ikut bersalah," katanya. Sudah begitu, jika benar kualitasnya jeblok, bank sentral pula yang harus menanggung rugi jutaan dolar.
Sayang, manajemen Mantegazza tak menjawab e-mail permohonan wawancara dari TEMPO. Agen perusahaan itu di Indonesia, Filip Wardana, melalui sekretarisnya cuma pendek menjawab: penyelesaian kasus tersebut mereka serahkan sepenuhnya kepada BI.
Direktur Peredaran Uang BI, Budiman Kostaman, sendiri gigih membela Mantegazza. "Klaim G&D itu belum tentu benar. Yang paling berhak menentukan hanya pengadilan," ujarnya. Budiman pun membantah beredarnya dugaan suap di balik penunjukan Mantegazza. "Ini terobosan. Selain fungsi pengamanannya lebih baik, harganya juga lebih murah," ujarnya bersemangat, sambil menyodorkan harga yang disanggupi Mantegazza: US$ 75,3 untuk tiap satu rim kertas pecahan Rp 50 ribu, dan US$ 114 untuk lembaran Rp 20 ribu.
Mendengar penjelasan Budiman, surat protes tampaknya masih akan berseliweran di Kebon Sirih.
Karaniya Dharmasaputra, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo