Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUAN Boediono ke Palu se sungguhnya membuka Festival Maulid Nusantara. Namun kehadiran Wakil Presiden pada Jumat dua pekan lalu itu juga dimanfaatkan pejabat dan tokoh masyarakat setempat untuk meminta kepastian soal proyek gas Donggi-Senoro. Itu sebabnya, dalam dialog yang digelar malam hari di Convention Hall, Swiss-Belhotel, gas Donggi-Senoro menjadi pusat sorotan.
Dalam sambutannya sebelum Boediono berpidato, Gubernur Sulawesi Tengah H Bandjela Paliudju langsung menyinggung proyek yang sudah lama dinanti-nanti itu. "Masyarakat Sulawesi Tengah berharap pemerintah segera memberikan persetujuan," ujarnya, "agar proyek yang terkatung-katung dua tahun itu dapat kembali berjalan."
Ditodong seperti itu, Boediono sulit mengelak. Di depan hampir semua pejabat di provinsi itu, dia memaparkan persoalan Donggi-Senoro dengan hati-hati, di akhir pidato. Mengenakan kemeja putih dan dikalungi sarung sutra Donggala biasa disebut buya sabe Boediono mengatakan pemerintah akan mengambil keputusan dalam waktu dekat. Dan keputusan itu, kata dia, tidak akan merugikan Sulawesi Tengah.
Boediono, yang kehadirannya malam itu didampingi tujuh menteri, juga berjanji peruntukan gas akan memompa kas pendapatan daerah. Dengan catatan, alokasinya tetap memperhatikan kebutuhan nasional agar industri lokal tak mengeluh lagi. Itu sebabnya pemerintah pusat masih mengkaji pembagian peruntukan gas dari lapangan ini. "Saya sedang melihat gambarannya secara utuh," ucapnya.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah Henry Kawulur dan Ketua Komisi Pembangunan DPRD Nawawi S. Kilat juga mendesak Boediono agar proyek Donggi-Senoro segera direalisasi. "Warga Sulawesi Tengah selama ini tak pernah minta apa-apa. Tapi kabulkanlah permintaan kami yang satu ini," kata Nawawi.
Henry menambahkan, pemerintah daerah ingin menikmati dana bagi hasil jika proyek ini berjalan. Pemasukan daerah lewat dana bagi hasil itu diperkirakan bisa menembus US$ 120 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun. Dengan dana itu, masalah pembangunan di Sulawesi Tengah bisa teratasi. Dari hulu hingga hilir, proyek ini juga mengundang investasi Rp 36 triliun serta menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha.
Dua hari sebelum pertemuan itu, beberapa delegasi Medco dan Pertamina di antaranya Direktur Medco Eka Sat ria, Direktur PT Donggi-Senoro LNG Andy Karamoy, dan General Manager JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Hendra Jaya gencar menemui anggota Dewan setempat. Mereka melobi anggota Dewan agar mendesak pemerintah pusat segera menentukan nasib Donggi-Senoro.
Kamis pekan lalu, rombongan DPRD Sulawesi Tengah pergi ke Jakarta. Dipimpin Wakil Ketua Dewan, Syafrun Abdullah, mereka berikhtiar menagih janji kepada Wakil Presiden. "Sekaligus memberikan dukungan politik karena proyek ini tinggal menunggu lampu hijau dari pemerintah pusat," kata Nawawi. Namun Boediono belum pulang dari kunjungan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Pengamanan Nuklir, yang digagas Presiden Barack Obama, di Washington, DC, Amerika Serikat.
SKEMA penjualan gas alam cair dari lapangan Senoro dan Matindok memang tinggal menunggu keputusan Boediono. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan urusan Donggi-Senoro sudah dibahas di kantor Menteri Perekonomian akhir Februari lalu dan dilaporkan lewat surat kepada Wakil Presiden awal bulan lalu.
Dalam suratnya, Hatta setuju dengan poin-poin yang disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh agar penjualan dari lapangan gas itu memakai dua kombinasi: ekspor dan pemenuhan pasokan domestik. Skema itu, kata Hatta, diperkuat hasil kajian independen Lembaga Afiliasi dan Penelitian Industri Institut Teknologi Bandung. Dalam surat itu, ikut dilampirkan surat Darwin Zahedy Saleh kepada Hatta.
Dua kementerian itu sepakat, bila gas Donggi-Senoro sebagian diekspor, kebutuhan gas minimum harus memenuhi kelaikan teknis dan keekonomian kilang gas alam cair. Kalkulasinya, untuk membangun satu kilang, dibutuhkan heat exchanger. Adapun kapasitas heat exchanger terkecil yang tersedia di pasar 2,1 juta ton per tahun, dengan kebutuhan gas 360 juta standar kaki kubik per hari. Nah, untuk memenuhi kelaikan teknis dan keekonomian kilang, kebutuhan gas alam cair minimal 90 persen dari kebutuhan heat exchanger, yakni 335 juta standar kaki kubik per hari.
Adapun pasokan gas untuk konsumen domestik berkisar 25 persen dari volu me gas yang diproses di kilang LNG, yakni 84 juta standar kaki kubik per hari. Tambahan itu dialokasikan untuk industri pupuk dan PLN. Alhasil, total kebutuhan gas lapangan Donggi-Senoro 419 juta standar kaki kubik per hari.
Kalaupun cadangan lapangan Donggi-Senoro tidak cukup untuk menyu plai tambahan kebutuhan tadi, Darwin mengatakan PT Pertamina EP selaku operator blok Matindok dan JOB Pertamina Medco E&P Tomori selaku operator blok Senoro-Toili akan menggantinya dengan pasokan gas dari wilayah kerja lain. Kesanggupan itu disampaikan Pertamina dalam sepucuk surat akhir tahun lalu.
Awal Januari lalu, skema pemasaran gas Donggi-Senoro telah disampaikan Darwin kepada Boediono. "Kami sudah berkirim surat kepada Wakil Presiden menanyakan kebijakan pemerintah, sekaligus menyerahkan sepenuhnya kebijakan tersebut," ujar Menteri Darwin saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, di Hotel Fullerton, Washington, DC, Amerika Serikat, Selasa malam pekan lalu waktu setempat. Dalam surat itu, Darwin menyatakan kombinasi itu opsi paling menguntungkan.
Suplai untuk domestik itu jauh lebih rendah daripada hitung-hitungan yang semula dilakukan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Dua kementerian itu menghitung, kebutuhan selama 20 tahun bila gas Donggi-Senoro disalurkan untuk pabrik amoniak mencapai 70 juta standar kaki kubik per hari, untuk PT Pusri 91 juta standar kaki kubik per hari, dan untuk PLN 50 juta standar juta kaki kubik per hari.
Perhitungan tadi dilakukan setelah Jusuf Kalla, Wakil Presiden Kabinet Indonesia Bersatu I, pada Juli tahun lalu meminta lapangan Donggi-Senoro sepenuhnya dialokasikan untuk kebutuhan domestik. Instruksi itu membuyarkan skema ekspor yang sudah direncanakan Pertamina dan Medco. Karena tarik-ulur ini, Kansai Electric Power Co., salah satu calon pembeli, mundur satu bulan kemudian.
Nyatanya, penyerapan gas buat kepentingan domestik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Skema itu menelan investasi US$ 1,61 miliar. Angka itu belum termasuk biaya pengembangan sektor hilir US$ 1,7 miliar, mengingat belum tersedianya terminal penampungan dan regasifikasi di Jawa dan Sumatera.
Masalahnya, sumber pendanaan proyek untuk konsumen domestik belum jelas, apakah berasal dari perbank an nasional atau asing. Pembicaraan dengan perbankan lokal juga belum tuntas karena PLN dan PT Pusri menghadapi kendala batas maksimum pemberian kredit. "Harga gas antara produsen dan konsumen juga belum disepa kati," kata Darwin.
Belum lagi kompensasi buat PT Donggi-Senoro LNG bila lapangan yang memiliki cadangan gas 2,41-2,86 triliun kaki kubik ini sepenuhnya dialirkan untuk kebutuhan domestik. PT Donggi-Senoro mengklaim sudah mengeluarkan dana US$ 80 juta terkait dengan pengembangan sektor hilir proyek Donggi-Senoro. Perusahaan ini dibentuk Pertamina (29 persen), Medco (20 persen), dan Mitsubishi (51 persen). Itu sebabnya dicari jalan tengah, dengan tetap memperhitungkan nilai keekonomian proyek.
DI New York, Amerika Serikat, Boediono terkejut ketika dimintai konfirmasi ihwal penyelesaian proyek Donggi-Senoro. "Soal itu bukan saya yang harus memutuskan, tapi memang harus dikaji mendalam," katanya seusai jumpa pers di kamar tempatnya meng inap, di Hotel Intercontinental, Rabu pekan lalu waktu setempat. Menurut Staf Khusus M. Ikhsan, proyek Donggi-Senoro tidak perlu menunggu keputusan Wakil Presiden. "Secara hukum cukup diputuskan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral," ujarnya.
Masalahnya bukan cuma itu. Berlarutnya penyelesaian proyek ini juga disebabkan oleh belum tuntasnya pembahasan harga beli gas buat kebutuhan domestik. Murtaqi Syamsudin, Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN, mengakui hal itu. Menurut dia, perusahaan setrum negara itu tengah berunding dengan pemerintah. Dahlan Iskan, Direktur Utama PLN, mengatakan perusahaan setrum itu menginginkan pasokan sebanyak-banyaknya. "Bisa saja dengan harga mahal sedikit," ujarnya. Berapa harga yang diajukan, Murtaqi tidak mau bicara.
Yang jelas, bila keputusan tidak segera dibuat, produksi gas dari lapangan Matindok dan Senoro bisa molor lagi. Semula, proyek ini direncanakan diki rim ke pembeli pada 2012, untuk jangka waktu 15 tahun. Harga jual gas di mulut sumur US$ 6,16 per juta british thermal unit. Setelah Kansai mundur, pembeli yang masih bertahan dengan harga itu tinggal Chubu Electric, dengan permintaan 1 juta ton per tahun.
Harga itu jauh di atas harga blok Tangguh dan Bontang karena meskipun produksinya cuma 2,1 juta ton per tahun blok Donggi-Senoro direncanakan mengisi slot kebutuhan pasar yang lagi kosong.
Belakangan, kilang Donggi-Senoro diharapkan beroperasi pada September 2013. Chubu dan calon pembeli baru, Korea Gas Corporation, ingin pengiriman gas alam cair dimulai pada semester kedua 2013.
Menurut Head of LNG Business Pertamina LNG Hari Karyuliarto, selain Korea Gas, Kyushu Electric Power (Jepang) berminat membeli gas ini. "Kami masih bernegosiasi," ujarnya. Korea Gas Corporation ingin membeli 700 ribu ton per tahun, sedangkan Kyushu 300 ribu ton per tahun. Namun situasi tidak menentu ini, kata seorang sumber, dimanfaatkan kedua pembeli itu untuk menekan harga agar lebih murah daripada penawaran Chubu.
Apalagi beberapa lapangan yang memiliki kapasitas produksi lebih besar, seperti Gorgon (5-15 juta ton per tahun) di Pulau Barrow, Australia; Gladstone (5 juta ton per tahun) di Queensland, Australia; serta lapangan di Papua Nugini (6,4 juta ton per tahun) dan Qatar (40 juta ton per tahun), siap masuk pasar setelah 2013. Mereka bahkan sudah melakukan pendekatan ke calon pembeli Donggi-Senoro dengan harga lebih miring.
Bila proyek ngaret, bukan tidak mungkin pembeli seperti Chubu yang sudah berbaik hati menunggu bakal balik badan "Kalaupun mereka bertahan, pasti minta harga yang lebih rendah," kata seorang sumber. Yang paling runyam, potensi penerimaan negara US$ 6,4 miliar selama 15 tahun atau US$ 410 juta per tahun bisa buyar. Apalagi kontrak berakhir pada 2027, dan tidak bisa diperpanjang.
Yandhrie Arvian, Wahyu Muryadi (Washington, DC, New York), Moh. Darlis (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo