Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju-mundur Pajak Tol

Rencana pajak jalan bebas hambatan per 1 April dikeluarkan tanpa rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian. Ditunda setelah saling buang badan.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono sedang menikmati teh hangat ketika Presiden Joko Widodo menghampirinya. Jumat pagi dua pekan lalu, Basoeki hadir di Istana Negara untuk mengikuti acara pelantikan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Ardan Adiperdana. "Pak Bas, kok, di running text televisi sudah keluar berita pajak tol diterapkan 1 April?" kata Jokowi, seperti ditirukan Basoeki, Kamis pekan lalu.

Mendapat pertanyaan begitu, Basoeki kaget. Dia mengatakan bisa saja menjawab kebijakan itu dari Kementerian Keuangan. Sebab, dalam kasus pajak jalan tol, kementerian yang ia pimpin hanya akan berperan sebagai pengguna. Tapi jawaban seperti itu tak mungkin ia sampaikan ke Presiden. "Saya jawab, itu release dari Dirjen Pajak yang belum dibahas di Menko Perekonomian," Basoeki bercerita.

Suasana jadi tak enak karena, di luar, rencana pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) jalan tol ini menuai penolakan dari banyak pihak. Para pengusaha logistik, misalnya, menyatakan keberatan karena pajak ini akan membuat biaya yang harus mereka tanggung membengkak. Mereka mengatakan pungutan baru ini akan membuat industri logistik terkena pajak dobel. Sebab, selama ini mereka sudah menanggung PPN 1 persen dari tarif yang mereka bebankan ke konsumen. "PPN jalan tol ini kontraproduktif dengan harapan Jokowi yang ingin menurunkan biaya logistik," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia Akbar Djohan.

Banyak suara lain memprotes. Sebab, kualitas dan pelayanan jalan tol masih jauh dari yang dijanjikan sebagai jalan bebas hambatan. Kemacetan terjadi saban hari hampir tak ada bedanya dengan jalan non-tol.

Basoeki menjelaskan, rencana sebenarnya telah dilaporkan Menteri Keuangan dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 4 Maret lalu. Secara prinsip, Presiden Jokowi menyetujui. Namun dia mewanti-wanti agar dipikirkan soal waktu penerapannya. Apalagi, dalam situasi yang bersamaan, harga beras tengah melonjak dan rupiah mengalami depresiasi. Untuk membahas kapan saat yang tepat, Jokowi meminta soal ini dibahas di Kementerian Koordinator Perekonomian dengan melibatkan kementerian terkait.

Rapat koordinasi belum digelar, Direktorat Jenderal Pajak tiba-tiba mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Jalan Tol. Waktu penerapannya akan dilakukan per 1 April mendatang. "Release peraturan dirjen itu sebelum rapat di Kemenko. Padahal semua kebijakan menteri yang berdampak luas seharusnya dibahas di sidang kabinet. Ini belum," kata Basoeki.

Dikejar target setoran pajak Rp 1.489 triliun lebih, Kementerian Keuangan memang dituntut lebih kreatif menggali potensi-potensi baru yang selama ini masih lolos. Berbagi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang kebagian beban Rp 195 triliun, target yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak naik 35 persen dibanding tahun sebelumnya. Beragam manuver ekstensifikasi terpaksa dilakukan untuk memenuhinya. Beberapa di antaranya dengan mengejar pajak rumah kos-kosan, menjajaki pajak deposito, hingga mengincar pajak dari profesi seperti desainer dan atlet. Rencana PPN jalan tol adalah salah satunya.

"Target itu dianggap tidak realistis. Sebab, besar kenaikan pajak secara alamiah sekitar 15 persen," ucap Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo. "Belum pernah terjadi dalam sejarah kita ada kenaikan target pajak yang demikian tinggi."

Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito mengatakan penarikan pajak di sana-sini itu tak melulu untuk mengejar setoran. Sebab, kata dia, tambahan pemasukan dari pos-pos pungutan baru itu tak sampai Rp 20 triliun. "Saya tidak cari uangnya di situ. Itu tidak ada apa-apanya dibanding tambahan pajak yang harus saya kumpulkan Rp 390 triliun," ujar Sigit.

Untuk menggenjot target pajak, ia punya strategi lain, yaitu penghapusan sanksi pajak selama lima tahun, seperti yang diberlakukan ketika sunset policy pada 2008. Wajib pajak yang selama ini alpa atau menyetor di bawah seharusnya akan dibebaskan dari hukuman. Dengan iming-iming itu, pemerintah berharap mereka yang selama ini menyembunyikan penghasilan dan hartanya tak akan takut untuk membuka datanya.

Bedanya, kata Sigit, sekarang ia punya rencana lebih canggih. Kebijakan tidak hanya akan bersandar pada kesukarelaan pembayar pajak atau voluntary, tapi juga wajib alias mandatory. Dari data dan hitung-hitungannya, dia meyakini target pajak tahun ini bisa tercapai karena potensi penerimaan pajak dari sunset policy sangat besar.

Ihwal PPN jalan tol, Sigit mengatakan hanya ingin menjalankan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN. Di situ disebutkan jalan tol terkena pajak karena ada proses penyerahan jasa kepada pengguna tol. Berbekal aturan ini, Direktorat Jenderal Pajak membahas rencana tersebut sejak akhir 2014.

Mereka berkoordinasi dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kepala BPJT Achmad Gani Ghazali mengatakan rapat dilakukan tiga-empat kali di Direktorat Jenderal Pajak. "Tapi di rapat tidak disampaikan akan diterapkan 1 April. Mereka cuma bilang akan menerapkan PPN jalan tol," kata Gani.

Dalam rapat itu, BPJT mengusulkan waktu penerapan PPN jalan tol digabungkan dengan kenaikan tarif tol. Sebab, dalam peraturan pemerintah soal jalan tol, tarif tol disesuaikan tiap dua tahun sekali dengan mempertimbangkan inflasi. Pada 2015, ada 19 jalan tol yang punya jadwal untuk disesuaikan tarifnya. Tahun depan menyusul 10 ruas tol lain. Usul ini dimaksudkan agar proses kenaikan tarif tol dilakukan cukup sekali. "Tapi kami tergantung Menteri Keuangan. Kapan pun diterapkan, ya, kami terapkan. Itu amanat undang-undang," ucap Gani.

Sigit mengaku bingung terhadap berbagai keberatan yang muncul belakangan. Saat rapat koordinasi dengan BPJT, kata dia, tak ada yang mengungkapkan hal itu. "Waktu itu BPJT no problem. Semua no problem, maka kami keluarkan peraturan dirjen. Begitu rakyat pada ribut, seolah-olah cuma Ditjen Pajak," ucap Sigit mengeluh. Ia memastikan dampak pajak ini terhadap inflasi pun sangat kecil, hanya 0,01 persen.

Meski begitu, kali ini Sigit sedikit mengalah. Ia tak ingin ada gejolak di masyarakat, apalagi Presiden pun telah memberikan instruksi untuk memperhatikan timing. Dalam rapat pada Jumat sore dua pekan lalu di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, dan Menteri Basoeki Hadimoeljono mencapai kata sepakat. PPN jalan tol harus ditunda, sambil mencari waktu dan skema yang lebih pas. Angkutan barang dan kendaraan besar nantinya akan dikecualikan, dan hanya kendaraan golongan I yang akan dikenai. "Karena mau sampai kapan pun jalan tol itu harus kena pajak," ujar Sigit.

Amirullah, Ayu Prima Sandi, Khairul Anam


Tulang Punggung Negara

Penerimaan pajak, yang meliputi pemasukan pajak serta bea dan cukai, merupakan tulang punggung anggaran negara. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, penerimaan perpajakan ditargetkan sebesar Rp 1.489,3 triliun atau hampir 80 persen dari total penerimaan negara.

Target dan Realisasi Penerimaan Pajak 5 Tahun Terakhir (Triliun Rupiah)

TahunTargetRealisasiPencapaian (%)
20141.246,11.143,391,7
20131.148,41.077, 393,8
20121.016,2980,596,4
2011878,7873,999,4
2010743,3723,397,3
2009651,9619,995,1

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak, Berbagai Sumber Diolah

Proporsi Penerimaan Negara dalam APBN 2015

  • PPh: 36,14%
  • PPN: 29,83%
  • PNBP: 22,05%
  • Cukai: 7,16%
  • Bea masuk dan bea keluar: 2,95%
  • PBB: 1,53%
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus