Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Karam Bersama Kredit Tongkang

Polisi mengusut dugaan korupsi kredit macet BRI sebesar Rp 34,5 miliar. Penyelidikan hanya membidik kesalahan dalam tahap pencairan.

23 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perlawanan Awaluddin menjelma dalam belasan bundel dokumen setebal sekitar dua sentimeter. Sejak awal Maret lalu, dikemas dalam amplop cokelat, bundelan itu melayang ke berbagai kantor lembaga negara, seperti Istana Kepresidenan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kepala Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung.

Awaluddin mencoba mengadukan kasus yang menimpa dirinya. Sejak awal Februari lalu, Account Officer Bank BRI Kantor Cabang Pasar Minggu itu ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi kredit macet senilai Rp 34,5 miliar. Awal—begitu lelaki itu biasa disapa—kini ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Dia mengirimkan amplop itu agar pejabat negeri ini bisa melihat persoalan secara obyektif," kata pengacara Awal, Anggiat Marulitua Sinurat, Kamis pekan lalu.

Polda Metro Jaya mulai mengusut kasus itu pada awal 2014. "Kami menelisik dugaan kerugian negara akibat pencairan kredit yang tidak beres," ujar Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ajie Indra Dwiatma, Kamis pekan lalu.

Bersama Awal, polisi menetapkan dua tersangka lain: Jantje Kaunang, mantan Kepala Cabang BRI Pasar Minggu, dan Alfonsius Setiawan, Direktur Utama PT Prima Lestari Segarapratama. Sejak awal Februari lalu, kedua orang ini pun menjadi penghuni ruang tahanan Polda Metro Jaya.

Meski belum menemukan bukti keuntungan pribadi yang diperoleh Awal dan Jantje, penyidik menjerat kedua tersangka dengan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan keuangan negara dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20 tahun.

* * * *

Hampir 20 tahun bekerja sebagai account officer di BRI, Awaluddin, 47 tahun, tak pernah mengalami nasib seburuk sekarang ini. Dia meringkuk di ruang tahanan Polda Metro Jaya gara-gara terseret kasus kredit macet. "Saya merasa dikorbankan," kata Awal ketika ditemui di ruang tahanan. "Banyak kejanggalan dalam pemberian kredit itu."

Awal pun bercerita panjang-lebar. Pada 2008, PT Prima Lestari mengajukan permohonan kredit investasi senilai Rp 63,3 miliar untuk pembelian tiga unit tongkang ukuran 300 kaki. Sesuai dengan peraturan perbankan, perusahaan debitor harus menyediakan dana sendiri (self financing) sebesar 35 persen atau sekitar Rp 23 miliar. Sisanya, BRI yang menyediakan kredit sekitar Rp 39,9 miliar.

Bergerak di bidang pengangkutan batu bara, PT Prima Lestari berdiri pada 1997. Perusahaan ini menjadi nasabah BRI sejak 2007. PT Prima Lestari, misalnya, pernah mendapat fasilitas kredit sebesar Rp 3 miliar pada November 2007.

Pengajuan kredit PT Prima Lestari pada awal 2008 disponsori tiga pegawai BRI Kantor Cabang Pasar Minggu, yakni Windriyo Aribowo (account officer), Recky Plangiten (manajer pemasaran), dan Jantje Kaunang. Setelah lolos analisis tim administrasi kredit di kantor cabang, permohonan kredit dilanjutkan ke Kantor BRI Wilayah Jakarta Selatan, karena nilainya di atas Rp 5 miliar.

Hasil analisis tim kantor wilayah lalu dituangkan dalam Memorandum Analisis Kredit Menengah, yang diteken pada 7 Mei 2008 oleh Group Head Analisis Risiko Kredit BRI Brahmoko Setiaji dan anggota stafnya, Pungky Gunawan.

Memorandum yang mendorong pemberian kredit itu kemudian diserahkan kepada pejabat pemutus kredit di kantor wilayah. Ada empat pejabat pemutus kredit, yakni Muhammad Yassir (junior account officer), Brahmoko Setiaji, Eddy Syamsu (wakil pemimpin wilayah), dan Heru Sukanto (pemimpin wilayah). Mereka lalu menandatangani dokumen putusan kredit pada 8 Mei 2008.

Dalam putusan kredit itu disebutkan PT Prima Lestari mendapat kucuran kredit Rp 39,9 miliar. Pencairan kredit terbagi dalam tiga plafon, sesuai dengan jumlah kapal yang akan dibuat. Selanjutnya, dana ditransfer langsung ke rekening pembuat kapal. Berbarengan dengan pencairan kredit, PT Prima Lestari harus menyetorkan dana pembiayaan sendiri ke rekening bersama.

Dokumen putusan kredit itu juga menyebutkan sejumlah persyaratan penandatanganan kontrak, antara lain debitor harus menyerahkan bukti kepemilikan agunan berupa tanah, bangunan, dan tiga kapal yang dibiayai. Keabsahan semua dokumen agunan itu harus diteliti.

Kredit investasi ini juga dibebani bunga sebesar 12 persen per tahun, dengan masa jatuh tempo 21 Mei 2013. Selama enam bulan, perusahaan diberi grace period alias tak wajib membayar pokok utang, tapi harus membayar bunga utangnya.

Putusan kredit itu lalu ditindaklanjuti bagian Administrasi Kredit Kantor Cabang BRI dengan membuat surat penawaran putusan kredit. Surat ini diteken pada 13 Mei 2008 oleh Estono Adi P. (manajer operasional) dan Untung Supriyanto (supervisor administrasi kredit). Perjanjian kredit lantas dibuat antara BRI dan PT Prima Lestari pada 21 Mei 2008 di depan notaris Zarkasyi Nurdin.

Setelah perjanjian kredit diteken, Awaluddin baru ditunjuk sebagai account officer untuk mengurusi kredit PT Prima Lestari. Alasan pemimpin cabang BRI kala itu, pemrakarsa kredit di tahap awal, yakni Windriyo Ariwibowo, mendapat promosi menjadi pemimpin cabang.

Awal masih ingat betul ketika Jantje Kaunang memanggilnya ke ruangan kerja pemimpin cabang pada 30 Mei 2008. Di situ Awal dikenalkan dengan Direktur Utama PT Prima Lestari Alfonsius Setiawan serta anggota keluarganya, yakni Margaretha, Vera Juniarti Hidayat, dan Anton Setiawan.

Setelah berbasa-basi, Jantje meminta Awal membereskan semua persyaratan pencairan kredit untuk PT Prima Lestari. Kala itu Awal mengatakan belum mengetahui seluk-beluk kredit tersebut dan perlu waktu untuk memeriksa ke lapangan. Namun Jantje menimpali bahwa pencairan kredit mendesak karena PT Prima Lestari perlu uang untuk membayar galangan kapal.

Rupanya, sebelum Awal ditunjuk sebagai account officer pengganti, kredit telah dua kali dicairkan. Pada 21 Mei 2008, dana kredit sebesar Rp 3,99 miliar ditransfer ke rekening perusahaan pembuat kapal, PT Bandar Abadi Shipyard. Selanjutnya, pada 30 Mei 2008, uang dalam jumlah yang sama ditransfer kepada pembuat kapal lain, PT Belitung Dockyard Perdana. "Bagaimana prosesnya, saya tidak tahu," ujar Awal.

Esok harinya, pada 31 Mei 2008, Awal diperintahkan Jantje mengunjungi PT Belitung Dockyard untuk melihat kondisi perusahaan pembuat kapal tersebut. Awal pun berkunjung ke perusahaan di Tanjung Belitung, Batam, itu bersama Recky Plangiten dan Anton Setiawan. Anton adalah orang tua Alfonsius sekaligus pemilik PT Prima Lestari.

Pada 2 Juni 2008, Awal diperintahkan membuat nota dinas usulan pencairan fasilitas kredit investasi. Dia membuat nota dinas berdasarkan contoh yang diberikan atasannya, Recky. "Recky meyakinkan saya bahwa akad kredit sudah aman," kata Awal.

Meski menandatangani nota dinas pencairan, Awal tak pernah menerima berita acara serah-terima pengelolaan akun yang menandakan dia sebagai account officer pengganti. "Semestinya posisi Awal tak bisa disebut sebagai account officer untuk kredit ini," ucap pengacara lain Awal, Muharyanto.

Dengan status tak begitu jelas, Awal mencairkan kredit sebanyak 12 kali. Empat kali untuk kredit kapal pertama yang ditransfer ke PT Bandar Abadi Shipyard, lima kali untuk kredit kapal kedua yang ditransfer ke PT Bandar Abadi Shipyard, dan tiga kali untuk kredit kapal ketiga yang ditransfer ke PT Belitung Dockyard.

Kredit ini baru diketahui bermasalah menjelang pencairan kredit terakhir. Kala itu BRI Cabang Pasar Minggu menyurati PT Bandar Abadi Shipyard untuk menagih surat-surat kapal yang menjadi agunan kredit. Namun, pada Februari 2009, Bandar Abadi menyatakan PT Prima Lestari belum menyetorkan dana pembiayaan sendiri sebesar Sin$ 2,3 juta. PT Prima Lestari pun tak membayar bunga utang pada Januari 2009. Perusahaan itu hanya membayar bunga pada Desember 2008 sebesar Rp 435,95 juta, dalam empat kali setoran.

Sebelum kredit PT Prima Lestari "macet total", pada Mei 2009, BRI mulai menawarkan restrukturisasi kredit. Bank itu menurunkan kewajiban utang menjadi Rp 37,240 miliar dengan bunga menjadi 9 persen. BRI juga memberikan kemudahan grace period hingga Maret 2010. Namun upaya restrukturisasi kredit ini gagal.

Akhirnya BRI mengajukan permohonan kepailitan. Hakim Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pailit pada 28 Januari 2014. Namun, setelah mempailitkan PT Prima Lestari, BRI hanya dapat melelang grosse akta tongkang yang dikerjakan PT Bandar Abadi. Nilainya jatuh dari biaya produksi Rp 13 miliar menjadi Rp 7,5 miliar. Sedangkan tanah dan bangunan yang semula dijaminkan kepada BRI ternyata telah diagunkan PT Prima Lestari ke bank lain.

Dalam proses penyidikan, menurut Ajun Komisaris Besar Ajie Indra Dwiatma, polisi juga menemukan bukti bahwa PT Prima Lestari pernah menarik lagi dana kredit sebesar Rp 10 miliar dari salah satu perusahaan pembuat kapal. Alasannya untuk pembelian bahan baku pembuatan kapal. "Ternyata dana lebih banyak digunakan untuk biaya operasional dan pembayaran utang," kata Ajie.

Setelah beberapa kali diperiksa sebagai saksi, Awaluddin baru mendapatkan dokumen lengkap kredit PT Prima Lestari. Laporan keuangan tahun 2008, misalnya, menunjukkan kas perusahaan itu hanya Rp 595 juta. Adapun laba bersihnya sekitar Rp 1,8 miliar. Dengan kondisi keuangan seperti itu, Awal ragu terhadap kemampuan perusahaan tersebut membayar dana pembiayaan sendiri yang disyaratkan dalam kredit investasi. "Bila saya yang menjadi pemrakarsa kredit, saya tak akan meloloskannya," ujar Awal.

Ketika dimintai konfirmasi, pengacara Jantje Kaunang, Bontor O.L. Tobing, mengatakan kliennya menolak memberikan pernyataan. "Untuk sementara, kami belum bersedia diwawancarai. Harap maklum," tutur Bontor lewat pesan pendek.

Jauh berbeda dengan penjelasan Awaluddin, Kepala Grup Pelayanan Hukum Perkreditan BRI Wibowo Setiawan berkukuh proses persetujuan kredit telah memenuhi prinsip kehati-hatian. Sebagai account officer, kata dia, Awaluddin harus mengawasi setiap proses pencairan. "Dia tak bisa berdalih bukan pemrakarsa kredit sejak awal," ujarnya.

Menurut Wibowo, meskipun pemimpin bank telah mengeluarkan surat putusan kredit, account officer dapat membatalkan pemberian kredit bila di tengah jalan menemukan masalah. "Itu akan membantu bank menghindari risiko kredit macet," ucap Wibowo.

Yuliawati, Afrilia Suryani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus