BATAS akhir saat memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak, pada 31 Maret, sudah lewat hampir dua pekan. Manajemen Panin Bank kini tentu bisa duduk dengan tenang, karena Pajak Perseroan (PPs) lembaga keuangan ini untuk tahun fiskal 1983 lebih besar daripada sebelumnya: Rp 4,9 milyar dibanding Rp 2,8 milyar. Karena itu, bank ini tak perlu takut diusut Jaksa Agung Ismail Saleh. Akhir Maret lalu, dalam acara Temu Wicara Kadin di Hotel Hilton, Jakarta, Ismail Saleh memang berjanji tak akan mengusut wajib pajak yang memasukkan SPT 1983 lebih besar daripada 1982. "Kalau masih ada petugas pajak atau kejaksaan datang mengganggu wajib pajak itu, laporkan langsung pada saya," ujar Jaksa Agung. "Petugas yang bersangkutan langsung akan ditindak." Direktur Jenderal Pajak, Salamun A.T., tentu juga berharap pada 1984 nanti wajib pajak memasukkan SPT lebih besar - saat UU Pajak 1984 mulai berlaku. Dan bila kecenderungan kenaikan ini berlanjut pada tahun fiskal berikutnya, tidak tertutup kemungkinan pemerintah memberikan pengampunan pajak. Dengan kata lain, kecilnya pembayaran pajak di bawah tahun fiskal 1982, kabarnya, tak bakal lagi diutik-utik. "Lebih baik memang pemerintah segera mengeluarkan pengampunan, agar mereka yang punya kekayaan bisa membuka diri," ujar Mu'min Ali Gunawan, Wakil Presiden Eksekutif Panin Bank, yang juga jadi pemegang saham di situ. Untuk memperjelas maksudnya, Mu'min memisalkan para wajib pajak bandel tadi seperti maling yang suda ketahuan mencuri. Pengampunan, katanya, diberikan untuk memperoleh kembali barang curian tanpa memberi hukuman badan kepada si pencuri. Pengusaha besar yang ketahuan menggelapkan pajak, kata Mu'min, tentu lebih suka jika dihukum denda daripada harus masuk penjara. Buktinya bisa dilihat: Hendra Rahardja bos Grup Harapan yang ketahuan membuat pembukuan ganda sejak 1980, ternyata lebih suka didenda empat kali lipat (sebesar Rp 17 milyar) daripada harus mendekam di penjara. Mu'min sendiri mengaku "tidak suka diusut macam Hendra itu." Tapi bagaimana jika SPT 1983 lebih kecil? Jika memang pengusaha yang bersangkutan benar sedang turun omsetnya, Cecep Rukmana, Wakil Presiden Direktur Hotel Panghegar, Bandung, berharap petugas pajak mau memahamn "Sikap mempercayai dan mau mengerti itu, mudah-mudahan, bisa menumbuhkan kesadaran wajib pajak," katanya. PPs Panghegar sendiri, untuk tahun fiskal 1983, mencapai Rp 184 juta, atau naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun fiskal 1982. "Saat ini memang omset kami terus naik, tapi mungkin hotel lain malah mengalami penurunan," ujar Cecep. Dalam keadaan terdesak, bukan tak mungkin pengusaha terdorong melakukan penghindaran pajak. Maklum, jenis pajak yang harus mereka bayar cukup banyak pula jumlahnya: tiga jenis untuk pajak pusat dan delapan jenis untuk pajak daerah. Hingga, tak heran, pengusaha macam Budi Kurniawan, pemilik Toko Bandung di Johar Baru, Semarang, yang tahun 1983 membayar bermacam pajak tadi sebesar Rp 2 juta, mengeluh panjang, "Kerja sekarang hanya cukup untuk membayar pajak dan kebutuhan makan." Benar tidaknya keluhan ini hanya anak buah Salamun yang tahu. Tapi, jika pengusaha ketahuan lalai membayar pajak, "kepadanya perlu dikenakan denda," ujar Salamun. Jika kemudian tindakan itu dinilai sudah merupakan "penyelundupan" pajak, "maka wajib pajak akan dilaporkan ke kejaksaan," tambahnya. Tak disebutkan Hendra golongan yang mana (Lihat: Laporan Utama).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini