Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Makin Berkibar

Pasaran dunia sedang baik, harga meningkat pt abad & pt tri bina marga merupakan eksportir karet terbesar di sumatera selatan. (eb)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA buah jam dinding baterai masing-masing menunjukkan waktu setempat di New York, London, Tokyo, Singapura dan Medan. Sebentar-sebentar telepon di kantor yang sejuk, seluas 5 kali 10 meter persegi di Medan itu berdering. Lalu terjadi dialog dalam bahasa Mandarin, Inggris atau juga Indonesia. Semuanya nampak bicara soal karet: komoditi yang lagi berkibar. baik karena pasaran dunia sedang baik maupun akibat Kenop 15, lebih setahun lalu. PT Abad di Medan memang dikenal sebagai eksportir karet terbesar untuk Sumatera Utara, di samping PT Tri Bina Karya, saudaranya. Sutan Kumala Pontas begitu berhenti sebagai Gubernur Sumatera Utara awal 1960-an bekerja di salah satu perusahaan.ekspor karet milik non-pribumi itu, sampai meninggal dunia beberapa tahun lalu. Kenaikan pasaran karet belakangan ini memang membuat kedua kantor itu makin sibuk. "Dalam waktu 24 jam semua harga karet di pasaran dunia harus bisa direkam," kata seorang eksportir karet terkemuka kepada wartawan TEMPO Amran Nasution di Medan. Pisang Apakah nikmat yang diterima para eksportir Itu juga dirasakan oleh para petani karet? Seorang petani karet di Kabupaten Labuhan Batu (300 km dari Medan) kini per bulan bisa menghasilkan antara Rp 60 ribu sampai Rp 160 ribu. Rata-rata mereka memiliki 2 hektar kebun karet yang sudah diremajakan (replanting). Prestasi di Labuhan Batu, daerah karet terbesar di samping Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara di Provinsi Sum-Ut, seperti dilaporkan Zakaria M. Passe dari TEMPO, adalah berkat usaha Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) yang berpusat di Aek Nabara, 308 km dari Medan. Proyek yang dibantu oleh Bank Dunia itu, menurut pimpinan P3 RSU Ir. Rachman Rangkuty, 41 tahun, beranggota 3.000 petani. Seorang eksportir yang biasa menampung karet dari para petani di Labuhan Batu itu mengaku, membayar lebih mahal untuk sekilo karet sekarang. "Dulu sebelum Kenop saya biasa membeli karet lumb (latex) seharga Rp 400/kg, setelah Kenop harga naik terus. Sekarang saya bayar Rp 750 satu kilo," katanya. P3RSU yang langsung di bawah Ditjen Perkebunan nampaknya harus lebih rajin memberi penyuluhan. Sebab sampai sekarang banyak juga petani, termasuk di Labuhan Batu senang membeli transistor, televisi, membangun runnah dan hal-hal konsumtif lain. Suasana begitu juga terasa di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan yang hasilnya sebagian besar karet rakyat. "Bimbingan pemerintah amat diperlukan, karena sebagian besar kebun rakyat itu sudah mendesak untuk diremajakan," kata kalangan eksportir di Palembang. Daerah itu terkenal dengan ekspor karet bongkah (crumb rubber). Adalah dari Palembang, Jambi dan pelabuhan Pakanbaru mengalir karet rakyat ke luar negeri. Selama tahun lalu harga karet meningkat sekitar 48% di Tokyo. Di bursa London dan New York naik antara 16 - 18% saja. Dalam tahun 1980 kalangan eksportir melihat harga karet akan naik terus. Ini sebagian disebabkan ekspor mobil yang meningkat. Juga karena disulut harga minyak yang terus melonjak. Untuk pengapalan bulan Februari 1980, harga dua pekan lalu mencapai S$sen 314,50 per kilo di Singapura. Untuk pengapalan bulan Maret naik menjadi S$sen 318 per kilo. Sintetis? "Tak perlu takut," kata beberapa kalangan eksportir karet di Jakarta. Mereka berpendapat tak semua barang bisa dibikin dari karet sintetis. Di beberapa negara Eropa ada semacam ketentuan dari pemerintah untuk menetapkan kadar campuran karet sintetis dengan karet alam, untuk menjaga keselamatan manusia, misalnya untuk produksi ban mobil. Seorang pengusaha karet besar di Medan mengatakan menjual karet sekarang "laris seperti menjual pisang goreng." Menurut pengusaha itu, selain perlu diperluas proyek seperti P3RSU, ada baiknya dibentuk "semacam kowilhan-kowilhan yang khusus mengatur bisnis komoditi ekspor." Untuk Sumatera Utara misalnya, pengusaha itu melihat perlunya dibentuk kowilhan yang khusus membina pengusaha dan petani karet, juga beberapa komoditi penting seperti kelapa sawit. Adalah kowilhan itu yang mengurus permodalan, teknis pertanian, pemasaran dan lain-lain. Barangkali yang dimaksudkan eksportir karet besar itu dengan "kowilhan" adalah semacam mini-estates -- pusat-pusat pelayanan untuk industri kecil, seperti dibentuk oleh Departemen Perindustrian. Menurut buku RAPBN 1980/1981, di sektor non minyak ekspor karet kembali menduduki anak tangga nomor dua setelah kayu. Tadinya kedudukan karet itu digeser oleh kopi. Menurut buku RAPBN 1980/1981 nilai ekspor karet antara Januari-September 1978 dengan periode yang sama selama 1979, naik dari US$497,2 juta menjadi US$727,1 juta (46,2%). Sekalipun dalam volume selama waktu itu, hanya bertambah 6,8% dari 631.800 tor. menjadi 674.800 ton. Andil Sumatera Utara selama itu adalah 290.776 ton, berarti US$328,5 juta. Kalangan eksportir optimistis angka-angka itu akan meningkat. Hanya saja, untuk Sumatera Utara, mereka menghimbau agar pelabuhan Belawan yang sering kongesti segera diperbaiki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus