LIMA buah jam dinding baterai masing-masing menunjukkan waktu
setempat di New York, London, Tokyo, Singapura dan Medan.
Sebentar-sebentar telepon di kantor yang sejuk, seluas 5 kali 10
meter persegi di Medan itu berdering. Lalu terjadi dialog dalam
bahasa Mandarin, Inggris atau juga Indonesia. Semuanya nampak
bicara soal karet: komoditi yang lagi berkibar. baik karena
pasaran dunia sedang baik maupun akibat Kenop 15, lebih setahun
lalu.
PT Abad di Medan memang dikenal sebagai eksportir karet terbesar
untuk Sumatera Utara, di samping PT Tri Bina Karya, saudaranya.
Sutan Kumala Pontas begitu berhenti sebagai Gubernur Sumatera
Utara awal 1960-an bekerja di salah satu perusahaan.ekspor karet
milik non-pribumi itu, sampai meninggal dunia beberapa tahun
lalu.
Kenaikan pasaran karet belakangan ini memang membuat kedua
kantor itu makin sibuk. "Dalam waktu 24 jam semua harga karet di
pasaran dunia harus bisa direkam," kata seorang eksportir karet
terkemuka kepada wartawan TEMPO Amran Nasution di Medan.
Pisang
Apakah nikmat yang diterima para eksportir Itu juga dirasakan
oleh para petani karet? Seorang petani karet di Kabupaten
Labuhan Batu (300 km dari Medan) kini per bulan bisa
menghasilkan antara Rp 60 ribu sampai Rp 160 ribu. Rata-rata
mereka memiliki 2 hektar kebun karet yang sudah diremajakan
(replanting). Prestasi di Labuhan Batu, daerah karet terbesar di
samping Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara di Provinsi Sum-Ut,
seperti dilaporkan Zakaria M. Passe dari TEMPO, adalah berkat
usaha Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara
(P3RSU) yang berpusat di Aek Nabara, 308 km dari Medan. Proyek
yang dibantu oleh Bank Dunia itu, menurut pimpinan P3 RSU Ir.
Rachman Rangkuty, 41 tahun, beranggota 3.000 petani.
Seorang eksportir yang biasa menampung karet dari para petani di
Labuhan Batu itu mengaku, membayar lebih mahal untuk sekilo
karet sekarang. "Dulu sebelum Kenop saya biasa membeli karet
lumb (latex) seharga Rp 400/kg, setelah Kenop harga naik terus.
Sekarang saya bayar Rp 750 satu kilo," katanya.
P3RSU yang langsung di bawah Ditjen Perkebunan nampaknya harus
lebih rajin memberi penyuluhan. Sebab sampai sekarang banyak
juga petani, termasuk di Labuhan Batu senang membeli transistor,
televisi, membangun runnah dan hal-hal konsumtif lain.
Suasana begitu juga terasa di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan
yang hasilnya sebagian besar karet rakyat. "Bimbingan pemerintah
amat diperlukan, karena sebagian besar kebun rakyat itu sudah
mendesak untuk diremajakan," kata kalangan eksportir di
Palembang. Daerah itu terkenal dengan ekspor karet bongkah
(crumb rubber). Adalah dari Palembang, Jambi dan pelabuhan
Pakanbaru mengalir karet rakyat ke luar negeri.
Selama tahun lalu harga karet meningkat sekitar 48% di Tokyo. Di
bursa London dan New York naik antara 16 - 18% saja. Dalam tahun
1980 kalangan eksportir melihat harga karet akan naik terus. Ini
sebagian disebabkan ekspor mobil yang meningkat. Juga karena
disulut harga minyak yang terus melonjak. Untuk pengapalan bulan
Februari 1980, harga dua pekan lalu mencapai S$sen 314,50 per
kilo di Singapura. Untuk pengapalan bulan Maret naik menjadi
S$sen 318 per kilo.
Sintetis? "Tak perlu takut," kata beberapa kalangan eksportir
karet di Jakarta. Mereka berpendapat tak semua barang bisa
dibikin dari karet sintetis. Di beberapa negara Eropa ada
semacam ketentuan dari pemerintah untuk menetapkan kadar
campuran karet sintetis dengan karet alam, untuk menjaga
keselamatan manusia, misalnya untuk produksi ban mobil.
Seorang pengusaha karet besar di Medan mengatakan menjual karet
sekarang "laris seperti menjual pisang goreng." Menurut
pengusaha itu, selain perlu diperluas proyek seperti P3RSU, ada
baiknya dibentuk "semacam kowilhan-kowilhan yang khusus
mengatur bisnis komoditi ekspor."
Untuk Sumatera Utara misalnya, pengusaha itu melihat perlunya
dibentuk kowilhan yang khusus membina pengusaha dan petani
karet, juga beberapa komoditi penting seperti kelapa sawit.
Adalah kowilhan itu yang mengurus permodalan, teknis pertanian,
pemasaran dan lain-lain.
Barangkali yang dimaksudkan eksportir karet besar itu dengan
"kowilhan" adalah semacam mini-estates -- pusat-pusat pelayanan
untuk industri kecil, seperti dibentuk oleh Departemen
Perindustrian. Menurut buku RAPBN 1980/1981, di sektor non
minyak ekspor karet kembali menduduki anak tangga nomor dua
setelah kayu. Tadinya kedudukan karet itu digeser oleh kopi.
Menurut buku RAPBN 1980/1981 nilai ekspor karet antara
Januari-September 1978 dengan periode yang sama selama 1979,
naik dari US$497,2 juta menjadi US$727,1 juta (46,2%). Sekalipun
dalam volume selama waktu itu, hanya bertambah 6,8% dari 631.800
tor. menjadi 674.800 ton. Andil Sumatera Utara selama itu adalah
290.776 ton, berarti US$328,5 juta.
Kalangan eksportir optimistis angka-angka itu akan meningkat.
Hanya saja, untuk Sumatera Utara, mereka menghimbau agar
pelabuhan Belawan yang sering kongesti segera diperbaiki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini