Saat ini petani apel Malang benar-benar sedang bernasib malang. Kelangsungan usaha mereka sedang di ujung tanduk. Kebun apel seperti terlihat di Kecamatan Bumiaji di Kota Batu pun kini tak lagi dirimbuni apel, dan telah berubah menjadi lahan telantar.
Nasib apes itu terjadi lantaran harga jual apel tidak naik, sementara biaya produksi terus meroket. Harga obat-obatan yang harus dipakai petani apel, misalnya. Tahun 1997, harga obat perangsang bunga seperti promalin hanya Rp 50 ribu per mililiter. Sekarang harganya melonjak tiga kali lipat, Rp 150 ribu per mililiter. Sementara itu, petani tetap mengantongi harga jual yang jalan di tempat, sekitar Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram, meski harga di pasar bisa mencapai Rp 6.000 per kilo.
Bila musim hujan seperti sekarang, petani harus merogoh saku lebih dalam untuk membeli obat-obatan lain guna menangkal berbagai hama dan penyakit yang bermunculan bersama datangnya musim hujan. "Pokoknya, sekarang hancur," ujar Heri Sukoco, petani apel, "Ongkos produksi semakin besar, tapi harga jual apel tetap rendah."
Menurut H.M. Kadir Rasyadi, Pimpinan Pusat Pe-latihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya di Kota Batu, terpuruknya nasib petani apel ini juga disebabkan oleh ketiadaan perencanaan dalam pemasaran. Orientasi petani, kata Kadir, hanya pada hasil panen yang besar tanpa menghitung kebutuhan pasar. Karena itu, tak mengherankan bila harga apel cenderung dipermainkan pasar. Apalagi pasar juga dibanjiri apel impor. Makin runyamlah nasib petani apel Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini