Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Komponen harga mobil

Perkembangan harga mobil di indonesia masih diten- tukan harga pasar. harga penjualan mengikuti per- mintaan. dalam menentukan harga sebuah mobil ter- gantung macam-macam faktor.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengusaha otomotif masih suka main tarik tambang dalam menentukan harga mobil. Maka, harga bisa melejit, dan bisa pula menukik. Berapa harga yang wajar untuk sebuah Kijang? PERILAKU pengusaha otomotif di Indonesia sering mengingatkan orang pada pedagang tradisional. Kendati dunia otomotif kini sudah memasuki era industri -- jadi bukan berdagang semata-mata -- kenyataan menunjukkan, mereka menjual produknya dalam pola yang tak terkendali. Menghadapi konsumen, misalnya, mereka lebih suka main tarik tambang dalam harga. Hal ini agaknya yang menjadi salah satu kendala utama bagi industri otomotif, untuk melaju secara stabil. Lihat saja perkembangan harga mobil dalam dua tahun terakhir ini. Dengar misalnya cerita Rachmat Syahril, dealer kendaraan Mitsubishi di Bandung. Harga truk Fuso, misalnya, tahun lalu bisa laku seharga Rp 65 juta. Sekarang ini dipasang harga Rp 50 juta masih susah dijual. Itu berarti, harga sudah dibanting sampai 24%. "Kalau mau lebih murah lagi, cari ke daerah- daerah. Persaingan antar-dealer di sana sangat ketat. Harga bisa sampai Rp 48 juta per unit," kata Rachmat. Pernyataan Rachmat ini tidak mengada-ada. Di Medan, misalnya, harga truk Mercedes Benz ukuran tujuh ton kini bisa didapat dengan harga Rp 55 juta. "Tahun lalu harganya Rp 95 juta," kata Irwan Edy, Manajer Pemasaran PT Bintang Cosmos, yang men- jadi penyalur produk-produk merek Jerman. Itu berarti, harga sudah dikorting sampai 43%. Jika melihat perkembangan harga mobil di Indonesia, mudah ditebak bahwa harga itu masih sangat ditentukan oleh hukum pasar. Harga penjualan masih sangat mudah berubah mengikuti permintaan. Terkesan, para industriawan otomotif masih lebih berjiwa spekulatif, tak ubahnya investor di pasar modal. Cari keuntungan sebesar-besarnya di musim ramai, kemudian gigit jari di musim sepi permintaan. Kini timbul pertanyaan, berapa sebenarnya keuntungan yang diambil perusahaan-perusahaan otomotif dari produk yang mereka luncurkan. Berapa pula biaya modal untuk produksi sampai pen- jualan sebuah mobil. Cara menghitungnya ternyata tidak mudah, dan sangat ruwet. "Tak sesederhana teori ekonomi. Kalau gampang, semua orang bisa menjadi pengusaha mobil," kata Ketua Gaikindo, Herman Z. Latief. Dia benar. Perusahaan mobil di Indonesia, yang dulu jumlahnya lebih dari 30, kini praktis sudah tersaring dan men- ciut hingga tak sampai 10 perusahaan. Itu pun pasar mobil lebih banyak dikangkangi lima besar: Astra Group, Indomobil Group, Krama Yudha, Star Motors, dan Honda. Kembali ke soal harga, bagaimanapun juga, tentu ada patokan- patokannya. "Berapa kemampuan jual kita setahun. Berapa harga saingan. Jadi, melihat kondisi pasar. Baru kita set-up harganya. Break even point (titik impas) itu mengambang. Jadi, kita mengikuti kondisi pasar," ujar Latief, yang juga menjabat Wakil Presiden Direktur PT Krama Yudha Tiga Berlian Motor (agen tunggal dan perakitan kendaraan Mitsubishi). Ia tidak bersedia mengungkapkannya lebih rinci. Ketika ditanya berapa biaya produksi -- misalnya untuk Colt T 120 SS, Latief menjawab, "Wah, itu rahasia dapur kami." Pendeknya, untuk menjual sebuah mobil, Krama Yudha tidak menghitung biayanya, lalu ditambahkan berapa persen keuntungan, dan dari sana mematok harga. Ternyata tidak begitu. Hingga berapa laba yang diambil per unit, juga dirahasiakan Krama Yudha secara ketat. Pihak Astra masih lebih terbuka. Edwin Soeryadjaya, Wakil Presiden Direktur PT Astra International yang membawahkan in- dustri otomotif, juga mengatakan bahwa sangat susah untuk mem- beberkan berapa biaya wajar untuk sebuah mobil. "Sangat tergantung macam-macam faktor," kata Edwin. Dia pun memaparkan, investasi yang telah ditanamkan untuk in- dustri terdiri dari macam-macam. Misalnya untuk dice (alat kempa) untuk Toyota Kijang. Investasi untuk ini saja mencapai Rp 40-50 milyar. Alat ini sudah harus diganti setelah lima tahun. Berarti, setiap tahun harus didepresiasi Rp 8-10 milyar. Atau per bulan sekitar Rp 800 juta. Bila produksi Toyota Kijang 5.000 unit per bulan, dari komponen dice saja, setiap konsumen dibebani Rp 160.000. Nah, itu baru tentang satu tahap dari proses produksi. Kemudian dalam proses pemasaran, ada juga investasi yang harus diperhitungkan. Misalnya untuk ruang pamer (show room). Pembuatan ruang pamer ini memerlukan sekitar Rp 50 juta. Harus pula diperhatikan bagaimana struktur permodalan show room itu. Bila dananya sebagian besar dari bank, ya dia harus menanggung beban yang sangat berat. Juga harus dilihat pula beban overhead cost. "Nah, pusing kan?" kata Edwin sambil tertawa. Lalu, berapa sebenarnya keuntungan yang diambil Astra? "Paling juga cuma 10% dari harga pokok. Dari harga pokok lho, bukan dari harga jual," kata Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor, Rudyanto Hardjanto, yang diwawancara secara terpisah. Dalam garis besar, Rudyanto secara gamblang menerangkan, harga satu unit mobil terdiri dari beberapa komponen. Misalnya sedan Toyota Corona yang dipasarkan Rp 52,3 juta siap jalan (on the road). "Dari harga itu, sekitar 60% untuk Pemerintah. Itu terdiri dari pajak pertambahan nilai (10%), pajak penjualan barang mewah (sekitar 30%), bea balik nama (10%), dan pajak penghasilan perusahaan. Dikurangi komponen pajak-pajak itu, harga mobil tinggal sekitar Rp 21 juta. "Bila margin pabrik hilang, maka harga produksi mobil itu tinggal Rp 21 juta - Rp 2,1 juta = Rp 18,9 juta. Jadi, inilah harga pabrik sebuah sedan Corona yang dipasar Rp 52,3 juta," tutur Rudyanto. Bagaimana dengan kendaraan niaga yang praktis tidak dikenakan bea masuk? "Perhitungannya hampir sama. Hanya saja, ia tidak dikenai pajak gede sampai 60% oleh Pemerintah. Besar komponen pajak yang diambil Pemerintah hanya sekitar 20% dari harga jual. Selanjutnya, perhitungan yang lain sama seperti tadi," Rudyanto menegaskan. Komponen-komponen harga pada Toyota Kijang pikap, misalnya. Ini diungkapkan Direktur Astra International, Tatit Palgunadi. Sebutlah harga Kijang yang Rp 16 juta. Untuk pajak, Pemerintah mengambil 20% (sekitar Rp 3,2 juta). Tinggal Rp 12,8 juta. Nah, dari situ perusahaan mengambil margin sekitar 7,5% (sekitar Rp 960.000 per unit). Angka tersebut tampaknya memang kecil. Namun, karena omset Toyota Kijang cukup besar, yakni sekitar 5.000 unit per bulan, keuntungan dari Toyota Kijang saja bisa mencapai Rp 5 milyar. Memang belum merupakan keuntungan bersih, karena masih harus dipotong biaya promosi dan pemasaran. Tapi, yang jelas Astra terus memetik keuntungan. Tidak hanya dari Kijang, tapi juga dari Daihatsu, BMW, dan berbagai merek lain yang ditangani Astra. Tak heran jika Toyota Kijang dan Daihatsu bisa lebih cepat berpacu menuju era industrialisasi kendaraan niaga. Sedangkan harga Suzuki tidak bisa diketahui patokan- patokannya. Padahal, perakitnya, Indomobil Group, adalah perusahaan otomotif kedua terbesar di Indonesia. Dengan pabriknya yang baru diresmikan di Bekasi bulan Mei berselang, perusahaan milik Liem Sioe Liong itu kelak bisa menjadi saingan terbesar bagi Astra. Dan tentu juga, akan menguasai pangsa pasar, seraya meraup laba besar. Max Wangkar, Iwan Qodar Himawan, Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus