Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mandiri yang Tak Mandiri

Bank Mandiri aktif meminjam duit dari pasar uang. Kesulitan likuiditas atau apa?

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RABU, sehari menjelang perayaan Hari Kemerdekaan. Para pemain pasar uang tiba-tiba dikejutkan permintaan pinjaman yang datang bertubi-tubi. Asalnya dari satu sumber: Bank Mandiri.

Tak aneh jika para bankir terperangah. Selama ini, Bank Mandiri tidak dikenal sebagai bank yang likuiditasnya buruk. Berdasarkan laporan keuangan akhir Maret 2000, posisi dana encer Bank Mandiri mencapai Rp 20,4 triliun atau 13 persen dari kewajiban jangka pendeknya. Untuk sebuah bank, ini tergolong posisi yang aman.

Tapi mengapa Bank Mandiri mendadak seperti raksasa yang kehausan dana? Belum sempat terjawab tanda tanya itu, tiba-tiba sebuah deal terjadi. Bank Mandiri menggaet pinjaman US$ 193 juta atau sekitar Rp 1,6 triliun dari dua bank dunia, Deutsche Bank dan Standard Chartered Bank. Tak seperti lazimnya transaksi di pasar uang, pinjaman ini harus dibeking dengan jaminan obligasi pemerintah melalui fasilitas repo alias repurchasing agreement.

Gampangnya, Bank Mandiri seperti menggadaikan obligasi pemerintah yang dimilikinya untuk menjala dana talangan jangka pandek. Menurut sumber TEMPO di pasar uang, jangka waktu pembelian kembali obligasi itu ditetapkan tiga bulan untuk Deutsche Bank dan tiga serta enam bulan untuk Standard Chartered Bank. Yang menarik, jual-beli ini bisa berlangsung setelah Bank Mandiri memberikan diskon ''yang amat besar".

Seolah-olah tak cukup dengan dana talangan dari bank-bank dunia itu, Bank Mandiri kabarnya juga menerima pinjaman raksasa dari Bank Panin. Berapa jumlahnya? Ada yang bilang Rp 2 triliun, ada juga yang yakin jumlahnya ''gede banget tapi tak sedahsyat itu."

Pinjaman dari Bank Panin ini memang belum bisa dikonfirmasikan. Seorang pejabat Bank Panin bahkan membantah telah menjalin hubungan utang-piutang dengan Bank Mandiri. Tapi spekulasi sudah kadung merebak. Kabar angin dan bumbu-bumbunya sudah telanjur gentayangan tanpa bisa diatur.

Ada yang menyebut, Bank Mandiri kekeringan duit gara-gara sejumlah pejabat tinggi menarik depositonya dari Bank Mandiri. Ada pula yang mengatakan, ada pinjaman besar yang jatuh tempo. Semua itu menyebabkan bank terbesar di Indonesia ini mesti pontang-panting mencari pinjaman.

Menurut seorang bankir, kesulitan likuiditas Mandiri sudah bermula pada akhir tahun lalu. Ketika itu, Menteri Keuangan melarang asuransi dan dana pensiun menempatkan lebih dari 10 persen modalnya ke satu bank. Beleid ini menjadi petaka bagi Mandiri. Soalnya, Bank Mandiri merupakan gabungan dari empat bank pemerintah: Bank Bumi Daya, Bank Exim, Bank Dagang Negara, dan Bapindo.

Di bank-bank itu, terbenam dana simpanan milik beberapa asuransi dan dana pensiun. Jika ditotal, jumlah dana yang menyatu di Mandiri melebihi ketentuan Menteri Keuangan. Tak ada pilihan lain, ketimbang kena sanksi dari Menteri Keuangan, dana pensiun dan asuransi ramai-ramai mengurangi simpanannya dari Bank Mandiri.

Gelombang pencairan ini tampak jelas dari perubahan pos-pos kewajiban Bank Mandiri selama periode itu. Awal Agustus 1999, deposito rupiah mencapai Rp 108 triliun, tapi empat bulan kemudian, pada akhir Desember, merosot hingga Rp 96 triliun. Bersamaan dengan itu, pinjaman interbank melonjak dari Rp 2,5 triliun menjadi Rp 13 triliun. Artinya, Bank Mandiri membayar pencairan deposito dari pasar uang. ''Masa-masa itu, Bank Mandiri benar-benar kekeringan duit," kata seorang bankir.

Pendarahan di Bank Mandiri baru berhenti setelah pemerintah menginfusnya dengan tambahan modal Rp 175 triliun. Sebagian besar dari injeksi kapital ini, sejumlah Rp 164 triliun, ''dibelikan" obligasi pemerintah. Surat utang inilah yang kemudian digadaikan ke Bank Indonesia (BI) melalui fasilitas repo. ''Ada yang jangkanya tiga bulan, ada yang enam bulan," kata pejabat di sebuah bank asing di Jakarta.

Kalaupun sekarang Mandiri kejangkitan penyakit yang sama, itu karena fasilitas reponya sudah jatuh tempo. Kemungkinan besar, kata seorang bankir asing, ''BI tak memperpanjang (roll over) atau Mandiri memang sengaja mengalihkannya ke pasar uang." Dia menambahkan, pada prinsipnya, menggadaikan obligasi ke pasar uang itu bukan hal yang tabu.

Persoalannya: mengapa transaksi repo begitu besar? Rp 1,6 triliun, katanya, ''Jelas bukan jumlah yang sedikit." Tak aneh, pasar uang menyambut jurus Bank Mandiri ini dengan sangat hati-hati. Apalagi permintaan pinjaman dari Mandiri bukan cuma kepada satu-dua bank, tapi ke beberapa bank sekaligus. ''Ini menimbulkan tanda tanya," kata sumber TEMPO.

Juru bicara Bank Mandiri, Soeswidjiono, menolak anggapan banknya mengalami kesulitan likuiditas. Menurut dia, hal yang lumrah bila sebuah bank meminjam ke bank lain. ''Mengapa yang lumrah begitu saja diributkan?" Soeswi juga menolak menjawab berapa sebenarnya obligasi rekapitalisasi yang sudah dilego oleh Bank Mandiri. ''Tanya saja kepada yang mengungkapkannya," katanya. Namun, kalangan pasar uang mengonfirmasikan, repo ke dua bank asing itu memang mencapai Rp 1,6 triliun.

Dengan repo ini, kesulitan Mandiri memang teratasi—dalam jangka pendek. Tapi, tiga atau enam bulan mendatang, ketika reponya jatuh tempo, bank terbesar Indonesia itu akan kembali kena ''demam" likuiditas—kecuali jika pelan-pelan Bank Mandiri terus memupuk dana pihak ketiga, sehingga bisa dipakai untuk menutup reponya secara perlahan-lahan.

Celakanya, kebijakan BI sering menyulitkan bank mendongkrak simpanan nasabah. Contohnya, dalam dua bulan terakhir, batas maksimal bunga deposito yang dijamin pemerintah selalu di bawah bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Saat ini, misalnya, bunga SBI mencapai 13,56 persen, tapi maksimum bunga deposito cuma 13,02 persen. Akibatnya, banyak nasabah besar, terutama yang berasal dari institusi keuangan, memindahkan dananya ke SBI. ''Masa, kita disuruh bersaing dengan BI yang bisa mencetak duit?" katanya.

Bankir tadi juga menyoroti merger Bank Mandiri yang kelihatannya dipaksakan. Padahal, sistem operasi dan budaya kerja di tiap-tiap bank asal sangat berbeda. ''Menyatukan sistem komputer jelas bukan soal sehari-dua hari," katanya. Dia mendengar banyak nasabah Bank Mandiri yang lari gara-gara transfer duitnya dari bank asal Mandiri ke bank asal yang lain membutuhkan waktu sampai tiga hari. Ini juga merepotkan Bank Mandiri.

Menurut bankir tadi, kasus Bank Mandiri dengan jelas menunjukkan betapa kebijakan pemerintah dan BI compang-camping. ''Di sini diluruskan, di tempat lain malah bengkok," katanya. Beleid batas maksimum penyimpanan asuransi dan dana pensiun, misalnya, memang oke demi mengurangi risiko perusahaan yang mestinya hati-hati. Tapi kebijakan itu belum tentu menguntungkan bagi bank-bank bisa merger.

Untung saja pemerintah cepat tanggap dengan melonggarkan batas waktu penyesuaian untuk Bank Mandiri. Jika tidak, bank tersebut bisa mati berdiri. Ibaratnya, Bank Mandiri seperti korban ibu asuh yang tak tahu bagaimana menangani anak asuhnya. Akibatnya, anak asuhnya terus kerepotan mengurus dirinya sendiri.

M. Taufiqurohman, Levi Silalahi, Tomi Lebang, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus