SIDANG tahunan MPR sudah usai. Dan sebagaimana halnya tiap helat besar, ada piring yang harus dicuci, tenda yang mesti diturunkan, dan tagihan yang wajib dibayar. Tapi, kali ini ada yang tidak lazim. Sidang MPR yang menelan biaya Rp 25 miliar ini meninggalkan "tagihan" minimum Rp 80 triliun kepada para konglomerat. Tak percaya? Berbekal ketetapan MPR—kekuatan hukumnya hanya setingkat di bawah UUD—para wakil rakyat itu meminta agar pemerintah meninjau ulang perjanjian penyelesaian utang yang telah ditandatangani antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan konglomerat
Seperti diketahui, DPR telah mengharuskan agar kesepakatan itu—disebut MSAA, singkatan dari Master of Settlement and Acquisition Agreement—ditinjau kembali. Ini berarti secara politis DPR telah memberi dukungan kepada Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie—dalam menghadapi konglomerat—tak lama sebelum ia mengundurkan diri. Kini, dengan tap MPR, dukungan itu berlipat-ganda lebih kuat, sehingga pihak BPPN, yang terkesan lemah dalam bernegosiasi dengan konglomerat, jadi lebih berotot. Betapa tidak: 700 wakil rakyat berdiri di belakangnya dan berarti 200 juta rakyat Indonesia. Nah, apa lagi?
Para konglomerat selihai Soedono Salim, Bob Hasan, Sjamsul Nursalim, dan Kaharudin Ongko sekarang tak bisa lagi seenaknya menghindar dari kewajiban melunasi utang. Sementara sebelumnya mereka mengandalkan pengacara dan trouble shooter—keduanya bisa dibeli—untuk berkelit dari urusan membayar utang, sekarang "kekebalan" itu lumer. Sementara dulu mereka berhasil memecundangi pemerintah untuk menandatangani MSAA—lewat penyerahan aset dan sejumlah uang tunai—kini nilai aset dan dana tunai itu harus persis sama dengan nilai utangnya. Maksudnya?
Setelah dikaji oleh Kwik Kian Gie, ternyata perjanjian MSAA berpotensi merugikan pemerintah. Sebabnya ada pada auditor yang disewa BPPN. Auditor itu keliru menilai aset konglomerat. Soalnya, nilai aset yang dijaminkan oleh konglomerat ternyata lebih kecil ketimbang jumlah utangnya. Lebih buruk lagi, aset-aset itu bermasalah. Misalnya, ada aset yang terbukti bukan milik si debitor, seperti HPH alias hak pengusahaan hutan. Auditor tidak memahami bahwa HPH adalah hak mengelola, dan bukan memiliki hutan. "Kalau izin mengelolanya dicabut," kata Kepala Biro Hukum BPPN, Pandu Djajanto, "kan HPH itu sudah tak ada nilainya."
Ada lagi saham yang secara yuridis formal milik debitor, tapi ternyata di kemudian hari kepunyaan orang lain. Dan orang lain itu bisa menunjukkan bukti-buktinya. Selain itu ada jurus menutup-nutupi aset atau tak mau menyerahkan semua aset yang dimiliki. Malangnya, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan memberi sanksi, sekadar menagih sisa utang karena nilai jaminan kurang saja tidak bisa. Sebab, dalam perjanjian tersebut ada pasal release and discharge. Alhasil, bak Faust yang melakukan perjanjian dengan setan, pemerintah pada akhirnya hanya menuai kerugian.
Jumlahnya? Menurut taksiran Kwik Kian Gie, dari Rp 112 triliun duit BLBI yang disedot para debitor kakap, sebesar Rp 80 triliun tak akan tertagih bila pemerintah tetap melaksanakan MSAA tanpa perubahan. Jadi, wajarlah jika banyak pihak menyambut tap MPR yang merekomendasikan agar MSAA ditinjau ulang. Apalagi perjanjian itu cacat hukum karena melanggar tiga aturan perundang-undangan: Undang-Undang Perbankan tentang Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), Undang-Undang Perseroan Terbatas tentang Kewajiban Pemegang Saham Sampai ke Harta Pribadi, dan KUH Perdata tentang Perikatan Utang Seseorang terhadap Debitor.
Kendati demikian, ahli hukum Pradjoto berpendapat, perubahan MSAA harus dimulai lewat perundingan dengan debitor. Alasannya, ada juga aset debitor yang nilainya turun gara-gara gejolak nilai tukar dolar terhadap rupiah. Untuk debitor macam itu, Pandu Djajanto menyarankan agar mereka menandatangani lagi kesepakatan dan menyerahkan daftar aset dan kebenaran nilai aset tersebut. Selanjutnya, mereka masih harus memberi jaminan pribadi. Namun, untuk debitor yang jelas-jelas beritikad jelek, Pradjoto menganjurkan agar BPPN bersikap tegas. Kalau perlu, jangan minta pembayaran berupa aset, melainkan duit tunai. "Bilang saja pemerintah enggak doyan gedung, doyannya duit," cetusnya.
Dalam pandangan Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Syafrudin Temenggung, perjanjian MSAA yang baru diharapkan sudah bisa diteken. Pasalnya, tahun 2001 dianggap tahun kritis. Saat itu bunga obligasi senilai Rp 65 triliun-Rp 70 triliun—dari obligasi pemerintah sebesar Rp 640 triliun—akan jatuh tempo. Tak bisa tidak, pemerintah memerlukan uang tunai, termasuk dari pembayaran utang para debitor. Karena itu, "Perbaikan kesepakatan itu harus cepat dikerjakan oleh pemerintah dan DPR," ujar Syafrudin. Paling tidak, "Untuk mengurangi beban pemerintah di tahun anggaran mendatang."
Nugroho Dewanto, Dwi Arjanto, Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini