Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Daerah

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung

DARI Kalimantan Timur berakhir di Bandung. Begitulah ujung dari aksi penculikan yang dilakukan Edi Suwandi terhadap Ari, anak balita berumur 4 tahun. Edi dibekuk polisi, Senin pekan lalu, di Bandung.

Edi, pensiunan pemandu bandar di PT Perkebunan IV Kal-Tim, menjelaskan kepada Rinny Srihartini dari TEMPO bahwa penculikan itu semata-mata didasari rasa kesal terhadap H. Thamrin, kakek korban. Menurut Edi, pada 1997, Thamrin meminjam uang kepadanya sebesar Rp 20 juta untuk modal usaha jual-beli kayu, dengan jaminan rumah yang ditinggalinya.

Setelah utang jatuh tempo, Thamrin tidak kunjung membayar utang tersebut. Adapun rumah yang diagunkan ternyata juga bukan milik Thamrin, melainkan milik anaknya. Padahal, Edi sudah pensiun dan harus pindah dari rumah dinasnya di Perumahan Telindung, Balikpapan Utara. Karena kesal, pertengahan Juli lalu, terbit niat jahatnya menculik Ari, cucu Thamrin itu.

Menurut Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung, Superintenden Alex Bambang Riatmojo, meskipun latar belakangnya utang, Edi tetap akan kena sanksi pidana penculikan.

Yogyakarta

INI lanjutan kasus pembunuhan wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, yang terjadi pada 1996, jilid kesekian. Senin pekan lalu, Komisi A DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan public hearing dengan menghadirkan Kapolda Brigadir Jenderal Dadang Sutrisna, Dandenpom IV/2 Yogyakarta Letkol CPM Purnomo, Bupati Bantul Idham Samawi, Lembaga Pembela Hukum (pembela Iwik), Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, TPF Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, dan keluarga Udin.

Dadang mengatakan, Kepolisian Daerah Yogyakarta masih tetap meneruskan pemeriksaan dan mengonfrontir para saksi. Pihaknya juga sedang mengupayakan pemeriksaan dengan lie detector dan memeriksa ulang 22 orang saksi. Saat ini, Dadang merasa lebih mantap karena tidak ada kendala politis dalam menyelesaikan kasus itu. "Satu-satunya kendala adalah kendala profesional karena minimnya barang bukti," kata Dadang.

Pada hari yang sama, Dwi Sumaji alias Iwik mengadukan enam orang saksi yang pernah memberikan kesaksian palsu di Pengadilan Negeri Bantul pada 1997. Iwik adalah orang yang pernah disangka membunuh Udin. Keenam orang itu adalah Supriwiningsih (Retno), Windarmiyati, Nyonya Nur Sulaiman, Diharjo Purboko, Nyonya Ponikem, dan Rahayu Sri Kuncoro alias Kuncung.

Menurut Iwik, dirinya baru bisa melaporkan kesaksian palsu itu karena memang baru mempunyai keberanian. "Sekarang keadaannya sudah berubah," katanya kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.

Nganjuk

EUFORIA demokrasi merambah ke desa-desa. Kepala desa yang dulu dikenal sebagai bawahan yang patuh kini mulai memberontak kepada atasannya. Senin pekan lalu, ratusan kepala dan perangkat desa dari lima kabupaten se-eks-Karesidenan Kediri berunjuk rasa di alun-alun Kabupaten Nganjuk. Mereka mengecam Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemerintahan Desa yang baru disahkan oleh DPRD di lima kabupaten, yaitu Nganjuk, Tulungagung, Kediri, Trenggalek, dan Blitar.

Perda yang kontroversial itu antara lain mengubah masa jabatan kepala desa menjadi 10 tahun dari semula 8 tahun. Sedangkan di Trenggalek dan Nganjuk, DPRD setempat membuat perda yang membatasi jabatan kepala desa hanya 5 tahun untuk sekali periode dan jabatan mereka dibatasi untuk dua kali periode. "Ini tidak adil. Sebab, jabatan kepala desa bukan jabatan politik," kata Slamet Widodo, Kepala Desa Wonorejo, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri, kepada Zed Abidien dari TEMPO. Di samping itu, jabatan kepala desa itu diperoleh dari pilihan langsung rakyat. Untuk mendapatkan jabatan itu, sering mereka juga mengeluarkan uang yang tak sedikit. Masa lima tahun terlalu pendek bagi mereka.

Selain itu, para kepala desa di Kediri menolak rencana perubahan menjadi lurah—aparat pemerintah daerah (pemda). "Ini jelas akan memotong wewenang kami. Sebab, pemda yang akan berkuasa," ujar Sutrisno, Kepala Desa Campurejo, Kecamatan Mojoroto, Kediri.

Tapi DPRD tak mau kalah. Mereka bahkan siap melayani aksi para kepala desa itu. "Kalau mereka mau mengerahkan massa, kami juga bisa," ujar Bambang Tjipto Adi, anggota F-PDI DPRD Nganjuk.

Bangli

JULI dan Agustus menjadi bulan kelabu bagi masyarakat Bangli di Bali bagian timur. Enam kasus amuk massa berturut-turut menimpa daerah dengan penghasilan per kapita paling rendah di Pulau Dewata itu. Puluhan rumah, lumbung padi, dan rumah ibadah hancur. Kerugian ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Puluhan orang yang diduga sebagai pelaku perusakan terpaksa ditahan oleh kepolisian resor setempat.

Amuk massa itu semuanya berlatar belakang kasus adat. Dalam kasus terakhir yang terjadi di Desa Jehem, Bangli, awal pekan lalu, misalnya, kalangan keluarga puri (bangsawan Bali) diserang karena menolak mematuhi awig-awig (peraturan adat). Keluarga puri dituduh melakukan sertifikasi tanah milik desa adat menjadi tanah milik mereka. Keinginan keluarga puri untuk memisahkan diri dari desa adat—salah satunya dengan membuat setra (kuburan) tersendiri—makin meruncingkan masalah. Kendati sudah berlangsung lama, konflik baru meledak pekan lalu setelah terjadi perkelahian antara warga puri dan warga desa adat.

Sampai akhir pekan lalu, ketegangan masih terasa di desa-desa adat yang ditimpa pertikaian horizontal itu. Bupati Bangli, Nengah Arnawa, menyatakan bahwa upaya perdamaian antarpihak yang bertikai jangan sampai mengabaikan penegakan hukum. "Artinya, mereka yang salah harus ditindak sesuai dengan prosedur," katanya kepada Rofiqi Hasan dari TEMPO.

Bima

KONFLIK horizontal merembet sampai ke timur. Minggu pagi pekan lalu, warga di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima, Nusatenggara Barat, bertikai. Dua orang warga Desa Parangina, Kecamatan Sape, tewas kena tebasan parang dan hunusan tombak. Tiga lainnya mengalami luka berat.

Menurut Kepala Kepolisian Resor Bima, Superintenden Drs. Anwar, melalui interlokal, Rabu pekan lalu, bentrokan dipicu sengketa batas wilayah untuk menguatkan tanah milik. Karena itu, ia menolak pernyataan bahwa kejadian tersebut adalah bentrokan antarkampung. "'Kasus itu kriminal murni," ujarnya kepada koresponden TEMPO Moehammad S. Khafid.

Namun, Anwar belum menerima laporan detail mengenai tanah yang disengketakan tersebut. Ia hanya menegaskan akan memproses perkara ini setelah mereka yang dirawat di Puskesmas Kecamatan Sape dan Wawo sembuh. "Memang jumlah penyerang banyak, sehingga pasti ditemukan hambatan dalam mengusutnya," ujarnya.

Untuk berjaga-jaga, Polsek Sape dan Polsek Wawo telah menempatkan anggotanya di wilayah yang panas itu.

Makassar

SUDAH ngantuk tertimpa tangki. Begitulah mungkin pepatah pelesetan yang pas untuk menggambarkan kecelakaan yang menimpa dua buruh pelabuhan: Sabri, 22 tahun, dan Simbung, 30 tahun. Mereka sedianya hendak beristirahat tiduran di bawah tangki beton penampungan tetes gula milik PT Makassar Marine di kawasan pelabuhan Makassar. Siapa sangka bangunan dari beton cor itu tiba-tiba ambruk dan menewaskan kedua buruh tersebut, Minggu sore pekan lalu.

Kecelakaan itu juga mengakibatkan sekitar 1.500 ton tetes gula merembes sampai dua kilometer dari kawasan pelabuhan, tak jauh dari Pantai Losari yang terkenal itu. Selain memacetkan lalu-lintas, rembesan itu mengganggu pernapasan karena menimbulkan bau menyengat. Hingga Senin pekan lalu, warga dan petugas pelabuhan masih melakukan pembersihan.

Ambruknya tangki itu tergolong mengagetkan, mengingat baru enam bulan dibangun. "Tidak ada tanda-tanda kalau tangki itu akan jebol," ujar Ramli, buruh yang ditemui di dekat reruntuhan, kepada Syarief Amir dari TEMPO.

Saat kejadian, tangki berkapasitas 3.000 ton tersebut berisi penuh. Pekan depan, rencananya, PT Makassar Marine akan mengekspor bahan baku kecap dan makanan ternak tersebut ke Korea Selatan. Aparat kepolisian setempat masih melakukan penelitian terhadap kecelakaan tersebut.

Wicaksono, laporan koresponden daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus