Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kali tak ada lagi yang mencari sosialisme. Di antara bursa, pasar tua, kilang, serta iklan televisi. Ada yang mengharukan, ada yang merisaukan, ketika sejumlah pemuda berbicara tentang masa depan sosialisme dan saya memandang ke semacam ruang kosong di mana singgah sebuah nostalgia: gema lagu Internasional, barisan buruh yang mengibarkan bendera dan menuntut hak, seperti dalam film Il Postino, orang-orang yang berkorban dalam Komune Paris. Kini semua itu tak kita dapatkan dalam berita sehari-hari. Heroisme punah. Solidaritas berkutat pada perkara yang lebih purba, misalnya ras, misalnya puak.
Ada yang ganjil rasanya. Dulu dilukiskan Marx bahwa sosialisme adalah masa depan yang tak terelakkan. Adakah masa depan kini sebuah masa lampau?
Saya tak tahu. Marx meninggal di depan mejanya. Ia pergi bukan dari belakang barikade pertempuran kaum proletar di jalan-jalan. Ia pergi di antara unggunan ide-ide. Seakan-akan kematian itu mencerminkan paradoks kehidupan pemikirannya. Revolusi telah berlangsung, pertempuran terjadi di sana-sini, untuk sebuah masyarakat sosialis. Adakalanya menang. Tapi hanya sampai suatu masa. Semenjak akhir tahun 1980-an, keras atau berangsung-angsur orang ramai berseru: dia mati, ide itu mati. Unggunan ide di atas meja itu memang mampu membimbing perjuangan, tapi pada suatu hari ia berhenti. Apa yang terjadi? Apa setelah itu, kini, di tahun 2000? Benarkah pikiran si jenggot itu tak berbicara lagi?
Marx menulis Das Kapital, proyek utama dalam hidupnya. Tapi buku itu praktis tak selesai. Atau nyaris selesai. Sebagaimana diperikan oleh Marshal Berman dalam Adventures in Marxism, jika kita baca jilid pertama, bab 33 menjanjikan sebuah penutup. Di bagian ini digambarkan kembali skenario tentang bagaimana modal mengembangkan kontradiksi dalam dirinya sendiri, sampai akhirnya kelas borjuis runtuh oleh sebuah revolusi kaum buruh. Para pembaca mungkin merasa bahwa akhir buku sudah dekat. Tapi ternyata tidak. Dalam bab 34, Marx berbicara tentang bagaimana kapitalisme mencangkokkan dirinya ke tanah perawan, dan marak di koloni-koloni nun jauh dari metropolis kaum borjuis. Kapital belum mati. Ia masih sibuk menghimpun lebih banyak kapital lagi.
Bagaimana Das Kapital akan bisa berakhir kalau kesaktian modal belum berakhir? Itu pertanyaan Berman, yang menganggap bahwa Marx membuat pikiran dan karyanya "open-ended", selesai dengan ujung yang terbuka. Dengan kata lain, pikiran itu "bersitahan dan panjang umur, seperti sistem kapitalisme itu sendiri". Itu sebabnya, kata Berman, "Kita masih berada hanya dalam awal penjelajahan ke kedalaman pemikiran Marx: kenapa di hari ini ia dengan suara yang lebih segar dari sebelumnya ."
Saya kira tak sedikit orang yang akan mengangkat bahu membaca kalimat itu. Bagaimana Marx masih segar, sementara ini kali tak ada lagi yang mencari sosialismekecuali mereka yang marah dan jemu, tanpa tahu persis kenapa marah dan jemu? Tetapi Berman punya daya tilik yang tersendiri, yang menyebabkan keyakinannya kepada pemikiran Marx tak bisa dengan mudah ditertawakan.
Di dasarnya adalah humanismekepercayaan pada manusia. Bagi Marx, kehidupan modern memang telah memerkosa dan mencincang diri manusia, tapi kehidupan yang kejam itu juga, secara dialektik, melahirkan "manusia yang kaya dalam dirinya", der reiche Mensch. Manusia yang seperti itu adalah yang punya "realisasi diri sebagai kebutuhan dan kemestian batinnya". Apa yang mencolok dalam esai-esai Marx dari tahun 1844, kata Berman, adalah "perasaannya terhadap individu". Dalam esai-esai itu Marx bicara tentang Bildung yang berhadapan dengan kerja yang mengasingkan jiwa.
Kata Bildung diterjemahkan oleh Berman sebagai "subyektivitas", "pengembangan diri", dan "menjadi sebagaimana dirimu sendiri". Dengan ringkas, sesuatu yang punya kemerdekaan buat tumbuh dan menjadi. Kapitalisme meringkus itu dan membuat manusia "merasa dirinya hanya hadir di luar kerjanya, dan kerjanya berada di luar dirinya". Proses alienasi itulah yang menyebabkan "kerja dan si buruh kehilangan martabat".
Tapi kapitalisme tak mati-mati . Adakah itu berarti ikhtiar pembebasan juga harus tak mati-mati? Berman tampaknya bersikap seperti itu: Kita akan punya banyak sekali hal yang harus dikerjakan di masa depan yang panjang, ia bilang. Ia tak bicara dengan strategi apa. Ia hanya bicara tentang "humanisme Marxis", sesuatu yang tampak justru dalam "Revolusi Beledu" di Kota Praha ketika orang-orang menjatuhkan sebuah kekuasaan atas nama Marx sendiri: Marxisme-Leninisme.
Saya ingat ada sebuah kafe yang nyaman dengan tembok kusam di sebuah sudut Lapangan Kota Tua Praha. Di sana berderet gambar palu arit, Marx, Lenin, Stalin, Mao. Masa lalu revolusi kini sebuah dekorasi, yang atraktif, seperti ragam hias art nouveau dari awal abad ke-20 di marmer gedung pertunjukan kotapraja. Haruskah kita masygul? Mungkin tidak. Nostalgia tak pernah berasal dari kebencian. Ia menggerakkan kembali sesuatu yang hangat, sayu, berartiseperti cinta yang lama. Meskipun ini kali tak, atau belum, ada lagi yang mencari jenis cinta yang lain lagi, yang bernama sosialisme.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo