Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima edisi Shonen Mags di rak sebuah toko buku berpindah ke tangan seorang pria kerempeng berkacamata. Si pembeli girang bukan kepalang. Semua edisi ma-jalah bulanan manga terbitan Jepang yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia itu kini lengkap ia miliki. Beberapa di antaranya dengan harga diskon pula.
Pembeli majalah itu Dennis Adhiswara, aktor dalam film Jomblo yang kini menjadi serial di sebuah televisi swasta. Sebagai penggila manga, ia meng-anggap Shonen Mags sebagai teman di berbagai kesempatan. Tatkala beristirahat di lokasi syuting, ketika dosen membuat ngantuk di ruang kuliah. ”Juga pada pagi hari saat di kamar mandi,” ujarnya sambil tergelak.
Untuk memuaskan hobinya, Dennis memburu majalah komik sejak duduk di bangku SMA pada 1998. Ia tak cuma rajin menjelajahi toko buku seantero Jakarta, tapi juga blasak-blusuk sampai ke pasar loak di Senen, Jakarta Pusat. ”Dulu saya malah lebih sering beli yang bekas,” katanya.
Manga bekas atau baru baginya memang bukan masalah. Yang penting, katanya, ”Saya nggak mau ketinggalan episode terbaru dari setiap cerita.” Masih banyak ratusan bahkan ribuan Dennis yang lain. Merekalah yang membuat pasar majalah komik tak pernah kehilangan darah.
Manga dan animasi (anime) kini menjadi bagian dari paket budaya populer Jepang yang telah mengguncang dunia. Serbuan budaya pop lainnya dari Negeri Matahari Terbit itu adalah J-Pop (musik pop Jepang), J-Rock (musik rock Jepang), video game, sampai trend busana ala Harajuku.
Indonesia tak luput dari serbuan itu. Tengoklah sebuah kedai di satu pusat belanja di Jakarta Selatan. Kedai itu tak cuma menyajikan makanan Jepang, tapi para pramusajinya juga mengenakan wig warna-warni ala anak muda di Harajuku atau Shibuya, Jepang. Dan pada Maret lalu begitu banyak acara bernuansa budaya pop Jepang digelar di berbagai tempat di Jakarta.
Majalah komik seperti yang dibeli Dennis tidak sama dengan tankobon (komik) yang sudah lebih dulu menyerbu pasar buku Indonesia. Di setiap edisi, majalah manga menyajikan berbagai cerita bersambung, biasanya hingga sembilan judul. Komik Jepang yang sekarang banyak berjajar di toko buku sebelumnya terbit di majalah seperti itu.
Berbeda dengan di Jepang, di Indonesia majalah komik terbit belakangan, sedangkan penerbitan komiknya sendiri telah muncul sejak 1991. Ketika itu Elex Media Komputindo menerbitkan Candy-Candy, yang kemudian disusul dengan Kungfu Boy dan Dora Emon. Semua penerbitan itu mereguk sukses.
Ratna Sari, Kepala Seksi Komik dan Majalah Elex, tak ingat lagi berapa kali komik itu mengalami cetak ulang. Pendeknya, laku keras. ”Mungkin momennya tepat. Komik lokal sedang tidur dan masyarakat butuh hiburan,” katanya. Sejak itulah tankobon seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari anak-anak dan remaja Indonesia. Sampai sekarang Elex mengeluarkan 60-an judul komik tiap bulan.
Setelah bertahun-tahun menguasai pasar komik, barulah Elex melirik majalah komik. Pertimbangannya, ya, banyaknya orang seperti Dennis itu. Penggemar komik atau manga pada dekade 2000, menurut Ratna, tergolong progresif. Mereka lebih cepat menyerap manga. ”Beberapa dari mereka ada yang mengikuti majalah komik terbaru langsung dari Jepang,” ujarnya.
Daripada penggemarnya banyak yang lari langsung ke sumbernya, akhirnya Elex berinisiatif menjemput bola. Mereka mencari majalah komik yang tergolong trend setter di negeri asal manga. Pada 2004 terbitlah majalah komik Nakayoshi.
Majalah bulanan yang diterbitkan Kodansha, sebuah penerbit terkemuka di Jepang, ini membidik pembaca manga dari kalangan perempuan. ”Isinya komik untuk anak perempuan mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama,” kata Astuti Pralestari, salah satu editor Nakayoshi edisi Indonesia.
Setelah Nakayoshi, majalah komik terbitan Elex terus bermunculan. Terbit pula kemudian Shonen Mags dan Shonen Star (untuk anak-anak dan remaja laki-laki). Lalu menyusul Hanalala. ”Segmennya lebih dewasa,” kata Nina Aminingsih, editor majalah tersebut.
Elex sebenarnya juga pernah merilis majalah komik dari Korea bernama Champ. Namun majalah itu tak ber-edar lagi karena merugi. ”Manajemen terpaksa menghentikan penerbitannya,” kata Sari.
Selain Elex, masih dari kelompok Gramedia, ada M&C yang juga terjun ke penerbitan komik dan majalah komik. Mereka merilis Cherry, yang membidik segmen remaja putri dengan mengambil cerita dari beberapa majalah komik yang terbit di Jepang, yakni Ciao, Sho-Comi, dan Flower.
Bersaing dengan saudara sendiri? Tidak juga. Masing-masing mereka sudah punya pasar sendiri. ”Mungkin Elex lebih dikenal dengan Shonen (komik laki-laki), kami main di pasar komik perempuan,” kata Anyarani Meira, redaktur Cherry. Pasar untuk produk manga memang masih terbuka luas.
Sebelum Elex dan M&C menerbitkan majalah komik, Megindo dari Bandung juga telah menerbitkan Animonster. Produk satu ini bukan majalah komik. Animonster merupakan majalah bulanan yang membahas dan menyajikan berita terbaru tentang kebudayaan Jepang, termasuk manga.
Mereka khusus membahas animasi dan komik Jepang. Hal itu dilakukan karena yakin adanya keterkaitan yang kuat antara video game dan animasi Jepang (anime) dan komik Jepang (manga). Sejak terbit delapan tahun lalu, tiras Animonster telah menembus angka 30 ribu eksemplar. Kendati tak tahu angka persisnya, Pemimpin Redaksi Animonster Jonathan Lesmana yakin, penggila manga dan animasi yang menjadi pembaca potensial majalahnya sangat banyak.
Di Indonesia, majalah komik sebenarnya bukan barang baru. Saat komik merajai pasar buku cerita di Indonesia pada dekade 1970, pernah muncul beberapa media yang serupa dengan majalah komik. Salah satu pionirnya, menurut buku Komik Indonesia karangan Marcel Bonneff, adalah Eres, yang terbit pada 1971. Sekitar 70 persen isi majalah ini memuat komik. Tapi Eres hilang ditelan waktu.
Zaman berganti, komik kini kembali naik daun. Namun dominasi pengarang nasional sudah pupus dan digantikan komik terjemahan, terutama yang berasal dari Jepang. Bacaan itu menjadi hiburan semua orang dari usia anak-anak sampai dewasa. Fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di belahan dunia yang lain, termasuk Amerika Serikat, yang sebenarnya telah memiliki tradisi membaca komik yang kukuh.
Industri manga di Negeri Sakura memang amat dahsyat. Dalam bukunya, Manga! Manga!: The World of Japanese Comics, Frederik L. Schodt menulis betapa kebutuhan kertas untuk penerbitan komik di Jepang jauh melebihi keperluan kertas toilet.
Hikmat Darmawan, pengamat komik, menuturkan ada hal lain yang membuat manga lekas diterima. ”Manga punya produk pendampingnya yakni anime,” katanya. Di luar semua itu, format komik Jepang memiliki kekuatan yang luar biasa. ”Jalan cerita yang sederhana sangat diminati anak-anak muda,” ujar Hikmat.
Kesederhanaan itulah dirasakan Leony, penyanyi cilik yang kini tenar sebagai pemain sinetron dan pembawa acara. Kendati menyukai komik jenis lain dari Amerika atau Eropa, baginya manga merupakan bacaan yang paling gampang dicerna. ”Selain itu, gambarnya juga sederhana,” katanya.
Tidak terlalu mengagetkan jika penggemar manga terus bertambah. Ucapan Dennis ini mungkin bisa jadi tolok ukur, ”Kayaknya sampai tua pun saya masih tetap membaca komik.”
Irfan Budiman, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo