Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR baik itu terdengar lirih dari lereng Gunung Patuha, Jawa Barat. Panas energi di bawah gunung api itu akan segera bisa dimanfaatkan untuk menambah daya listrik dalam waktu dekat. Satu unit pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) senilai US$ 144 juta tengah dibangun sejak 2011. Tahun depan, rencananya unit 1 Patuha ini akan beroperasi dan menghasilkan listrik 55 megawatt. Daya ini akan menambah kapasitas listrik Jawa Barat yang kini 2.200 megawatt seiring dengan kebutuhan yang terus meningkat. Duit untuk pembangunan kilang ini berasal dari pinjaman BNI US$ 104 juta dan sisanya dari ekuitas perusahaan.
Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Praktimia Semiawan mengatakan dua unit PLTP di Dieng dan dua unit di Patuha segera menyusul untuk menambah 220 megawatt daya listrik. "Targetnya empat unit beroperasi pada 2017," kata Praktimia di kantornya, Kamis pekan lalu. "Ini bagian dari percepatan proyek pembangkit 10 ribu megawatt tahap kedua," ujarnya.
Tapi rencana Praktimia mungkin tak semulus yang dia bayangkan. Mahkamah Agung pada 24 Oktober 2012 membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia pada 2007. Kontrak pembangunan lima unit pembangkit di Dieng-Patuha yang diteken antara PT Bumi Gas Energi dan PT Geo Dipa Energi pada 2005 dinyatakan masih berlaku. "Unit 1 Patuha itu merupakan lokasi lama yang ada di kontrak Bumi Gas dan Geo Dipa," kata David Randi, pemilik PT Bumi Gas Energi.
Proyek PLTP Dieng-Patuha pernah merusak reputasi Indonesia di dunia internasional. Lantaran dihantam krisis ekonomi, proyek ini ditangguhkan melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1997. Akibatnya, Himpurna California Energy (HCE) dan Patuha Power Plant (PPP), dua perusahaan asal Amerika Serikat yang melaksanakan proyek ini, menggugat PLN ke Arbitrase Internasional. PLN dinyatakan kalah dan pemerintah Indonesia harus membayar US$ 261 juta kepada Overseas Private Investment Corporation (OPIC), lembaga yang menanggung risiko kerugian HCE dan PPP.
Setelah pembayaran denda, semua aset yang dimiliki HCE dan PPP diserahkan ke Pertamina dan PLN. Keduanya membentuk anak usaha bernama PT Geo Dipa Energi, dengan pemegang saham Pertamina (66,67 persen) dan PLN (33,33 persen). Geo Dipa bertugas melanjutkan proyek PLTP Dieng-Patuha dan menyediakan kebutuhan listrik untuk Jawa dan Bali. Geo Dipa lantas menggelar tender terbuka untuk PLTP 300 MW. Dari 18 perusahaan yang ikut tender, hanya lima yang dinyatakan lulus prakualifikasi. PT Bumi Gas Energi dinyatakan sebagai pemenang dengan kontrak kerja sama skema build transfer operate together (BTOT) untuk 15 tahun oleh Geo Dipa. "Dengan skema ini, utang Bumi Gas selama membangun PLTP akan dialihkan ke Geo Dipa," katanya.
Empat belas bulan setelah pengumuman, kontrak diteken kedua belah pihak, pada 1 Februari 2005. Namun dua tahun kemudian Geo Dipa menggugat Bumi Gas ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). "Tidak ada pembangunan yang dilakukan," kata Praktimia. Menurut dia, selama dua tahun proyek berjalan, Bumi Gas tidak dapat menyediakan dana proyek. "Kami sudah mengirim lima kali warning letter dan satu kali notice of default, sebelum akhirnya menggugat ke BANI," ujarnya. Gugatan itu, kata dia, juga dilayangkan setelah target pengoperasian unit 1 Patuha tidak tercapai. "Akibat tidak perform-nya Bumi Gas, pemerintah menderita opportunity loss. Kerugian akibat inefisiensi bahan bakar minyak yang muncul akibat tak beroperasinya pembangkit mencapai Rp 4,4 triliun per tahun," kata Praktimia.
David mengatakan kegagalan Bumi Gas lantaran pihak Geo Dipa tidak bersedia menyerahkan salinan hak konsesi dan wilayah kerja pertambangan (WKP) yang dimiliki ke Bumi Gas. Menurut David, pihaknya sudah menggandeng sejumlah investor, antara lain CNT Group yang berbasis di Hong Kong dan Affin Bank dari Malaysia. Tapi investor mundur karena tak adanya salinan WKP untuk proyek senilai US$ 488 juta. "Investasi Rp 5 triliun masak tak bisa menyerahkan salinan dokumen yang mendukung," kata David.
Praktimia mengatakan tak ada kewajiban dari Geo Dipa untuk menunjukkan WKP. "Koordinatnya sudah ada dalam kontrak," katanya. Dia menjelaskan bahwa WKP Dieng-Patuha adalah hak milik negara yang dipegang Pertamina melalui Keppres Nomor 22 Tahun 1981. Kuasa hukum Geo Dipa, Imam Haryanto, menilai Bumi Gas hanya mencari-cari alasan dari kegagalan menggaet investor. "Kami sudah melakukan investigasi dan CNT itu tidak ada," kata Imam.
David mengatakan pihaknya telah melaporkan mantan Direktur Utama Geo Dipa Syamsudin Warsa atas tuduhan penipuan. Dalam kontrak pasal 3 dan 9 butir 1 disebutkan bahwa hak konsesi Dieng-Patuha telah diserahkan ke PT Geo Dipa. "Hak konsesi ini maksudnya WKP," ujar kuasa hukum Bumi Gas, Bambang Simamora. "Kalau ternyata saat itu masih milik Pertamina, berarti ini kejahatan korporasi, karena dalam kontrak tertulis jelas sudah ditransfer," ucapnya. Undang-Undang Panas Bumi, kata Bambang, juga menyebutkan salah satu syarat eksplorasi adalah adanya WKP.
Sumber Tempo menuturkan WKP Patuha baru diserahkan ke Bumi Gas pada 1 Agustus 2012, setahun setelah Pertamina menghibahkan saham yang dimiliki di PT Geo Dipa ke pemerintah. Adapun penjelasan Geo Dipa mengenai WKP yang dimaksud juga samar. Mulanya Imam mengatakan, pada awal 2006, WKP telah diserahkan ke PT Geo Dipa. Namun tak lama kemudian dia mengatakan transfer aset dan concession rights sudah diserahkan pada 29 Januari 2004. "Sebelum kontrak diteken, sudah ada," katanya.
Imam mengatakan Bumi Gas salah kaprah dalam menafsirkan kontrak. "Yang mendapat konsesi dari Pertamina itu Geo Dipa. Geo Dipa kerja sama dengan Bumi Gas. Dia ingin seperti Star Energy yang mendapat konsesi langsung dari Pertamina," katanya. Imam mengatakan pihaknya telah mengajukan peninjauan kembali untuk putusan Mahkamah Agung itu. "Kalau Bumi Gas dimenangkan, apakah mereka mau kembali ke kontrak lama?" ujar Imam. Biaya pembangunan proyek lima unit PLTP 300 megawatt itu kini US$ 750 juta. "Dalam kontrak nilainya hanya US$ 488 juta, nilai daya yang dibeli PLN 4,5 sen dolar per kWh, apakah mereka mau?" kata Imam. Angka ideal per kWh saat ini sekitar 9 sen dolar kWh.
Imam juga mengatakan akan mengambil performance bond Bumi Gas senilai US$ 5,6 juta di Asuransi Karyamas Sentralindo. "Putusan MA di situs kepaniteraan memenangkan pihak kami," kata Imam. Performance bond adalah jaminan senilai 3 persen dari proyek PLTP yang diserahkan Bumi Gas kepada Geo Dipa.
Adapun Praktimia mengatakan proyek unit 1 Patuha terus berlanjut. Menurut dia, tender EPC unit 1 Patuha digelar setelah MA menolak peninjauan kembali pembatalan putusan BANI pada 2010. "Mereka menuding kami menggelar tender saat putusan belum inkracht, itu tak benar," katanya.
David menjelaskan bahwa pihaknya menggugat kembali pembatalan putusan BANI dengan menjadikan Geo Dipa sebagai pihak tergugat. "Dulu putusannya N/O, yang berarti kurang pokok perkara. Karena memang belum final, kami gugat lagi. Dan kini MA menyatakan kontrak lama masih berlaku," kata David.
Di Patuha, konsorsium Marubeni Corporation-PT Matlamat Cakera Canggih tengah menyelesaikan unit 1 Patuha. Berdasarkan penelusuran, PT Matlamat dimiliki 75 persen oleh Marubeni Corporation dan 25 persen oleh Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan (YPK) PLN. Yayasan ini merupakan organisasi nirlaba yang masih terafiliasi dengan PLN. Adapun PLN saat ini masih memiliki 33 persen saham di Geo Dipa.
Namun keterlibatan YPK PLN dalam proyek senilai US$ 144 juta itu ternyata tidak setahu Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PLN Murtaqi Syamsuddin. "Saya tak tahu soal itu," ujar Murtaqi, Selasa pekan lalu. Sedangkan Praktimia mengatakan tender EPC unit Patuha 1 digelar secara terbuka. "Ada lima konsorsium yang lulus prakualifikasi. Penentuan pemenang tidak ada hubungannya dengan pemegang saham PT Matlamat," katanya.
Amandra Mustika Megarani
Zulkifli Hasan:
Janganlah Memfitnah
DI tengah upaya pemerintah menggeber proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi, tindakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menahan izin bagi proyek PT Supreme Energy di Lampung mengundang pertanyaan. Aneka rumor merebak terkait dengan politik lokal dan kepentingan lain di balik keengganan itu. Menteri dari Partai Amanat Nasional itu menjelaskan kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Apa sebenarnya alasan Anda menahan izin proyek pembangkit listrik panas bumi di Rajabasa?
Proyek geotermal ini adalah salah satu unggulan pemerintah. Saya sangat mendukung. Dulu selama 10 tahun hanya ada dua proyek yang dikeluarkan izinnya. Di masa saya sebagai Menteri Kehutanan, sudah ada 30 yang saya tanda tangani. Masalahnya, sama dengan Bali, situasi di Lampung ini agak khusus. Penolakan warga keras sekali. Saya melihat pendekatan awalnya sudah keliru.
Apa yang keliru?
Mungkin karena di daerah lain gampang, mereka melakukan dengan cara yang sama di Rajabasa. Tapi daerah ini lain. Karakter warganya keras, karena kemiskinan dan kecemburuan yang tinggi terhadap wilayah lain yang lebih maju. Belum lagi konflik-konflik lokal yang sampai melibatkan kekerasan. Kita tak bisa lagi menggunakan pendekatan keamanan dengan menakuti mereka, sampai ada yang diperiksa polisi segala. Satu-dua mungkin akan takut, tapi yang lainnya akan semakin marah.
Bukankah soal konflik sosial merupakan urusan pemerintah daerah? Menteri Kehutanan semestinya melihat dari sisi konservasi. Pemerintah daerah sudah mengeluarkan izin.
Inilah masalahnya. Kalau pemerintah daerahnya benar bekerja, kan semestinya tak akan terjadi warganya bentrok sampai potong-potong kepala segala. Apalagi sampai bupatinya mengancam-ancam. Cara-cara arogan seperti itu sudah bukan zamannya.
Ada kabar penolakan itu direkayasa karena Anda punya kepentingan lain. Benarkah ada orang yang mengaku kerabat Anda meminta jatah saham dan sebagainya?
Janganlah memfitnah. Itu kampung saya. Saya juga malu kalau sampai proyek itu tak bisa jalan. Hanya perlu waktu.
Murtaqi Syamsuddin:
Kerugian per Tahun Rp 2,35 Triliun
Molornya pembangunan pembangkit listrik geotermal di Rajabasa, Lampung, jelas mempengaruhi pasokan energi di jaringan Sumatera. Kerugian lebih besar niscaya akan ditanggung PT PLN, yang pada akhirnya akan memberatkan keuangan pemerintah. "Kerugian terbesar adalah jatuhnya reputasi kita," kata Murtaqi Syamsuddin, Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PLN, saat ditemui di kantornya, Selasa pekan lalu.
Seberapa penting proyek di Rajabasa ini bagi PLN?
Pembangkit di Lampung ini masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2012-2021, yang ditugasi oleh pemerintah kepada PLN. Kalau ini gagal, Indonesia akan kehilangan kesempatan memperoleh listrik yang lebih murah dibanding kalau kita membakar solar, juga ramah lingkungan.
Seberapa besar kerugian yang ditanggung akibat penundaan itu?
Kerugian itu timbul dari selisih biaya pembangkitan dengan solar dan geotermal, lalu dikalikan kapasitas 2 x 110 megawatt dari proyek di Lampung. Per tahun angkanya akan berkisar Rp 2,355 triliun.
Bukankah proyek ini dijamin pemerintah?
Memang dijamin melalui skema Pemberian Jaminan Kelayakan Usaha kepada PLN. Kegagalan yang timbul akibat perizinan masuk perjanjian ini, sehingga pemerintah bisa digugat. Tapi kerugian lebih besar sebenarnya ada pada masyarakat sendiri. Biaya yang harus dikeluarkan masyarakat Lampung akibat ketiadaan listrik dari proyek ini 5-10 kali lebih besar dari Rp 2,355 triliun yang harus ditanggung PLN dan negara melalui subsidi. Dan yang lebih besar lagi, kalau sampai proyek ini gagal, adalah kerugian akibat rusaknya reputasi kita. Sebab, ini bisa menjadi kasus ketiga setelah Karaha Bodas dan Dieng-Patuha. Tentu kita tak ingin itu terjadi.
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo