Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Suram, Kata Bank Dunia

Laporan tahunan Bank Dunia tentang ekonomi Indonesia. untuk menekan defisit, Indonesia masih perlu pinjaman 16 milyar dollar. (eb)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENKO Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana beberapa hari lagi akan memimpin delegasi Indonesia ke sidang tahunan IGGI yang jatuh 11 Juni -- sekali ini diselenggarakan di Den Haag ibu kota Negeri Belanda. Dan akhir Mei lalu Bank Dunia telah mengedarkan laporan tahunannya tentang ekonomi Indonesia untuk dibagikan kepada para wakil negara-negara donor, sebagai pegangan mereka untuk menyediakan dana baru. Nampaknya tak banyak rintangan yang akan dihadapi delegasi Indonesia. Anjuran agar Indonesia kini berhemat-hemat, seperti dikemukakan lembaga seperti Bank Dunia, dan Dewan Moneter Internasional (IMF), sudah dilaksanakan. Laporan Bank Dunia itu mencerminkan apa yang sekarang paling dikhawatirkan para ekonom pemerintah: Bagaimana agar defisit transaksi berjalan yang ditargetkan akan mencapai US$ 6,5 milyar pada tahun 1983/1984 tidak terlampaui. Salah satu jalan pintas untuk menekan defisit itu adalah dengan jalan pentahapan kembali (rephasing) proyek-proyek besar, dimulai dengan 4 proyek yang bernilai kontrak US$ 5 milyar lebih. Dan menurut Menteri Pertambangan dan Energi Subroto akan mencapai nilai kontrak seluruhnya sekitar US$ 20 milyar. Tapi itu rupanya belum dipandang cukup oleh Bank Dunia, yang memperkirakan ekonomi Indonesia masih belum akan pulih dari sakitnya sampai tahun 1985. Maka untuk menjaga agar itu defisit tidak membengkak di luar sasaran, Bank Dunia beranggapan Indonesia masih perlu mencari utang luar negeri sebanyak US$ 16 milyar dalam tiga tahun mendatang. Berarti, utang luar negeri Indonesia akan meningkat menjadi US$ 30,5 milyar, dari US$ 20 milyar yang tercatat pada akhir Maret lalu. Itu juga akan berarti, debt service ratio -- perbandingan antara kemampuan pencicilan utang dengan nilai ekspor -- Indonesia akan melonjak dari 22% sekarang menjadi 26,3%. Ketika mengumumkan devaluasi rupiah akhir Maret lalu, Ali Wardhana mengungkapkan debt service ratio Indonesia sudah mencapai 20% awal titik kritis menurut ukuran Bank Dunia. Bank Dunia sendiri menganjurkan agar para anggota IGGI bersedia untuk memberikan kredit lunak kepada Indonesia, paling tidak sejumlah US$ 2 milyar, seperti mereka sediakan tahun lalu. Kalau usul itu diterima Indonesia masih harus menambal kekurangannya dengan US$ 3 milyar, yang harus dicari dari pinjaman komersial, yang kini semakin sulit dan semakin tinggi tingkat bunganya. Di samping itu, Bank Dunia yang kini dipimpin bankir terkenal A.W. Clausen, juga mengusulkan agar kali ini, sebagian dari pinjaman itu berbentuk pinjaman komoditi yang bisa cepat ditarik, untuk membiayai program peningkatan produksi padi, kacang, kapas, dan beberapa hasil industri dalam negeri. Laporan itu merasa prihatin bahwa ekspor Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh minyak bumi. Itu memang ada bahayanya, mengingat masa depan harga minyak masih sulit untuk diterka. Presidan perusahaan minyak terbesar Exxon, Clifton Garfield, di depan rapat tahunan pemegang saham baru-baru ini mengemukakan suatu hal yang tidak menguntungkan negara pengekspor minyak: "Pengaruh resesi terhadap pasaran minyak hanya sepertiga, selebihnya dipengaruhi oleh tindakan konservasi, dan penggunaan energi lain," katanya. Kalau pengamatan pimpinan Exxon itu benar, maka negara pengekspor minyak tak bisa banyak mengharapkan setelah ekonomi dunia pulih dari lilitan resesi. Perkembangan ekspor minyak Indonesis, menurut taksiran Bank Dunia, hanya akan tumbuh kurang dari 2% setahun dalam nilai riil. Dan Indonesia, menurut laporan itu, perlu meningkatkan ekspor di luar minyak menjadi US$ 6,4 milyar pada 1985, agar bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran yang pada bulan Mei lalu mencapai US$ 7 milyar, menurut perhitungan sudah mewakili sekitar 8% dari produksi nasional kotor (GNP). Dan, kata laporan itu, "pengalaman di negara lain, menunjukkan bahwa defisit sebesar itu tidak bisa untuk dipertahankan." Indonesia, "perlu menekan agar defisit itu hanya 2% dari GNP," kata Bank Dunia. Kalau benar demikian, upaya untuk mempertahankan ekonomi Indonesia tidaklah cukup dengan jalan devaluasi, penjadwalan kembali proyek, dan utang luar negeri. Tapi, menurut Bank Dunia, harus disertai dengan merombak sistem perpajakan dan perdagangannya, serta merangsang investasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus