MENKO Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana beberapa
hari lagi akan memimpin delegasi Indonesia ke sidang tahunan
IGGI yang jatuh 11 Juni -- sekali ini diselenggarakan di Den
Haag ibu kota Negeri Belanda. Dan akhir Mei lalu Bank Dunia
telah mengedarkan laporan tahunannya tentang ekonomi Indonesia
untuk dibagikan kepada para wakil negara-negara donor, sebagai
pegangan mereka untuk menyediakan dana baru.
Nampaknya tak banyak rintangan yang akan dihadapi delegasi
Indonesia. Anjuran agar Indonesia kini berhemat-hemat, seperti
dikemukakan lembaga seperti Bank Dunia, dan Dewan Moneter
Internasional (IMF), sudah dilaksanakan. Laporan Bank Dunia itu
mencerminkan apa yang sekarang paling dikhawatirkan para ekonom
pemerintah: Bagaimana agar defisit transaksi berjalan yang
ditargetkan akan mencapai US$ 6,5 milyar pada tahun 1983/1984
tidak terlampaui.
Salah satu jalan pintas untuk menekan defisit itu adalah dengan
jalan pentahapan kembali (rephasing) proyek-proyek besar,
dimulai dengan 4 proyek yang bernilai kontrak US$ 5 milyar
lebih. Dan menurut Menteri Pertambangan dan Energi Subroto akan
mencapai nilai kontrak seluruhnya sekitar US$ 20 milyar. Tapi
itu rupanya belum dipandang cukup oleh Bank Dunia, yang
memperkirakan ekonomi Indonesia masih belum akan pulih dari
sakitnya sampai tahun 1985.
Maka untuk menjaga agar itu defisit tidak membengkak di luar
sasaran, Bank Dunia beranggapan Indonesia masih perlu mencari
utang luar negeri sebanyak US$ 16 milyar dalam tiga tahun
mendatang. Berarti, utang luar negeri Indonesia akan meningkat
menjadi US$ 30,5 milyar, dari US$ 20 milyar yang tercatat pada
akhir Maret lalu. Itu juga akan berarti, debt service ratio --
perbandingan antara kemampuan pencicilan utang dengan nilai
ekspor -- Indonesia akan melonjak dari 22% sekarang menjadi
26,3%. Ketika mengumumkan devaluasi rupiah akhir Maret lalu, Ali
Wardhana mengungkapkan debt service ratio Indonesia sudah
mencapai 20% awal titik kritis menurut ukuran Bank Dunia.
Bank Dunia sendiri menganjurkan agar para anggota IGGI bersedia
untuk memberikan kredit lunak kepada Indonesia, paling tidak
sejumlah US$ 2 milyar, seperti mereka sediakan tahun lalu. Kalau
usul itu diterima Indonesia masih harus menambal kekurangannya
dengan US$ 3 milyar, yang harus dicari dari pinjaman komersial,
yang kini semakin sulit dan semakin tinggi tingkat bunganya.
Di samping itu, Bank Dunia yang kini dipimpin bankir terkenal
A.W. Clausen, juga mengusulkan agar kali ini, sebagian dari
pinjaman itu berbentuk pinjaman komoditi yang bisa cepat
ditarik, untuk membiayai program peningkatan produksi padi,
kacang, kapas, dan beberapa hasil industri dalam negeri.
Laporan itu merasa prihatin bahwa ekspor Indonesia sebagian
besar masih didominasi oleh minyak bumi. Itu memang ada
bahayanya, mengingat masa depan harga minyak masih sulit untuk
diterka. Presidan perusahaan minyak terbesar Exxon, Clifton
Garfield, di depan rapat tahunan pemegang saham baru-baru ini
mengemukakan suatu hal yang tidak menguntungkan negara
pengekspor minyak: "Pengaruh resesi terhadap pasaran minyak
hanya sepertiga, selebihnya dipengaruhi oleh tindakan
konservasi, dan penggunaan energi lain," katanya.
Kalau pengamatan pimpinan Exxon itu benar, maka negara
pengekspor minyak tak bisa banyak mengharapkan setelah ekonomi
dunia pulih dari lilitan resesi. Perkembangan ekspor minyak
Indonesis, menurut taksiran Bank Dunia, hanya akan tumbuh kurang
dari 2% setahun dalam nilai riil. Dan Indonesia, menurut laporan
itu, perlu meningkatkan ekspor di luar minyak menjadi US$ 6,4
milyar pada 1985, agar bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi
yang memadai.
Defisit transaksi berjalan pada neraca pembayaran yang pada
bulan Mei lalu mencapai US$ 7 milyar, menurut perhitungan sudah
mewakili sekitar 8% dari produksi nasional kotor (GNP). Dan,
kata laporan itu, "pengalaman di negara lain, menunjukkan bahwa
defisit sebesar itu tidak bisa untuk dipertahankan." Indonesia,
"perlu menekan agar defisit itu hanya 2% dari GNP," kata Bank
Dunia.
Kalau benar demikian, upaya untuk mempertahankan ekonomi
Indonesia tidaklah cukup dengan jalan devaluasi, penjadwalan
kembali proyek, dan utang luar negeri. Tapi, menurut Bank Dunia,
harus disertai dengan merombak sistem perpajakan dan
perdagangannya, serta merangsang investasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini