Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pahit Buat Petani

Hasil petani peserta TRI menurun. menteri pertanian achmad affandi, menolak usul petani agar harga gula dinaikkan. (eb)

4 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUKSI gula kristal dari tiap hektar tanaman tebu tahun ini diduga bakal turun tajam. Kenyataan kurang menggembirakan itu ditemui Menteri Pertanian Achmad Affandi sesudah mengunjungi pelbagai pusat perkebunan tebu di Jawa pekan lalu. Hujan yang turun terlalu lebat Maret silam, misalnya, telah menyebabkan rendemen tebu di Kecamatan Jogonalan, Klaten, turun dari 11,5% jadi 6,1%. Itu berarti perolehan gula kristal dari setiap 100 kg tebu yang digiling turun dari 11,5 kg jadi 6,1 kg saja. Seharusnya memang pada Maret itu, tanaman tebu tidak boleh mendapat air terlalu banyak untuk menjaga proses kemasakan berjalan normal yang terjadi saat itu. Di Kecamatan Babakan, Cirebon, rendemen tebu juga turun dari 8,5% menjadi 7,1%. Sedang di Pati, Jawa Tengah, rendemen tebu turun dari 9% menjadi 6,5%. Karena rendemen rendah, petani di sana kemudian menolak menggiling tebu mereka di pabrik gula Trangkil. Menteri Achmad Affandi prihatin menyaksikan kemerosotan produktivius lahan pertanian itu. Jika di tahun 1940 masih bisa diperoleh 15,6 ton gula kristal dari setiap hektar tanaman tebu, maka tahun lalu hanya diperoleh 6,3 ton saja. Secara terus terang Menteri Affandi menyebut hal itu "menunjukkan betapa hebat kemerosotan kesuburan lahan itu." Menurunnya persentase rendemen itu mempengaruhi pula volume dan nilai perolehan petani peserta Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) dari hasil gula kristal. Selama ini jika tingkat rendemen itu mencapai 8%, petani TRI akan memperoleh 60 bagian, sedangkan pabrik gula 40 bagian. Jika rendemen itu mencapai 10%, misalnya, maka yang 8% dibagi menurut ketentuan selama ini, sedang yang 2% dibagi menurut ketentuan 65 bagian untuk petani, dan sisanya buat pabrik gula. Pabrik kemudian menebus gula itu dengan harga Rp 350 per kg dari petani, lewat Koperasi Unit Desa. Tapi jumlah uang itu masih harus dipotong dengan kredit, yang diperoleh petani untuk membiayai budi-daya tebu itu. Alhasil sering terjadi, sesudah dipotong kredit, uang yang diperoleh petani itu jadi kecil nilainya. Apalagi jika diingat masa penanaman tebu itu sering 1 tahun lebih lamanya. Jaelani, peserta TRI dari Desa Japura Bakti, Cirebon, misalnya, menganggap perolehannya bersih Rp 600 ribu "jauh dari memadai." Jumlah uang sebesar itu baru bisa dipetiknya sesudah setahun menanam tebu. Padahal selama itu pula, Jaelani harus menghidupi istri dan 10 anaknya. Belajar dari masa kekurangan sebelumnya, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dia kemudian menyewa lahan seluas 1 ha. Lahan yang disewa Rp 240 ribu setahun itu ditanami palawija, semangka, dan padi. Dari lahan itu dia akhirnya bisa memperoleh penghasilan bersih Rp 1,4 juta. Tapi buat petani seperti Jaelani memang tak ada pilihan terbaik. "Selama pemerintah menetapkan sawah kami harus ditanami tebu, saya akan terus menanam tebu," katanya. Mungkin karena merasa sudah kepepet betul, petani TRI dari Jawa Timur akhirnya mengusulkan lewat Menteri Koperasi Bustanil Arifin agar harga gula yang Rp 350 per kg dinaikkan. Dalam pertemuan di Pandaan, Jawa Timur itu, mereka minta Menteri Bustanil membawakan usulan itu ke sidang kabinet. Jika harga gula tebusan pabrik dinaikkan, Bustanil memperingatkan, "konsumsi akan turun, dan penyeludupan akan meningkat mengingat harga gula di luar negeri hanya Rp 220 per kg." Secara lebih jelas Menteri Pertanian Achmad Affandi menjawab: "Harga gula tidak akan dinaikkan, dan memang tidak ada niat untuk itu." Bustanil menyatakan sangat gembira jika porsi petani dinaikkan. Menaikkan bagian petani, katanya, secara langsung akan berarti menaikkan pendapatan mereka. Tapi Nyoman Karta Nurai, pimpinan pabrik gula Madukismo, Yogya, lebih setuju jika pemerintah turut membantu meningkatkan rendemen, dengan memberi bibit yang baik. "Dengan pembagian hasil untuk petani yang lebih besar pun jika tetap dengan mutu bibit yang rendah, tetap saja akan kurang menguntungkan petani," katanya. Benar juga. Ketika meninjau pelbagai perkebunan tebu di Jawa Barat, Menteri Affandi telah menemukan petani di sana banyak menggunakan pucuk sebagai bibit, padahal seharusnya mayungan (bonggol tebu). Menurut Nyoman hal itu jelas akan mempengaruhi mutu tebu. "Sekali petani menanam tebu dengan pucuknya, mutu tebu akan terus menurun," katanya. Selain itu, Nyoman juga melihat pemborosan ketika panenan. Di kebun tebu Madukismo, misalnya, dia menemukan sisa potongan tebu (bonggol), yang masih banyak tertanam di dalam tanah. Sesudah dibongkar dia akhirnya bisa mengumpulkan 70-100 kuintal potongan tebu dari setiap hektar lahan, yang bernilai sekitar Rp 170. Pendeknya dia berpendapat "cara pemotongan tebu pada saat panen belum dilakukan secara efisien." Secara normal, jika cara memanen dan memelihara tebu dilakukan baik, menurut Menteri Affandi, produksi tebu akan mencapai 120-144 ton per ha dengan tingkat rendemen 12%. Namun saat ini "hanya mencapai 68 ton dengan rendemen sekitar 6%," ujarnya. Pemerintah tampaknya perlu juga meninjau kembali banyaknya komponen yang dimasukkan untuk membentuk harga gula. Sejumlah 13 komponen, yang dimasukkan ke dalam satuan harga itu, ternyata telah menyebabkan harga gula eks pabrik terasa kelewat tinggi: Rp 45.000 per 100 kg. Komponen cukai gula, misalnya, besarnya Rp 3.500. Menteri Affandi kini sedang berusaha untuk meminta penurunan, atau penghapusan sama sekali cukai gula itu. Dia tidak setuju jika cukai gula dikelompokkan dengan cukai tembakau maupun kopi. "Sebab gula merupakan kebutuhan sehari-hari," katanya. Akan turunkah harga gula jika cukai gula dihapuskan? Belum tentu. Sebab harga pokok produksi gula itu juga banyak ditentukan pula oleh tingkat efisiensi pabrik. "Ada ketidakefisienan memang, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahan pabrik," ujar Menteri Bustanil. Itu antara lain berupa berlebihnya tenaga kerja, yang akhirnya dibebankan pada konsumen jua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus