PRODUKSI gula kristal dari tiap hektar tanaman tebu tahun ini
diduga bakal turun tajam. Kenyataan kurang menggembirakan itu
ditemui Menteri Pertanian Achmad Affandi sesudah mengunjungi
pelbagai pusat perkebunan tebu di Jawa pekan lalu. Hujan yang
turun terlalu lebat Maret silam, misalnya, telah menyebabkan
rendemen tebu di Kecamatan Jogonalan, Klaten, turun dari 11,5%
jadi 6,1%. Itu berarti perolehan gula kristal dari setiap 100 kg
tebu yang digiling turun dari 11,5 kg jadi 6,1 kg saja.
Seharusnya memang pada Maret itu, tanaman tebu tidak boleh
mendapat air terlalu banyak untuk menjaga proses kemasakan
berjalan normal yang terjadi saat itu. Di Kecamatan Babakan,
Cirebon, rendemen tebu juga turun dari 8,5% menjadi 7,1%. Sedang
di Pati, Jawa Tengah, rendemen tebu turun dari 9% menjadi 6,5%.
Karena rendemen rendah, petani di sana kemudian menolak
menggiling tebu mereka di pabrik gula Trangkil.
Menteri Achmad Affandi prihatin menyaksikan kemerosotan
produktivius lahan pertanian itu. Jika di tahun 1940 masih bisa
diperoleh 15,6 ton gula kristal dari setiap hektar tanaman tebu,
maka tahun lalu hanya diperoleh 6,3 ton saja. Secara terus
terang Menteri Affandi menyebut hal itu "menunjukkan betapa
hebat kemerosotan kesuburan lahan itu."
Menurunnya persentase rendemen itu mempengaruhi pula volume dan
nilai perolehan petani peserta Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
dari hasil gula kristal. Selama ini jika tingkat rendemen itu
mencapai 8%, petani TRI akan memperoleh 60 bagian, sedangkan
pabrik gula 40 bagian. Jika rendemen itu mencapai 10%,
misalnya, maka yang 8% dibagi menurut ketentuan selama ini,
sedang yang 2% dibagi menurut ketentuan 65 bagian untuk petani,
dan sisanya buat pabrik gula. Pabrik kemudian menebus gula itu
dengan harga Rp 350 per kg dari petani, lewat Koperasi Unit
Desa.
Tapi jumlah uang itu masih harus dipotong dengan kredit, yang
diperoleh petani untuk membiayai budi-daya tebu itu. Alhasil
sering terjadi, sesudah dipotong kredit, uang yang diperoleh
petani itu jadi kecil nilainya. Apalagi jika diingat masa
penanaman tebu itu sering 1 tahun lebih lamanya. Jaelani,
peserta TRI dari Desa Japura Bakti, Cirebon, misalnya,
menganggap perolehannya bersih Rp 600 ribu "jauh dari memadai."
Jumlah uang sebesar itu baru bisa dipetiknya sesudah setahun
menanam tebu. Padahal selama itu pula, Jaelani harus menghidupi
istri dan 10 anaknya. Belajar dari masa kekurangan sebelumnya,
untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dia kemudian menyewa lahan
seluas 1 ha. Lahan yang disewa Rp 240 ribu setahun itu ditanami
palawija, semangka, dan padi. Dari lahan itu dia akhirnya bisa
memperoleh penghasilan bersih Rp 1,4 juta. Tapi buat petani
seperti Jaelani memang tak ada pilihan terbaik. "Selama
pemerintah menetapkan sawah kami harus ditanami tebu, saya akan
terus menanam tebu," katanya.
Mungkin karena merasa sudah kepepet betul, petani TRI dari Jawa
Timur akhirnya mengusulkan lewat Menteri Koperasi Bustanil
Arifin agar harga gula yang Rp 350 per kg dinaikkan. Dalam
pertemuan di Pandaan, Jawa Timur itu, mereka minta Menteri
Bustanil membawakan usulan itu ke sidang kabinet. Jika harga
gula tebusan pabrik dinaikkan, Bustanil memperingatkan,
"konsumsi akan turun, dan penyeludupan akan meningkat mengingat
harga gula di luar negeri hanya Rp 220 per kg." Secara lebih
jelas Menteri Pertanian Achmad Affandi menjawab: "Harga gula
tidak akan dinaikkan, dan memang tidak ada niat untuk itu."
Bustanil menyatakan sangat gembira jika porsi petani dinaikkan.
Menaikkan bagian petani, katanya, secara langsung akan berarti
menaikkan pendapatan mereka. Tapi Nyoman Karta Nurai, pimpinan
pabrik gula Madukismo, Yogya, lebih setuju jika pemerintah turut
membantu meningkatkan rendemen, dengan memberi bibit yang baik.
"Dengan pembagian hasil untuk petani yang lebih besar pun jika
tetap dengan mutu bibit yang rendah, tetap saja akan kurang
menguntungkan petani," katanya.
Benar juga. Ketika meninjau pelbagai perkebunan tebu di Jawa
Barat, Menteri Affandi telah menemukan petani di sana banyak
menggunakan pucuk sebagai bibit, padahal seharusnya mayungan
(bonggol tebu). Menurut Nyoman hal itu jelas akan mempengaruhi
mutu tebu. "Sekali petani menanam tebu dengan pucuknya, mutu
tebu akan terus menurun," katanya.
Selain itu, Nyoman juga melihat pemborosan ketika panenan. Di
kebun tebu Madukismo, misalnya, dia menemukan sisa potongan tebu
(bonggol), yang masih banyak tertanam di dalam tanah. Sesudah
dibongkar dia akhirnya bisa mengumpulkan 70-100 kuintal potongan
tebu dari setiap hektar lahan, yang bernilai sekitar Rp 170.
Pendeknya dia berpendapat "cara pemotongan tebu pada saat panen
belum dilakukan secara efisien." Secara normal, jika cara
memanen dan memelihara tebu dilakukan baik, menurut Menteri
Affandi, produksi tebu akan mencapai 120-144 ton per ha dengan
tingkat rendemen 12%. Namun saat ini "hanya mencapai 68 ton
dengan rendemen sekitar 6%," ujarnya.
Pemerintah tampaknya perlu juga meninjau kembali banyaknya
komponen yang dimasukkan untuk membentuk harga gula. Sejumlah 13
komponen, yang dimasukkan ke dalam satuan harga itu, ternyata
telah menyebabkan harga gula eks pabrik terasa kelewat tinggi:
Rp 45.000 per 100 kg. Komponen cukai gula, misalnya, besarnya Rp
3.500. Menteri Affandi kini sedang berusaha untuk meminta
penurunan, atau penghapusan sama sekali cukai gula itu. Dia
tidak setuju jika cukai gula dikelompokkan dengan cukai tembakau
maupun kopi. "Sebab gula merupakan kebutuhan sehari-hari,"
katanya.
Akan turunkah harga gula jika cukai gula dihapuskan? Belum
tentu. Sebab harga pokok produksi gula itu juga banyak
ditentukan pula oleh tingkat efisiensi pabrik. "Ada
ketidakefisienan memang, tapi itu bukan sepenuhnya kesalahan
pabrik," ujar Menteri Bustanil. Itu antara lain berupa
berlebihnya tenaga kerja, yang akhirnya dibebankan pada konsumen
jua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini